Mohon tunggu...
Aflah Mahmudah
Aflah Mahmudah Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Aktif

Al-Faqir Penuh Tanda Tanya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

(Opini) Konflik Israel-Palestina dan Resolusi PBB yang Tak Ditanggapi

5 Desember 2023   12:02 Diperbarui: 5 Desember 2023   12:02 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak bisa di Sangkal, Dari Sejarah dan Fakta Yerussalem adalah tanah nya ummat Islam

Dalam forum debat terbuka Dewan Keamanan PBB yang berjudul “Partisipasi Perempuan dalam Perdamaian dan Keamanan Internasional: dari Teori hingga Praktik” di New York pada Rabu 25 Oktober 2023, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi, memiliki kesempatan untuk menyampaikan pidatonya yang berkaitan dengan situasi di Gaza.

Saat itu, ia menyampaikan kekecewaan yang amat dalam atas kinerja DK PBB yang dinilai lamban dalam merespon perkembangan di Gaza. Ia pun menyebut bahwa perbedaan pendapat dan adanya hak veto telah menghalangi kinerja PBB hingga resolusi tentang Gaza pun sulit untuk dihasilkan
 
Hasilnya Sidang Majelis Umum PBB menyetujui resolusi yang mendorong gencatan senjata kemanusiaan yang permanen dan berkelanjutan di Gaza. Keputusan ini diambil setelah rancangan resolusi diterima oleh 120 negara yang hadir dalam sidang darurat, sementara 14 negara, termasuk Amerika, menolak, dan 45 negara memilih untuk abstain. Resolusi ini mengakomodasi tiga langkah konkret yang diusulkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia.

Namun, ironisnya, setelah resolusi disetujui, pada hari yang sama, penjajah Israel justru meresponsnya dengan meningkatkan serangan ke wilayah Gaza Utara. Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, bahkan dengan provokatif menyatakan niatnya untuk melaksanakan operasi militer tahap II di Jalur Gaza, baik di bagian Utara maupun Selatan yang saat ini menjadi tempat pengungsian. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait keefektifan resolusi PBB dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan di kawasan tersebut.

Tampak, bagi Israel, desakan 120 negara yang terumus dalam resolusi tidak ada artinya sama sekali. Israel sudah bertekad bulat menjadikan Gaza sebagai medan pertempuran, sekaligus perburuan warga tanpa ada lagi rasa kemanusiaan. Dengan dalih membasmi sarang teroris Hamas, Israel terus melakukan pembantaian besar-besaran yang mengarah pada praktik genosida di wilayah Gaza.

Tidak dapat disangkal bahwa dukungan sepenuhnya dan terbuka dari Amerika beserta negara-negara Eropa terhadap Israel merupakan penyebab utama ketenangan Israel dalam menghadapi situasi konflik di wilayahnya. Kehadiran Amerika Serikat sebagai negara adidaya pertama dan negara-negara Eropa yang memiliki posisi strategis sebagai kekuatan adidaya mendukung kebijakan Israel. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa Amerika Serikat dan negara-negara Eropa adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada masa lalu, mereka turut serta dalam melegitimasi berdirinya entitas negara Zionis Israel melalui keputusan PBB. Lantas bagaimana solusinya?

Melihat perkembangan saat ini, nampaknya negara-negara adidaya telah berhasil mencapai tujuan mereka yang pada masa lalu adalah mendukung serta melegalisasi keberadaan negara untuk gerakan Zionisme internasional. Sejak awal, strategi mereka tampaknya bertujuan untuk menanamkan “duri dalam daging” di pusat negara-negara Muslim. Akibatnya, penguasa negara-negara Muslim terus-menerus terlibat dalam permasalahan yang tampaknya tidak pernah berakhir, yang kemudian menyebabkan pecah belah dan pelemahan kekuatan di kalangan mereka.

Selain itu, mereka terus dihadapkan dengan solusi-solusi yang terkesan absurd, yang paradoksalnya, justru semakin memperpanjang dominasi dan hegemoni negara-negara adidaya. Situasi ini menciptakan kondisi dimana negara-negara Muslim terus terjebak dalam pusaran konflik yang merugikan diri mereka sendiri, sementara negara-negara adidaya terus mengamankan posisi dominan mereka.

Kondisi ini berada pada pola yang kontras ketika institusi Khilafah Islamiyah masih ada. Wibawa umat Islam terlihat secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks politik internasional. Akidah Islam berfungsi sebagai perekat yang menyatukan seluruh bangsa, sementara hukum-hukum syariah menjadi pedoman standar berpikir dan bersikap bersama. Mencapai keridhaan Allah menjadi tujuan utama bagi seluruh umat Islam, menciptakan solidaritas, kemandirian, wibawa, dan ketakutan terhadap musuh-musuh mereka.

Selama berlangsungnya Khilafah Islamiyah, sikap terhadap Palestina tidak pernah mengalami perubahan. Ketika Perjanjian Umariyah ditandatangani dan kunci gerbang Al-Quds diserahkan oleh Uskup Patrick Safronius kepada Khalifah Umar bin Khattab, kaum Muslim menjunjung tinggi amanah tersebut dengan sepenuhnya.

Sikap yang kuat dan tidak berubah ini diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya. Bahkan, dalam situasi dimana kekuatan Khilafah melemah dan pemimpin Zionis menawarkan bantuan finansial, Khalifah dengan tegar menolak untuk menyerahkan tanah Palestina yang diminta, menunjukkan keteguhan prinsip dan komitmen mereka terhadap tanah suci tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun