Kampus kemarau. Deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan siang yang terik ini. Saya rasa kata-kata sedia payung sebelum hujan sudah tidak relevan kini. Di siang yang terik ini, saya membawa payung merah saya menyeberang menuju halte Fakultas Teknik. Benar saja, Reina sudah duduk manis di sana. ia tertawa cekikikan ketika melihat saya datang.
“Makasih lho, mbak! Hahaha” Sambutnya dengan nada yang menyindir.
Berjumpa lagi dengan halte bis kuning Fakultas Teknik UI, tentu dengan suasana yang berbeda. Siang ini justru tidak seramai pagi tadi. Tampaknya mahasiswa juga merasakan hal yang sama dengan saya—malas keluar tempat kos karena terik. Namun, ada beberapa hal yang tidak berubah sejak pagi; masih ada tukang ojek yang minum kopi di pangkalan, satu atau dua mahasiswa yang terburu-buru dengan membawa ransel dan kertas-kertas, dan Deo, rekan saya yang tadi pagi saya sapa.
“Hai, De! Ketemu lagi. Mau kemana, nih? Buru-buru banget.” Sapa saya terlebih dahulu.
“Hahaha, iya mbak. Ada pertandingan futsal. Aku buru-buru. Duluan, ya!” Balasnya singkat sembari berjalan dengan cepat menuju arah Fakultas Teknik.
Kemudian saya dan Reina saling bertatapan. Saya mengerti kami sedang memikirkan hal yang sama; bermain futsal di siang yang terik seperti ini. Saya tidak habis pikir, rekan saya selalu memiliki caranya sendiri dalam menikmati hari Sabtu. Saya dan Reina kemudian saling berunding untuk menentukan istilah yang tepat bagi mahasiswa-mahasiswa seperti Deo. Obrolan kami sempat terhenti saat bis kuning datang. Kami melanjutkan perjalanan menuju Margonda dengan tetap membahas istilah yang tepat untuk rekan saya. Inilah kami, menjadikan obrolan tidak penting sebagai hiburan aatau setidaknya untuk membunuh teriknya matahari siang ini.
***
Untuk ketiga kalinya saya kembali menginjakkan kaki di halte bis kuning Fakultas Teknik UI. Kali ini pada malam hari. Saya dan Reina, teman saya, memesan taksi yang menurunkan kami di halte ini. Lelah setelah melakukan thawaf di Margonda, kami duduk di halte. Tidak tanggung-tanggung, waktu sudah menunjukan tepat pukul 12 malam. Kami tidak yakin apakah tempat kos kami belum dikunci oleh penjaga. Namun kami terlalu lelah untuk khawatir.
Kami duduk di halte bis kuning untuk sekadar meluruskan kaki kami yang lelah. Suasana mala mini jauh berbeda dengan pagi dan siang ini di halte. Sepi, tidak ada mahasiswa berkeliaran, tukang ojek yang kian menipis tetapi masih setia dengan seduhan kopi mereka.
Malam ini angin malu-malu untuk berhembus, tetapi langit begitu ramai dengan bintang yang mengelilingi bulan yang akan hampir menjadi purnama. Tidak banyak manusia di sekitar halte pada tengah malam ini. Tidak ada Deo yang terburu-buru karena janji. Ia sudah tidur. Malam ini adalah kesempatan bagi alam untuk menjadi tokoh utama yang saya nikmati perannya.
“Semua orang sudah tidur, ya. Mahasiswa juga manusia, butuh tidur.” Celetuk Reina dari samping saya.