Mohon tunggu...
Arya Rahmania
Arya Rahmania Mohon Tunggu... Editor - undergraduate student of International Relations Department

fake it till you make it!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Apa dengan Sistem Khilafah?

21 Oktober 2019   20:00 Diperbarui: 21 Oktober 2019   20:02 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengutip pemikiran Ibnu Khaldun (1284) tentang 'Khilafah' yang menurutnya adalah suatu tanggungjawab kepemimpinan atas seluruh masyarakat berdasarkan syarak dalam urusan duniawi dan ukhrawi. 

Hal ini dikarenakan segala tindakan manusia di dunia mempunyai kaitan erat dengan keadaan ang akan ditemui di alam akhirat. sebab, hal tersebut merupakan tanggungjawab dariNya dalam memelihara agama dan politik dunia.

Jika dibandingkan secara menyeluruh anatara sistem Khilafah yang dikenal dalam Islam dengan sistem-sistem politik pemerintahan lain yang pernah dikenal manusia umumnya, maka terdapat suatu perbedaan yang mencolok. 

Diantaranya, pada sistem Khilah kita akan menemui dua bidang kekuasaan utama sekaligus yakni keagamaan dan politik keduniawian yang antara keduanya saling menyokong satu sama lainnya dan tak dapat dipisahkan. Sedangkan sistem yang muncul setelahnya adalah sistem empayar dan lainnya hanya terbatas pada suatu kekuasaan, berdasarkan pada pemikiran rasio semata dan berorientasikan pada kepentingan duniawi saja.

Kebanyakan pemerintahan di dunia yang bertamadun ini, menjalankan birokrasi dengan menggunakan aturan perundang-undangan politik yang dikonstruksikan oleh ahli-ahli pikir dan pembesar negara yang bertujuan untuk membuat rakyat patuh dan tunduk pada hukum yang dibuat tersebut. sedangkan sistem Khilafah, birokrasi yang dijalankan diikat rapat oleh syari'at agama yang bersifat syarak, dimana khalifah disini berkedudukan sebagai pemimpin umat pengganti sistem kenabian sebelumnya. 

Dan dalam syari'at Islam, berarti segala kebijakan yang akan dilakukan harus bertolak pada Al-Qur'an dan Sunnah yang dalam hal kedudukan khalifah tidak ada keistimewaan tertentu secara personal. 

Adapun jabatan yang disandangnya tak mendudukkannya sebagai seorang yang paling tinggi atau lebih istimewa di mata Tuhan, melainkan kedudukannya sama kecuali tingkat ketaqwaan setiap individunya (Al-Hujurat:13). 

Seharusnya bagi seorang mukmin, hal ini sudah cukup menjadi alasan bahwa kedudukan dan jabatan bukanlah suatu tolak ukur tinggi rendah atau hina mulianya seseorang. Seperti halnya ucapan khalifah Abu Bakar ketika beliau dilantik menjadi Khalifah pengganti kepemimpinan Rasulullah: "...orang-orang yang lemah pada anggapanmu, adalah ia yang kuat pada anggapanku, maka aku harus menunaikan haknya. Sebaliknya, orang-orang yang kamu sangka kuat itu sebenarnya ia lemah menurutku hingga aku bersedia mengambil haknya." (Ibnu al-Athir: 1349)

Selain itu cakupan kekuasaan khalifah terbilang cukup luas, terlebih mencakup dua bidang yakni agama dan politik. Jika diriview kembali pada sejarah Khulafaur Rasyidin, bidang kuasa yang diamanahkan kepada seorang khalifah sekurang-kurangnya pada: (1) bidang pemeliharaan dan penjagaan agama (2) pelaksanaan hudud dan peradilan (3) urusan pertahanan dan keamanan (4) pemungutan bea cukai dan anggaran belanja negara (5) pengangkatan pejabat birokrat (6) mengawal jalannya seluruh aktivitas kenegaraan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun