Kursi panas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik tingkat I, II dan III menjadi perebutan para politisi baik lokal maupun nasional untuk dapat merasakan indahnya otoritas yang dimiliki oleh kursi tersebut dengan niat (tulus) untuk membuat suatu perubahan terhadap roda dan keberlansungan Negara.
Perembutan kursi menjadi ajang perlombaan seperti halnya dalam kegiatan Tournamen sepak bola untuk memperebutkan piala yang membuktikan kemenangan serta kekuatan dan kemampuan untuk mengalahkan tim lainnya yang sedang bertarung memperebutkan kemenangan. Bukan hanya itu kemenangan yang dperoleh juga merupakan suatu kebanggaan bagi si pemenang. Sementara pertarungan untuk memperebutkan kursi panas berlansung secara serentak diseluruh tanah air dalam ajang Legislatif Tournamen (sebutan) atau secara formal dikenal dengan Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif.
"Tujuannya adalah membuat perubahan," begitulah kata-kata yang sering diutarakan, "Tidak mungkin akan ada perubahan jika buka kita yang duduk didalam sana" (ungkapan), al hasil yang terjadi tetaplah seperti biasa bahkan produk yang dihasilkan oleh Kursi panas itu hanya sedikit yang berpacu pada kepentingan Rakyat.
Apa yang diperjuangkan ?
Siapa yang diperjuangkan ? dan
Perubahan apa yang ingin dicapai ?
Hanya tanda tanya yang terukir, perubahan merupakan peralihan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, perubahan tersebut tidak hanya berupa keadaan saja melainkan bisa berupa perubahan pola pikir, dan perilaku suatu masyarakat, bukan pula hanya berpacu pada keadaan bangsa saja.
Secara umum, membuat perubahan hanya dapat dilakukan oleh kalangan elit saja, namun perpektif seperti itu merupakan kesalahan besar, beranjak dari kebiasaan DPR selain fungsi pengawasan, penyampain dan perjuangan juga menjadi bagian dari tindakannya, namun itu semua hanya berlaku secara formalitas negara.
Perubahan tidak hanya pada tatanan yang bersifat terstruktur, pengaruh era global memaksa kita untuk terus berjuang beradaptasi secara maksimal, perubahan ke arah yang lebih baik selalu menjadi harapan masyarakat besar, jika hanya menaruh harapan perubahan para proletar kepada kaum-kaum elit (Politisi) maka perubahan hanya terjadi secara harapan (semakin menumpuk harapan). Namun perubahan harus dilakukan baik secara kontruktif maupun secara moral tidak dapat berpacu kepada regulasi yang dihasilkan oleh DPR dan ditanda tangani oleh pimpinan (bukan) itu hanyalah untuk memperketat dan mengatur jalannya negara agar terlihat kondusif.
Perubahan haruslah dilakukan oleh individu maupun kelompok melalui penyadaran, bukan dengan penekanan yang ikatan yang mebuat seolah olah kau lain terpenjara dalam kekangan produk hukum yang dihasilkan, kebebasan menjadi impian bersama tetapu kebebasan hanyalah kata yang tersimpan dalam kamus secara universal.
Untuk itu, Gerakan kaum Progresif menjadi salah satu landasan untuk mengakan perubahan, komunitas dihadirkan bukan untuk kampanye kepentingan tetapi untuk dapat membuat suatu perubahan yang baik, bukan untuk menunjukkan kehebatan, apa yang telah dirubah oleh kehadiran suatu komunitas ?, tentu hal tu menjadi pertanyaan, selama ini hanyalah kegitan seremoni yang manjadi acuan keberlansungan suatu komunitas. Tentu itu tidak stabil dan tidak berpengaruh terhadap orang banyak.
Didiklah para masyarakat sadar akan kelalaian, didiklah mereka untuk terus mengawasi walaupun hukum semakin mengekang, perubuhan tidak dihasilkan oleh argumen omong kosong, tetapi dihasilkan oleh tindakan nyata yang sesuai dengan kondisi sumber daya yang ada.
"Tak mungkin berharap dibangun sebuah gereja, sementara para penduduknya beragama Islam, begitulah sebaliknya,"