Asia Tenggara sebagai kawasan yang cenderung damai telah mengambil pendekatan diplomasi daripada konflik langsung. Netralitas, seiring waktu, tumbuh dari keinginan untuk menjaga kekuatan besar agar tidak terlibat secara dominan, terutama setelah Perang Vietnam. Wilayah ini telah memilih untuk tidak terlibat secara intensif dalam politik internasional, berkomitmen pada keamanan Asia Tenggara. Netralitas diartikan sebagai otonomi dari kekuatan eksternal, menjaga netralitas saat bersaing.
Netralitas
Sejarah Netralitas telah berevolusi sejak Abad Pertengahan, terutama di negara-negara yang cenderung lebih lemah. Contohnya adalah Swedia dan Finlandia yang tetap netral selama Perang Dingin. Di Indonesia, konsep ini dikaitkan dengan non-afiliasi, yang muncul dari Konferensi Bandung. Indonesia tidak memihak pada konflik Amerika Serikat-Uni Soviet saat itu. Namun, Indonesia sekarang menghadapi dilema dalam memilih antara AS dan China. Sebagai negara PBB, pada tahun 1971, Indonesia prihatin akan peran kekuatan eksternal dalam mengamankan Asia Tenggara. Dalam posisi sentral di Indo-Pasifik, banyak pihak berkepentingan pada jalur komunikasi laut di wilayah ini.
Kepemimpinan ASEAN yang akan dipegang Indonesia menimbulkan tantangan, khususnya dalam menjaga keseimbangan antara AS dan China. Persaingan ini juga didorong oleh kekayaan sumber daya alam, terutama perikanan, minyak, dan gas. Laut Cina Selatan memiliki nilai strategis karena distribusi kekuasaan, termasuk dimensi militer China. Pertanyaannya adalah bagaimana menjaga stabilitas. Namun, menjaga netralitas menjadi sulit karena hubungan ekonomi dengan China dan keterlibatan AS di wilayah tersebut.
Keamanan nasional berhubungan dengan keamanan Asia melalui pendekatan alami, menekankan non-intervensi. Konflik seperti klaim China terhadap Kepulauan Paracel dan Scarborough Shoal oleh Filipina memperlihatkan kompleksitas. Kehadiran Amerika Serikat di Laut Cina Selatan, sebagian didorong oleh kebebasan navigasi dan kepentingan strategis, juga memengaruhi dinamika.
Keamanan Siber dan Kekuatan China
Keamanan siber sebagai ancaman tidak langsung, sulit dideteksi, dan seringkali dari aktor non-negara, juga relevan. Meskipun bukan prioritas, perlu platform multilateral untuk berunding. Peran PBB logis untuk mencari resolusi, seperti yang dicoba oleh Filipina dalam sengketa laut melalui hukum konvensi laut PBB. Namun, keterbatasan PBB dan status China sebagai anggota tetap Dewan Keamanan menghadirkan kendala.
China merupakan kekuatan ekonomi dominan di Asia Tenggara dengan dampak signifikan pada ekonomi dan perdagangan. Indonesia menjadi kekuatan penting di kawasan ini, memiliki pengaruh dan potensi di tingkat internasional.
Dalam menghadapi kompleksitas ini, penting bagi Indonesia untuk menjaga netralitas, berperan sebagai mediator dan penghubung antara kekuatan besar, serta memanfaatkan peran ASEAN dalam mencapai stabilitas di Asia Tenggara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H