Pemantik Bahasan
Sebagai mahasiswa yang "menyelam" di lingkup pendidikan bahasa dan sastra, terbesit di dalam pikiran mengenai keprihatinan dalam mengamati kondisi eksistensi bahasa dan sastra Jawa pada perkembangan zaman di era yang serba digital ini. Ungkapan-ungkapan dalam kesusateraan Jawa/kebudayaan Jawa seringkali dianggap "klenik"Â oleh orang Jawa itu sendiri. Hal tersebut dipengaruhi "entah" oleh ideologi ataupun pemahaman yang dinilai "sempit" mengenai kebudayaan Jawa itu sendiri. Mungkin juga karena adanya sejarah kolonialisasi yang dialami oleh bangsa kita, dengan adanya kampanye "Gold, Glory, Gospel"Â yang dilakukan oleh bangsa kolonial. Padahal, dalam kehidupan nyata, terdapat orang manca yang begitu konsen dalam meneliti mengenai keilmuan Jawa, seperti bapak Prof. George Quinn yang meneliti mengenai sastra dan budaya Jawa. Contoh lain yang dapat ditemui, yaitu Prof. Peter Carey yang meneliti mengenai pangeran Diponegoro dan sejarah perang Jawa ( sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Peter_Carey ).Â
Perihal tersebut yang membuat saya berpikir, "Apakah budaya Jawa dianggap ( oleh anak muda ) kurang mumpuni di zaman sekarang ? Apakah budaya Jawa kurang diekspos ? Atau kekurangan daya kreatif dalam memasarkannya ?" itulah yang saya kritisi.
Ungkapan "Wong Jawa kari separo, Cina-Landha kari sejodho"
Ungkapan tersebut "terpantik" ketika mengobrol dengan narasumber yang berdomisili di Jatingaleh, Semarang. Beliau tidak ingin diungkap namanya, namun masih dalam lingkup keluarga Badra Santi Institute ( https://badrasanti.or.id/ ). Pada obrolan tersebut, banyak insight yang saya dapatkan, terutama mengenai perkembangan budaya Jawa pada era sekarang. Isi pembahasan tersebut mendiskusikan mengenai adanya polarisasi stigma mengenai "pribumi" dan "non-pribumi" pada masyarakat Jawa. Stigma "pribumi" dianggap keturunan asli Jawa, sedangkan stigma "non-pribumi" ditujukkan pada keturunan masyarakat Jawa yang memiliki "keturunan" Tionghoa atau Barat. Perihal tersebut menjadi keprihatinan, apabila terdapat fenomena sosial yang menunjukkan keturunan Tionghoa atau Barat terasa lebih "ngugemi" budaya Jawa dibanding dengan orang yang mengaku "pribumi", namun budaya Jawa sendiri dianggap klenik, halu, terkesan tidak masuk akal, praktik perdukunan, dan lain sebagainya.  Hal ini pun juga didukung oleh adanya fenomena Ki Arjuna yang bagi saya lucu, tidak memasarkan budaya Jawa yang "keren" nan "modern", malah memasarkan keilmuan yang kurang berdasar dan mengatasnamakan budaya Jawa sebagai tujuan menarik perhatian masyarakat ( Walau begitu saya tetap respect, terhadap usaha ki Arjuna dalam menyambung hidup ) . Benak pikiran liar saya pun terganggu lagi, apakah hal tersebut yang membuat "pribumi" Jawa menjadi merasa inferior dan rendah diri untuk mempelajari budaya Jawa ? I dunno exactly.
Contoh ( sesorang ) Keturunan Barat yang Mencoba Mencintai Budaya Jawa
Salah satu contoh dalam pembahasan artikel ini adalah rapper favorit saya yaitu Mario Zwinkle ( nama panggung ), rapper asal D.I. Yogyakarta ini merupalan salah satu musisi yang merepresentasikan Hip-Hop dengan filosofi budaya Jawa. Beberapa lirik lagu, judul lagu, serta tampilan pakaian ( outfit ) memberi gambaran mengenai budaya Jawa. Seperti ketika di musik yang judulnya "Brown Face" ( https://www.youtube.com/watch?v=MP0WVnZh5So ), rapper ini melantunkan salah satu lirik yang isinya menjelaskan mengenai "outfit branding" ala Jawa modern, menurut saya, lirik ini disampaikan agar para penonton ( khususnya sebagai orang Jawa ) tidak malu dalam merepresentasikan budaya Jawa. Bunyi liriknya kurang lebih adalah seperti ini, "I'm that biracial boy from the block, Udeng aku swaggy lebih seksi timbang snapback, sarung dan surjan rockin fresher than a blazer, kulit sawo matang selalu tegap pasang badan". Bila dicermati, terdapat komponen outfit yang disampaikan dalam lirik menggambarkan pakaian khas Nusantara, khususnya Jawa.
Di lagu lainnya, beliau juga menyampaikan filosofi Jawa di dalam cerita pewayangan, yaitu dalam lagu "Diyu". Walaupun liriknya full berbahasa Inggris, namun beliau mengambil judul tersebut karena terinspirasi dengan "Diyu" yang di dalam pewayangan, terutama pada cerita "Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu" adalah simbol dari buta atau raksasa angkara murka. Sesi wawancaranya dapat dilihat pada link ( https://www.youtube.com/watch?v=u768yGwpqDU&t=303s ). Dan Ofisial musik videonya lagu "Diyu" dapat dilihat pada link ( https://www.youtube.com/watch?v=G-DglNgjHkA ).
Selain dua lagu tersebut, masih ada lagu yang pada video ofisial musiknya menampilkan sang rapper di beberapa menit mengenakan setelan udeng dan sarung ala outfit Jawa pada lagu "Livin' It Up", seperti gambar di atas. Pada lagu tersebut, sang rapper berduet dengan salah satu seniman lokal yang kini sudah melanglang buana di dunia Internasional, yaitu Nova Ruth. Sedikit cerita, Nova Ruth juga merupakan seniman yang berlatar belakangan spiritual Jawa, serta isi dari musiknya juga mengampanyekan mengenai kepedulian lingkungan, terutama ekosistem di lautan. Lagu tersebut juga menggunakan kapal Arka Kinari ( kapal milik mbak Nova Ruth bersama suaminya, yaitu Mr. Filastine ) sebagai latar tempat syuting. Penasaran dengan lagunya ? Dapat diakses pada link ( https://www.youtube.com/watch?v=ZuVJodXXszs ).