Mohon tunggu...
Anisa Larassati
Anisa Larassati Mohon Tunggu... -

Because you want to know more about me you can read my biography. It's called "Beowulf".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Dingin, yang Berpotensi Jadi Wisata Prostitusi. Apa Iya?

23 Mei 2011   17:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:18 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir-akhir ini, saya merasa sangat merindukan kampung halaman saya. Kampung saya tercinta ini berada di lereng Gunung Merbabu. Seperti daerah lereng gunung pada umumnya, cuaca di desa ini termasuk sangat dingin. Saat masuk musim hujan, bisa jadi kami para penduduknya tak dapat melihat matahari sama sekali karena kabut yang tebal dan hujan yang deras. Bila sudah tiba musim begini, maka sangat sulit bagi saya untuk menemukan alasan yang kuat untuk mandi.  Kecuali, tentu saja, untuk menjaga nama baik saya di hadapan khalayak umum. Hanya kalau nenek saya sudah menyiapkan air panas yang telah direbus di tungku kayu dan memanggil nama saya minimal 3X, barulah terbersit keinginan saya  untuk mandi. Sejak dulu, desa kami ini terkenal dengan wisata alamnya. Udaranya yang sejuk dan pemandangan alamnya yang indah membuat kerasan banyak orang. Orang-orang kota yang terbiasa oleh kendaraan penyebar polusi, gerahnya kota dan sumpeknya gedung-gedung tinggi, merasa desa kami adalah tempat yang tepat untuk rehat. Memandang Gunung Merbabu, Telomoyo, Gajah Mungkur dan Merapi yang terlihat jelas dari desa kami adalah suatu nikmat yang luar biasa. Banyak keluarga yang menyempatkan piknik kesana, menikmati udara segar, berbelanja sayuran, tanaman hias dan sebagainya.  Biasanya mereka datang dengan rombongan keluarga, kantor, sekolah atau kampus. Saat ini, meskipun desa kami masih berudara sejuk, berpemandangan indah, serta masih dikelilingi dengan gunung-gunung yang sama, ada yang sedikit berbeda dengan wajahnya. Kalau diibaratkan gadis desa, desa kami ini sekarang sudah kenal nyalon. Sudah banyak pembangunan disana-sini. Semakin cantik? semakin maju? tentu. Sayangnya, beberapa bagian dari kemajuan itu justru mengakibatkan kemunduran yang signifikan. Saya ingat betul kejadian sewaktu saya masih kelas 6 SD.  Ketika hendak mengajak teman saya belajar kelompok, saya sendirian menuju rumahnya yang letaknya 'nylempit' diantara rumah-rumah lain dan kebun-kebun. Sebut saja nama teman saya itu "Melati". Ketika saya bertanya kepada mbah putri Melati, "Mbah, Melati ada dirumah tidak?" maka beliau menjawab: "Oh, ndak bisa, Melati sedang dipakai. Yang lain saja." Lalu diam. Saya benar-benar bengong dan tak tahu apa yang sebenarnya dimaksud si mbah ini. Beberapa lama kemudian, beliau mungkin menyadari kesalahannya lalu meralat kalimatnya: "Oh, siapa yang kamu maksud? Melati cucuku? itu ada di rumah." Sepulang belajar kelompok, saya menceritakan semua kepada ibu saya, lalu bertanya apa kemungkinan maksud si mbah itu. Ibu tak berkata banyak. Hanya bilang bahwa di rumah Melati itu ada Melati lain yang lebih dewasa. Kebetulan namanya juga memang sama. Baru setelah SMP saya tahu, bahwa si mbah dari Melati adalah, maaf, mucikari. Beliau menampung beberapa perempuan dirumahnya untuk 'dipesan'. Setelah saya SMP kelas 1, ada kejadian yang lebih menyebalkan. Waktu itu saya sedang menjaga warung dengan adik sepupu saya. Sepupu saya ini berbadan bongsor meskipun masih SD. Saat menjaga warung itu, ada dua orang laki-laki muda yang bertanya, "Dek, cari cewek dimana ya?" kami menjawab "Tidak tahu". Salah satu dari mereka lalu bilang "Bagaimana kalau dengan adek saja? mau dibayar berapa?" sambil menunjuk adik sepupuku. Karena dulu masih kecil, dia hanya cemberut dan matanya merah ingin menangis, sedang saya hanya bisa bilang "Wong edan!". Kalau itu terjadi sekarang, mungkin mereka sudah kami lempar kursi. Memang sudah ada praktek prostitusi sedari dulu kala. Tapi dulu tak terlalu terbuka. Berbeda dengan sekarang. Hotel-hotel, penginapan-penginapan, bahkan cafe-cafe yang menyediakan minuman keras dan karaoke sudah banyak dibangun di desa kami tercinta. Rumah-rumah warga disamping kiri dan kanan saya pun sudah berubah menjadi penginapan kecil yang bertarif sekitar Rp. 25.000 (untuk istirahat) sampai Rp. 50.000 (untuk bermalam). Murah bukan? bahkan anak sekolahan pun mampu bayar! Banyak juga calo yang menawarkan 'jasa' bagi para tamu. Ahkir-akhir ini lebih terbuka. Usaha ini memang cukup menjanjikan karena tamu yang datang pun tergolong banyak. Tidak mungkin ada offer kalau tidak ada demand kan? Dulu orang tua saya pun sempat tergoda dengan tren membuat usaha penginapan. Tapi setalah melalui pemikiran panjang, alhamdulillah kami masih bertahan dengan rezeki hasil 'mburuh' daripada mendapatkan uang instant dari usaha menyediakan tempat zina. (maaf bagi yang merasa tersinggung, ini pandangan saya pribadi). Sedih.. Miris. Desa kami yang dulu terkenal karena alamnya, kini lebih terkenal dengan wisata prostitusinya. Meskipun pembangunan tempat wisata seperti outbound sudah dikembangkan dan banyak juga wisatawan dari rombongan keluarga dan organisasi yang berdatangan, jumlahnya kalah dengan pengunjung yang berpasang-pasangan, entah resmi atau tidak, yang mencari penginapan murah lalu berbuat apapun yang ingin mereka perbuat. Meskipun para 'pekerja' dan 'pelanggan' berasal dari luar daerah, hal ini tetap saja membuat tidak nyaman. Sekarang saya harus pikir-pikir lagi untuk sekedar nongkrong di depan rumah yang kebetulan berhadapan dengan jalan raya. Sering ada orang yang salah paham dan mencoba bernegoisasi. Mereka pikir saya duduk-duduk di depan rumah itu sambil mencoba menawarkan diri. Entah kemana perginya akal mereka,. Mungkin sudah tertutup nafsu, sehingga mereka pikir semua perempuan di desa kami adalah 'dagangan'. Tentu setelah itu mereka pergi dengan 'uang saku' berupa omelan dari saya ataupun ibu saya. Ibu saya ini nampaknya sudah sering menghadapi orang-orang begitu, jadi 'uang saku' yang diberikan pun lebih dahsyat. Mungkin sampai membuat telinga mereka berdengung. Hahaha. Sungguh-sungguh sangat tidak nyaman sekali. Desa yang walaupun cuacanya dingin, menjadi semakin panas saja setiap harinya. Sewaktu masih kuliah di Semarang, salah satu teman pernah berkata "Desamu itu kan dingin, ditempat yang dingin itu biasanya orang-orang cari kehangatan. Ya sudah biasalah". Terdengar kejam memang. Tetapi kalau diperhatikan benar juga. Jika dilihat, tetangga satu kabupaten yang berhawa sejuk seperti  Bandungan juga bernasib sama. Atau lebih jauh lagi dibandingkan dengan Puncak. Tempat itu juga berhawa sejuk dan bernasib sama pula. Jadi, apakah benar daerah bersuhu dingin cenderung berpotensi jadi wisata prostitusi? Nggak semua juga kali ya. Yang jelas saya sangat menghargai orang-orang yang berusaha mempromosikan desa kami sebagai tempat wisata alam dan mengembangkan website ini: http://desakopeng.com/ Luar biasa usahan mereka untuk membantu membangun image desa kami yang kini telah dikembangkan pemerintah menjadi Desa Vokasi. Keep on  the great work guys! My beloved village, I love you just the way you are.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun