"Stt.. st.. udah biarin aja. Yuk Sanna makan, itu nanti bagi dua ama Ayah ya." Lanjut Ayah sambil melepas baju kokonya dan membawa kotak nasinya ke dapur.
Aku begitu kaget dengan reaksi Ayah yang tidak seperti biasanya. Hal itu tidak pernah terjadi sebelum Sanna hadir di tengah-tengah keluargaku. Aku berusaha meredam emosi itu dengan lanjut fokus melanjutkan tugas yang sedang melotot di depanku.
Tidak lama, Ayah kembali dan berdiri di depan kamarku. "Tuhkan, Sanna jadi gak mau makan. Kamu sih gituin."
"Kamu gak boleh gitu. Diakan walau ASD tapi juga punya perasaan." Lanjut Ibuku yang berjalan dari kamarnya
Crackkk...waduk penahan emosiku benar-benar retak, sulit untukku mengatur emosi ini. Lalu bagaimana nasib perasaanku? Â Aku hanya menanggapi Ayah dan Ibu dengan diam. Namun, Kakak yang duduk di dekat aku seperti mengerti perasaanku dan sedikit membelaku.
"Engga, Yah, Bu, maksud Luna tuh bukan ngelarang Sanna makan. Konteks si Sanna bilang belum makan padahal udah itu yang salah. Dia tadi udah makan sama Luna barusan banget." Bela Kakakku namun tidak ada tanggapan dari Ayah dan Ibu. Entah tidak mendengarnya atau tidak peduli.
Duar... waduk penahan emosiku kali ini benar-benar runtuh. Bulir-bulir air mata perlahan turun satu persatu. Tapi tidak semudah itu, aku tidak mau Kakak, Ayah, Ibu, dan Sanna melihat aku menangis.
Hilang sudah fokusku untuk nugas. Seakan seperti robot, jariku secara otomatis bergerak membuka Youtube dan memilih video secara asal untuk diputar dengan volume penuh yang langsung masuk ke telingaku melalui earphone. Aku tidak mau mendegar suara mereka lebih banyak lagi malam ini.
Aku menyetel video lucu, namun nihil. Tidak ada yang bisa menghiburku malam itu, yang ada malah kalimat-kalimat Ayah dan Ibu yang begitu sesak di dadaku terus terngiang.
Apa?! Aku harus menjaga perasaan Sanna? Apa karena Sanna ASD? Apa karena Sanna keluarga baru di sini? Lalu bagaimana dengan perasaaku? Bagaimana denganku yang ada di sini sejak aku lahir? Apakah perasaanku tidak sepenting perasaan Sanna? Jadi siapa yang sebenarnya anak sungguhan dari Ayah dan Ibu? Batinku terus saja meluapkan emosi dengan kalimat dan pikiran negatif dalam keheningan. Seketika semua perlakuan Ayah dan Ibu kepadaku dan Sanna yang awalnya tidak terpikirkan olehku jadi begitu terasa perbedaannya.
Sanna yang hanya melakukan hal kecil pasti selalu dapat apresiasi, sedang aku? Melakukan suatu hal yang besar sama sekali tidak mendapat apresiasi. Sekarang aku sadar alasan aku selalu melakukan segala hal dalam diam adalah walaupun aku ceritakan, aku juga tetap tidak mendapatkan apresiasi yang aku harapkan. Jadi lebih baik diam daripada mengharapkan hal yang tidak akan terjadi.