Mohon tunggu...
Afina PutriSalsabila
Afina PutriSalsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA S1 UNIVERSITAS AIRLANGGA

SAYA ADALAH IRANG EKSTROVERT YANG SENANG BERSOSIALISASI UNTUK MENAMBAH PERSPEKTIF DALAM HIDUP SAYA.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Manfaat Thrifting di Kalangan Remaja dan Dampaknya Bagi Lingkungan serta UMKM Lokal

29 Maret 2023   22:28 Diperbarui: 29 Maret 2023   22:47 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampah adalah suatu barang yang tidak dimanfaatkan lagi dalam kehidupan sehari-hari dan biasanya dibuang begitu saja. Di lingkungan masyarakat saat ini semua barang yang tidak dapat dimanfaatkan lagi biasanya akan langsung dibuang ke tempat sampah. Akibatnya, terjadi penumpukan sampah di tempat pembuangan sampah. 

Diperkirakan ada sebanyak 7.600 ton sampah yang berasal dari DKI Jakarta saja dan 60% sampah ini berasal dari sampah rumah tangga (Faisol dalam Yarza & Agus, 2021). Sampah dari rumah tangga meliputi sampah dapur, sampah plastik, sampah pakaian bekas, sampah masker, dan lain-lain. 

Dari data tersebut hanya diketahui satu dari beberapa kota terbesar di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia tengah mengalami darurat sampah.
Salah satu masalah sampah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah masalah sampah pakaian bekas. Dewasa ini, industri mode terutama pakaian tengah berkembang dengan sangat pesat. 

Perkembangan ini berpengaruh pada peningkatan produksi pakaian. Namun sayangnya ketika warna pakaian mengalami kelunturan dapat memicu masalah lingkungan yaitu penumpukan limbah pakaian bekas. Beberapa pakaian bekas dibuang begitu saja sehingga menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir karena dianggap sudah tidak layak pakai. Entah itu karena warnanya yang sudah pudar, ketinggalan zaman, atau rusak.

Gaya hidup konsumtif masyarakat dapat mengakibatkan industri pakaian begerak dengan sangat cepat sehingga berdampak pada menumpuknya masalah pakaian bekas. 

Esensi dari suatu pakaian bukan semata-mata hanya sebagai bagian dari kebutuhan manusia untuk menutupi tubuhnya, akan tetapi kini mulai bergerak pada perkembangan fashion yang selalu berganti seiring berjalannya waktu. Perkembangan fashion yang begitu cepat atau biasa dikenal fast fashion mengakibatkan seseorang yang tidak mengikuti perkembangan tersebut dianggap ketinggalan zaman. 

Padahal konsumsi pakaian secara berlebihan dapat menyumbangkan limbah yang sulit diuraikan oleh makhluk hidup. Fast fashion berpengaruh terhadap pencemaran lingkungan karena penggunaan zat kimia dalam proses pewarnaan, selain itu fast fashion yang selalu memproduksi produk dengan tren terbaru menimbulkan sikap konsumtif karena konsumen ingin terus mengikuti tren fashion (Diantari, 2021).

Hasil penelitian yang dilakukan Diantari pada tahun 2021 menunjukkan bahwa di setiap musimnya, remaja di Denpasar memiliki 10 item produk fast fashion di lemari mereka. Apabila perilaku seperti ini terus dilakukan, akan menimbulkan penumpukan pakaian bekas yang berdampak pada pencemaran lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan lingkungan akibat berkembangnya fast fashion, kini diciptakan berbagai upaya penganggulangan. Salah satu upaya tersebut adalah thrifting. 

Thrifting merupakan aktivitas berbelanja barang lama atau bekas yang memiliki harga lebih murah dibandingkan harga barunya. Aktivitas thrifting ini merupakan cara yang dapat dilakukan untuk menghemat kebutuhan khususnya dikalangan remaja dalam memenuhi gaya hidupnya.
Remaja yang ingin berpenampilan fashionable dan trendy tidak harus berbelanja di mall karena ada opsi lain dengan melakukan aktivitas thrifthing. Jika dibandingkan dengan membeli pakaian baru di mall tentu saja akan membutuhkan biaya yang cukup besar. 

Oleh sebab itu, berbelanja pakaian melalui thrift shop ini dapat menjadi menjadi alternatif bagi para remaja untuk berhemat dan mendapatkan banyak pakaian sehinga bisa digunakan secara bergantian agar penampilannya tidak terkesan membosankan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan Adji dan Dyva pada tahun 2023 menunjukkan bahwa aktivitas thrifting memiliki sejumlah manfaat seperti menunjang gaya berpakaian, adanya ciri khas barang yang dijual di thrift shop, memiliki harga yang relatif lebih murah, selain itu karena dengan berbelanja di thrift shop para remaja bisa mendapatkan barang-barang atau pakaian yang bagus, unik (limited edition), dan ada pula yang mendapatkan barang-barang branded.

Pakaian merk dengan harga yang jauh lebih murah dapat dibeli melalui thrift shop. Hal inilah yang menjadi daya tarik dari thfrifting dan eksis di kalangan remaja karena mereka dapat menggunakan baju branded dengan harga yang murah. Terlebih lagi, kampanye thrifting saat ini tengah menjadi kegemaran para remaja. Untuk sebuah brand ternama sekalipun, harga pakaian tersebut bisa dibilang ramah di kantong pelajar. Selain itu, biasanya pakaian yang dijual di thrift shop cukup berkualitas dan bahkan apabila beruntung akan mendapatkan barang yang masih baru.

Meskipun thrifting dapat menjadi alternatif dalam mengatasi masalah sampah pakaian bekas. Namun kegiatan tersebut justru dapat mengancam UMKM di Indonesia. Bahkan saat ini pemerintah membuat peraturan berupa larangan impor thrifting. Isu tersebut kini tengah ramai diperbincangkan berbagai kalangan mulai dari pelaku UMKM sampai remaja yang paling banyak menjadi konsumen bisnis thrift tersebut.
Thrifting bagaikan mata pisau yang memiliki manfaat juga dampak buruk bagi masyarakat. Dampak positif yang ditimbulkan dari aktivitas thrifting adalah menurunkan jumlah sampah pakaian bekas. Namun, di sisi lain aktivitas tersebut juga dapat menimbulkan konsekuensi yaitu terganggunya UMKM lokal. 

Pasalnya, para pelaku UMKM tersebut kesulitan dalam bersaing harga dan kualitas dengan bisnis thrift shop. Bagaimana tidak, dalam thrift shop kita akan dengan mudah mencari barang berkualitas dengan harga yang jauh lebih murah. Namun yang menjadi perhatian dalam masalah tersebut adalah impor baju bekas. Artinya aktivitas thrifting masih dapat dilakukan namun dengan catatan barang tersebut bukanlah hasil dari impor. Oleh sebab itu, masalah ini hendaklah dikaji lebih mendalam lagi oleh pemerintah untuk menemukan win win solution sehingga tidak ada pihak yang dirugikan baik itu pelaku UMKM, konsumen, maupun pelaku bisnis thrift shop.

Pemanfaatan pakaian lama untuk dipakai kembali dalam kehidupan sehari-hari sudah selayaknya menjadi perhatian semua orang. Terlebih lagi, tren pakaian dalam peradaban ini sejatinya terus berulang. Artinya, trend fashion pada saat ini barangkali pernah eksis di masa lalu. Maka dengan memakai pakaian lama dapat menjadi alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan sampah pakaian bekas.

Dampak yang ditimbulkan akibat industri mode pakaian yang sangat cepat cukup memprihatinkan lingkungan sekitar. Apabila kita terus mengutamakan gengsi demi tampil trendy tanpa memperhatikan lingkungan sekitar, barangkali 10 tahun ke depan isu-isu permasalahan lingkungan akan terus berkembang dan merusak ekosistem. Oleh sebab itu, sudah selayaknya kita sama-sama berpikir untuk menjaga kelestarian bumi kita tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun