Reina mengambil gadget yang tengah dimainkan Kian dan mengembalikannya padaku. Lalu ia menarik tangan Kian yang ingin menyalamiku. Ia merebut Kian dariku. Kian tidak menolak, ia selalu patuh pada ibunya. Kian melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Rambut hitam Kian yang panjang tertiup angin hingga aromanya tercium olehku. Aah.. stroberi, baunya nikmat. Andai aku bisa mencium bau ini setiap waktu.
Malam ini aku memimpikan Kian. Ia mengenakan gaun warna biru kesukaannya. Kami berdua tengah berada di taman. Kian berbicara denganku layaknya orang dewasa dalam tubuh gadis berusia lima tahun. Lalu ia menangis dan memelukku begitu erat. Matanya menatapku seakan menginginkan sesuatu.
***
“Gila! Bundu, kau sudah gila!” teriak Reina. “Apa yang kau inginkan dari anakku? Ia baru lima tahun! Kau benar-benar sudah gila!”
Aku terdiam melihat Reina yang tengah mondar-mandir di depanku. Ia seakan mencari sesuatu untuk memecahkan kepalaku.
“Kau harus pergi sejauh mungkin,” ucap Reina.
“Jauh yang kau maksud adalah mati, bukan?”
“Ya, mati.”
“Tapi aku juga tidak mengerti. Kau tidak bisa mengobatiku. Aku sudah hampir mati bahkan setiap kali aku menatap Kian..”
“Hentikan! Jangan sebut namanya! Kau harus pergi.”
“Aku tahu, aku minta maaf,”