“Tidak, aku tidak memaafkanmu. Ia baru berusia lima tahun dan kau sudah mengambil harta berharganya. Dia sudah tidak perawan di usia lima tahun! Kau bodoh dan gila! Pantaslah namamu Bundu, pandir!”
Aku tahu saat seperti ini akan terjadi. Saat aku sudah tidak dapat menahan naluri alamiahku pada gadis kecil itu, dan semuanya akan berakhir. Rasanya selama ini aku menanti takdir buruk, dan takdir itu terjadi hari ini. Aku sudah menodai Kianku tersayang. Aku melukainya dan aku pantas untuk mati.
“Reina, aku tahu ini saatnya untukku menghabisi diriku sendiri. Tapi kamu harus mengerti, aku mencintai anakmu seperti halnya kamu mencintaiku. Suatu hal yang alamiah, dan aku tidak bisa menolaknya. Aku sudah mencoba, obat, psikiater, gereja, Tuhan, tidak ada yang bisa menolongku. Inilah takdirku, mati saat ini.” aku menjelaskan dengan nada pasrah.
“Dia bukan bagian dari takdirmu. Kau harus pergi, bukan berarti mati. Aku sudah mengerti keadaanmu. Sekarang kau harus mengerti keadaanku dan anakku. Dia bukan objek seksualmu. Kian adalah manusia merdeka yang telah memilih agar kau tidak ada lagi di hidupnya.” Reina menjelaskan dengan terbata-bata diselingi tangis, lalu ia pergi. Aku tahu itu adalah kata-kata terakhir yang akan aku dengar darinya.
***
Sekarang aku berada pada dua sentimeter sebelum kematian. Aku tahu ada cara lain untuk menyelamatkan Kian. Tapi dengan cara inilah tidak akan ada Kian berikutnya.
Aku harus bunuh diri.