Di Yangon, Myanmar, saya sering merasa seperti penjelajah waktu yang terlempar ke masa lalu. Trotoarnya padat oleh pedagang kaki lima yang bibirnya memerah ternoda kunyahan sirih-pinang. Di mana-mana masih banyak perempuan yang masih memakai longyi, pakaian tradisional yang berwujud kain panjang dan blouse cantik, dengan rambut panjang yang diikat sederhana atau disanggul. Para pria pun berlalu-lalang memakai sarung kotak-kotak yang dipadu dengan kemeja. Kaki-kaki mereka banyak yang tak memakai sepatu, cukup beralaskan sandal jepit saja. Di tangan mereka biasanya ada rangkaian rantang aluminium berisi bekal makanan, plus payung besar untuk melindungi diri dari terik matahari atau hujan deras, terutama saat musim monsoon tiba.
Yang membuat rasa masa lalu semakin kental di Yangon adalah gedung-gedung tua yang ada di segala penjuru kota. Gedung-gedung itu masih "hidup" dan banyak yang berfungsi: ada yang menjadi kantor pemerintah, tempat usaha, sekolah, bank, hingga tempat ibadah. Meski masih tampak kurang terawat bila dibandingkan dengan gedung-gedung tua di Singapura, kondisinya masih jauh lebih baik dari kebanyakan gedung tua di kawasan Kota Lama Semarang dan Jakarta.
Gedung-Gedung Kuno Beragam Gaya
Yangon, yang merupakan kota pelabuhan, telah menjadi pintu masuk bagi berbagai bangsa. Tak heran, selain pagoda-pagoda yang telah berdiri sejak masa Sang Buddha Gautama, di kota ini tidak sulit menemukan masjid dan gereja. Sebagai mantan ibukota Myanmar, Yangon kaya akan bangunan megah. Kebanyakan dulunya dipakai sebagai kantor-kantor urusan pemerintahan nasional, sejak masa penjajahan Inggris hingga saat ibukota negara ini pindah ke Nay Pyi Taw di tahun 2006.
Berbagai bangunan bergaya kolonial yang indah dihasilkan sepanjang penguasaan Inggris atas Burma di tahun 1824 hingga 1948. Yangon City Hall - gedung balaikota Yangon, dibangun di tahun 1926 – 1936 dan hingga kini masih dipakai sebagai kantor urusan pemerintahan bagi kota terbesar di Myanmar ini. Arsitektur City Hall ini unik: dinding dan jendela-jendelanya mengadopsi gaya kolonial yang megah, sementara atapnya mengadopsi model pyatthat: atap lancip berlapis-lapis gaya Burma yang biasa diterapkan di atap bangunan pagoda.
[caption caption="Gedung Balaikota Yangon. Atapnya memakai model pyatthat: atap lancip berlapis-lapis gaya tradisional Burma."][/caption]
City Hall terletak di jantung kota, berdekatan dengan situs-situs bersejarah penting lainnya, seperti gedung High Court (pengadilan tinggi) yang dibangun di tahun 1905 - 1911, Taman Maha Bandula yang dibuat pada tahun 1867-1868, dan Sule Pagoda yang dibangun sejak Sang Buddha Gautama masih hidup, 2500 tahun silam. Tak jauh dari sana, Masjid Sunni Bengali yang didirikan oleh komunitas Muslim India di masa penjajahan Inggris tampak menjulang dengan minaret-minaret hitam-putihnya. Di sisi kota lainnya, Stasiun Sentral Yangon yang berdiri sejak tahun 1877 masih beroperasi. Di bawah naungan atapnya yang bermodel pyatthat berwarna keemasan, stasiun ini masih sibuk mengoperasikan perjalanan kereta jarak jauh dan dekat.
[caption caption="Penduduk Yangon dengan longyi-nya yang anggun, dan Masjid Sunni Bengali di belakangnya."]
Yang membuat penjelajahan gedung tua di Yangon tak membosankan adalah beragamnya gaya arsitektur yang dipakai di sana. Misalnya, gedung City Hall mengombinasikan nuansa tradisional Burma dan didominasi warna putih, sementara gedung High Court tampak megah megah dengan dinding bata merah dan menara-menara yang menjulang. Menurut beberapa sumber, gedung ini mengadopsi gaya arsitektur Ratu Anne.
[caption caption="Bangunan bergaya Ratu Anne"]
Kelebihan Gedung-Gedung Tua
Setiap gedung tua punya keunikan. Suatu hari, seusai rapat di kantor Urban Research and Development Institute (URDI) yang terletak di kantor Departemen Konstruksi, saya menemukan pemandangan indah dari koridor di samping ruang rapat. Fasad Katedral Saint Mary – katedral terbesar di Myanmar yang dibangun di awal tahun 1900-an – terlihat utuh dari sana, memungkinkan kita mengagumi keindahan arsitekturnya. Di hari lainnya, saya terkagum-kagum melihat mural sejarah Palang Merah di dinding lobi gedung Palang Merah Myanmar yang mencapai empat meter tingginya. Gedung Palang Merah Myanmar terletak di seberang pelabuhan Botahtaung, di tepian Sungai Yangon yang sangat lebar dan coklat susu warna airnya. Ia menjadi saksi kiprah Palang Merah yang telah ada di bumi Myanmar sejak tahun 1920-an.
[caption caption="Katedral Saint Mary, Katedral terbesar di Myanmar, dilihat dari koridor kantor URDI"]
Satu hal yang saya sukai dari gedung-gedung tua ini bagusnya sirkulasi udara di dalamnya. Dengan plafon-plafon yang tinggi dan jendela-jendelanya yang besar, bangunan-bangunan kuno ini mampu menahan gerahnya cuaca Yangon sehingga ruangan-ruangan di dalamnya tak perlu memakai pendingin udara.
Gedung-gedung kokoh ini telah berhasil selamat dari gempuran tentara Jepang dan bombardir Tentara Sekutu di masa Perang Dunia Kedua, juga dahsyatnya Siklon Nargis di tahun 2008. Bukti tak terbantahkan, bahwa meski tua, gedung-gedung itu belum ringkih dimakan usia.Â
- BERSAMBUNG KE BAGIAN 2Â -
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H