Mohon tunggu...
Achmad FauziPangestu
Achmad FauziPangestu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

membaca dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Quo Vadis; Pendidikan di Indonesia

30 Januari 2024   01:34 Diperbarui: 30 Januari 2024   02:22 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Dengarkan teriakan Ibu pada saat melahirkan, lihat perjuangan orang yang sekarat pada saat terakhir: lalu katakan, apakah yang dimulai dan apa yang telah diakhiri dapat dijadikan sebagai kesenangan?" -Kierkegaard.

Ketika satu mata Anak Bayi terbuka melihat dunia, ada kekhawatiran terpendam didalam tubuh yang rentan. Dia berbisik kecil, seraya mengumandangkan takdir, "kelak kau menjadi manusia dewasa yang bermanfaat bagi alam semesta". Dia adalah seorang Ibu, yang —mengutip kalimat Maxim Gorky (penulis novel Ibunda)— bisa memikirkan masa depan–karena mereka melahirkan itu pada anak-anaknya.

Mungkin kita akan lebih familiar dengan kalimat Standar Ganda, dibanding Metakognisi. Metakognisi seorang Ibu dalam merumuskan hari ini, esok, dan masa depan. Dia berfilsafat secara radikal, "bagaimana si Anak akan makan hari ini, sekolah besok, dan sukses di masa depan?". Kesempatan itu muncul kepada Anak selagi Pemerintah mempunyai program wajib sekolah 12 tahun.

Alhasil, semua cara dilakukan demi harapan yang kapanpun akan kehilangan perhitungan. Mencari uang, meminjam, lalu mengembalikannya lagi dengan bunga 15%, hanya untuk melihat Anaknya sesuai dengan apa yang menurutnya sudah menjadi takdir.

Pada waktu matahari setengah terbit, sang Ibu yang satu sampai dua menit mengedipkan matanya didalam Angkutan Kota yang sudah terintegrasi pada sistem –tapi tidak terintegrasi pada solusi alternatif– sambil menghela nafas, "Aku pergi kepasar untuk membeli cabai, membuat sayur capcai kesukaan Anak-ku, agar dia semangat untuk menjalani proses pembelajaran di sekolah", (meski harga bahan pokok naik).

Lembaga Pendidikan dibagi menjadi tiga variabel, yang pertama Formal, Non-Formal, dan Informal. Sekolah adalah Lembaga Pendidikan Formal. Sebelum Peserta Didik menjadi bagian dari Pendidikan Formal, ia berada pada Pendidikan Non-Formal. Pendidikan Non-Formal adalah Pendidikan Keluarga dan Masyarakat.

Dalam perspektif Pendidikan, Peserta Didik adalah Anggota Masyarakat (Raw Input), hal ini berkorelasi dengan Teori Tabularasa, John Locke, "Setiap bayi yang dilahirkan bagaikan kertas putih", yang artinya setiap Manusia terlahir kosong. Lalu menjadi Peserta Didik di Lembaga Pendidikan Formal atau Sekolah (Input), disini proses pembelajaran berlangsung, sinkronisasi antara Kognitif (pikiran), Afektif (sikap), Psikomotorik (Tindakan) terbentuk (Output). Dan kemudian kembali lagi dengan harapan menjadi yang "bermanfaat" terhadap lingkungan sekitar (Outcome).

Hal tersebut adalah penjelasan secara partikular dari Tujuan Pendidikan Nasional yang secara implisit termaktub dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003.

Sistem Pendidikan Nasional adalah Sub-sistem dari Sistem Negara. Dan Sistem Negara ditentukan oleh falsafah kehidupan bangsa, yaitu Pancasila.

Jika kita melihat demoralisasi yang terjadi hari ini, artinya Tujuan Pendidikan Nasional kita belum tersampaikan. Padahal dalam pembentukan kurikulum saja ada tahap evaluasi. Dan evaluasi mempunyai sarat, yaitu akal. Ketika kita menggunakan akal, maka terjadilah perubahan. Lantas, apa yang dilakukan dari tahun ke tahun, pemimpin ke pemimpin? Ironisnya, hanya menjadi tongkat estafet dosa dari pemimpin sebelumnya ke pemimpin hari ini. Semoga kalimat Lesser Evil tidak menjadi pembelaan untuk memilih salah satu kandidat. Kenapa harus memilih yang buruk diantara terburuk? Jika itu dalih untuk meminimalisir keburukan, pemimpin korupsi 1 miliar dibanding 1 triliun, tetap korupsi. Pemimpin gusur lahan, tetap penggusuran. Jika tidak memilih adalah pilihan terbaik, kenapa harus memilih yang buruk diantara terburuk?

Masalah akan terselesaikan jika kita kembali pada sumber masalah. Masalahnya adalah pada Sub-sistem yang tidak terselesaikan, sumber masalahnya ada pada penentuan falsafah bangsa, yaitu Pancasila. Analoginya ketika penyebabnya adalah sampah plastik dan akibatnya pada ekologi, dan masalahnya ada pada Manusia, maka sumber masalahnya adalah kebijakan untuk menertibkan Manusianya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun