PEMIMPIN tak hanya memahami tentang mempengaruhi tetapi juga tahu apa yang mempengaruhi dirinya dalam bertindak. Apalagi peran penting yang sangat krusial dalam membangun kesepakatan dan pemahaman bersama di antara anggota kelompok agar adanya loyalis sejati bukan karena rasa takut.
Pada dimensi kepemimpinan dalam Sosiologis pemimpin tentu saja harus paham akan Pembentukan Konsensus, Pengelolaan Konflik hingga jejaring agar dirinya bisa selalu menjembatani untuk pemenuhan setiap kebutuhan dan kepentingan publik
Retorika pemimpin bukan hanya sebagai sosok yang lebih dari sekadar individu yang memerintah. Mereka adalah produk dari interaksi sosial, struktur sosial, dan dinamika kelompok. Pemimpin tidak hanya mempengaruhi, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya.
Historis Aceh sudah tentu dililit dengan ragam permasalahan yang begitu komplek, baik itu kemanusian, kemiskinan hingga keterbatasan akses bagi masyarakat pelosok. Meski upaya menciptakan pola pemerintahan yang transparan dan akuntabel belum tentu mampu menjawab social problem yang dihadapi rakyat.
Terlepas dari masa kelam, Aceh sudah layak berdiri gagah dengan segala sumber dayanya. Pemanfaatan yang baik hingga bisa mencakup masyarakat secara mikro untuk lebih meraih kesejahteraan.
Jika disebut manusianya tak pandai, maka Pendidikan di Aceh tentu dianggap tak mumpuni dalam membangun soft dan hard skill yang sudah memamerkan segudang prestasi dan penghargaan, maka tak patut siapapun untuk menyebut SDM tidak ada kala berbicara perubahan ke arah yang baik.
Jelas, Aceh butuh yang paham, memahami kompleksitas segala permasalah yang ada, baik itu segi sosial, budaya, ekonomi, politik hingga tata pengelolaan yang baik disertai dengan upaya pengorganisiran yang mencakup sekala makro,bukan hanya pada kelompok tertentu.
Kita sudah melihat bagaimana pemangku kepentingan mempertontonkan keretakan politik dengan dalih kepentingan rakyat. Tak jauh berbicara, ketidak harmonisan hubungan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pemerintah Aceh dibawah pimpinan penjabat pilihan kementerian pada tahun lalu sudah cukup menjadi refleksi bagi kita.
Secara Situasional disebutkan bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada situasi yang dihadapi, seperti jenis tugas, hubungan pemimpin dengan anggota kelompok, dan kekuasaan formal yang dimiliki pemimpin. Tentunya Pemimpin seringkali menjadi katalisator perubahan sosial, baik dalam skala kecil maupun besar. Hal ini menjadi perhatian gar pemimpin tak diemban hanya karena faktor terkenal.
Melainkan pengalaman, pemahaman dalam menyikapi masalah hingga penuntasannya. Lebih dari itu, dalam mengatasi permasalahan dalam masyarakat juga menjadi catatan individu pemimpin, agar pemberantasan bukan dilakukan pada sekala akar saja, melainkan pada Haluan penyebab sehingga tak menghidupkan benih serupa pada kemudian hari. Upaya demikian, tentu pula harus didampingi oleh meraka yang mumpuni dalam mengalisis. Sehingga pemimpin tak canggung dalam mengambil keputusan, tetapi kematangan karena ragam pertimbangan serta hasil evaluasi yang cukup.
Dalam masyarakat modern, kepemimpinan semakin terdistribusi, tidak hanya terpusat pada satu individu. Munculnya teknologi memungkinkan kepemimpinan dilakukan secara virtual, melampaui batas geografis. Masyarakat semakin menuntut pemimpin yang memiliki nilai-nilai etika dan moral yang kuat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H