Mohon tunggu...
Afni Khaerifa Shaomi
Afni Khaerifa Shaomi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Jurnalistik)

Selanjutnya

Tutup

Film

Pesan tentang Kesetaraan Gender yang 'Tersembunyi' di Film Ngeri-Ngeri Sedap

20 Januari 2023   09:03 Diperbarui: 20 Januari 2023   10:22 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Instagram @ngeringerisedapmovie

Bagi Anda pecinta film, judul Ngeri-Ngeri Sedap tentu sudah tak asing lagi ya? Ngeri-Ngeri Sedap berhasil menduduki peringkat keempat film Indonesia terlaris sepanjang tahun 2022 lalu. Ngeri-Ngeri Sedap mengandung banyak pesan tentang kehidupan berkeluarga. Nah, apabila diresapi lebih baik lagi, ada pesan ‘tersembunyi’ tentang kesetaraan gender yang menjadi ‘kejutan’ segar dalam film ini.

Sebagai informasi, sejak tayang di bioskop tanggal 2 Juni 2022, film ini berhasil menarik sebanyak 2.886.121 penonton. Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2022, film ini tayang di Netflix dan kembali mendapat respon positif dengan masuk 10 besar film teratas selama berbulan-bulan. Jadi, film ini sangat layak untuk masuk daftar tontonan wajib Anda. Sebelum melanjutkan membaca, ada baiknya menonton film Ngeri-Ngeri Sedap terlebih dahulu, karena artikel ini mengandung spoiler.

Berbeda dengan film Indonesia lain yang biasanya mengambil latar utama di Pulau Jawa, film ini mengambil latar utama di Pulau Sumatra, lebih tepatnya menggambarkan kehidupan salah satu keluarga Batak di Sumatra Utara. Inilah salah satu alasan Ngeri-Ngeri Sedap menjadi perbincangan publik, yang pada akhirnya membuat banyak orang penasaran untuk menonton filmnya. Namun, sedikit yang menyadari bahwa selain latar yang berbeda dari film Indonesia pada umumnya, film ini juga menyorot bagaimana kehidupan perempuan di lingkungan patriarki.

Ngeri-Ngeri Sedap adalah film drama komedi keluarga yang disutradarai dan ditulis oleh Bene Dion Rajagukguk. Film ini bercerita tentang kehidupan keluarga Pak Domu (Arswendy Beningswara Nasution) dan Mak Domu (Tika Panggabean). Pasangan ini memiliki empat anak yaitu Domu Purba (Boris Bokir), Sarma Purba (Gita Bhebhita), Gabe Purba (Lolox), dan Sahat Purba (Indra Jegel).

Konflik bermula dari kerinduan Mak Domu pada ketiga anak laki-lakinya (Domu, Gabe, Sahat) yang sedang merantau ke Pulau Jawa. Namun, sulit untuk membujuk ketiga anaknya tersebut untuk pulang ke rumah. Masing-masing anak punya permasalahan berbeda yang membuat mereka enggan pulang. Hal ini dikarenakan Domu yang dilarang oleh Pak Domu untuk menikahi pacarnya yang merupakan perempuan Sunda. 

Kemudian Gabe yang diminta Pak Domu untuk beralih profesi dari pelawak menjadi hakim/jaksa karena Gabe adalah seorang Sarjana Hukum. Lalu, Sahat sebagai anak bungsu yang seharusnya tinggal di kampung dan merawat orang tuanya, malah lebih memilih untuk tinggal di  Yogyakarta. 

Pak Domu dan Mak Domu akhirnya merancang skenario seakan-akan mereka akan bercerai agar ketiga anak tersebut pulang. Karena akan ada pesta yang mengharuskan mereka untuk pulang. Berawal dari berpura-pura, tanpa disadari hal tersebut justru menjadi kenyataan dan mengubah kehidupan keluarga tersebut.

Penggambaran konflik antara Pak Domu dan Mak Domu dengan ketiga anak laki-lakinya di awal film sangat dominan, sehingga karakter Sarma yang merupakan anak perempuan dan anak kedua dari pasangan ini terkesan hanya sebagai ‘figuran yang tak penting’. Sarma bekerja sebagai PNS dan tinggal di kampung bersama orang tuanya. Sarma menjadi jembatan hubungan antara Pak Domu dan Mak Domu dengan ketiga saudaranya.

Selama cerita film berlangsung, kita bisa melihat bagaimana dominasi Pak Domu. Sedangkan Mak Domu digambarkan sebagai perempuan yang sejak cerita berawal hingga puncak konflik tunduk pada Pak Domu. Ada beberapa adegan yang menggambarkan bagaimana Pak Domu memerintah dengan alasan “demi kebaikan bersama” dan Mak Domu selalu menuruti perintah Pak Domu tersebut. Bukan hanya Mak domu saja yang selalu menuruti perintah Pak Domu, Sarma juga tunduk pada perintah Pak Domu. Disini kita bisa melihat bagaimana dominasi Pak Domu dengan menempatkan Mak Domu dan Sarma berada di bawah kendalinya.

Berbeda dengan Mak Domu dan Sarma yang selalu menuruti perintah Pak Domu. Domu, Gabe, dan Sahat, justru melawan kendali dari Pak Domu. Hal ini bisa terjadi karena meskipun memiliki konflik yang rumit dengan Pak Domu, mereka sebagai laki-laki yang sudah dewasa merasa sama kuatnya dengan Pak Domu dan memiliki privilege untuk pergi merantau serta merasa bisa lebih bebas berpendapat dan sudah tahu apa yang baik untuk hidup mereka. Sedangkan sebagai seorang perempuan, Sarma kerap kali mengalah pada kakak dan adiknya bahkan orang tuanya.

Pada puncak konflik, penonton akan menyaksikan drama penuh haru. Saat Pak Domu memarahi ketiga anak laki-lakinya, Mak Domu akhirnya berani untuk bersuara sebagai wanita yang selalu berada di bawah kendali Pak Domu. Dari perkataan Mak Domu, ketiga anak laki-lakinya pun juga baru mengetahui bahwa sebenarnya Pak Domu dan Mak Domu itu hanya berpura-pura ingin bercerai. Mereka terkejut dan menyudutkan Sarma selaku orang yang mereka percaya di rumah. Dan memang ternyata, Sarma juga diperintah oleh Pak Domu untuk mengikuti skenario yang dibuatnya.

Sebelumnya, Mak Domu selalu bilang pada Sarma bahwa perempuan tidak boleh melawan, perempuan harus nurut. Namun, karena Sarma melihat bagaimana Mak Domu sebagai perempuan akhirnya berani bersuara, Sarma pun berani bersuara. Sarma mengatakan bagaimana sulit dan serba salahnya menjadi anak perempuan di keluarga tersebut. Sarma yang mendapat dampak perlawanan dari saudara-saudaranya. 

Tidak seperti kakaknya (Domu) yang melawan ketika dilarang untuk menikahi pacarnya yang bersuku Sunda, Sarma memilih menurut pada Pak Domu untuk putus dengan pacarnya yang bersuku Jawa. Kemudian Sarma juga rela membuang mimpinya untuk bersekolah masak di Bali, karena Pak Domu bilang jangan seperti Gabe yang pekerjaannya tidak jelas. Dan karena Sahat tidak mau pulang, Sarma akhirnya yang mengalah untuk tidak merantau dan tinggal di kampung. 

Padahal sebagai anak terakhir, seharusnya Sahat yang mengurus rumah dan orang tuanya. Momen ketika Mak Domu dan Sarma bersuara, menjadi titik balik bagi keluarga tersebut untuk memperbaiki diri masing-masing dan menemukan makna keluarga yang sebenarnya.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana sulitnya hidup sebagai perempuan yang berada di lingkungan patriaki. Namun, sebagai perempuan, sebenarnya kita juga memiliki hak yang sama. Perempuan berhak menuntut ilmu setara dengan laki-laki. Perempuan berhak untuk bersuara dan memberikan pendapat. Perempuan berhak untuk memiliki cita-cita dan menggapainya. Perempuan berhak memiliki kendali akan diri sendiri. Perempuan berhak mendapat kesetaraan gender.

Saya berharap Ngeri-Ngeri Sedap tidak hanya disorot sebagai film yang memiliki latar unik. Namun, saya berharap penonton dari film ini juga dapat melihat makna yang terkandung. Mari kita sama-sama belajar, misalnya sebagai laki-laki harus mau juga mendengarkan pendapat perempuan. Dan sebagai perempuan, kalian berhak untuk bersuara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun