Mohon tunggu...
Afin Yulia
Afin Yulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer, blogger

Gemar membaca, menggambar, dan menulis di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Semilir, Memadukan Teknik Ecoprint dan Warisan Budaya untuk Menciptakan Produk Fashion yang Ramah Lingkungan

17 September 2023   05:22 Diperbarui: 17 September 2023   05:25 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak seperti sekarang, di masa lampau berbelanja pakaian hanya dilakukan sesekali. Namun, kebiasaan tersebut berubah sejak munculnya fast fashion di akhir tahun 90-an dan awal tahun 2000-an.  Munculnya model bisnis ini mendorong produsen untuk membuat pakaian yang murah, modis, sekaligus trendi demi memenuhi permintaan pasar. 

Konsep ini tak urung berpengaruh pada proses produksi yang serba cepat dan instan, yang membutuhkan ketersediaan bahan baku secara berkesinambungan. Demi memenuhinya, bahan baku alami yang membutuhkan proses panjang seperti katun pada akhirnya tersingkir. Digantikan oleh serat sintetis seperti poliester yang lebih cepat dan mudah untuk dibuat. 

Masalahnya poliester terbuat dari minyak yang kemudian diekstraksi menjadi plastik. Sewaktu dicuci bahan baku yang berasal dari plastik akan melepaskan mikroplastik yang tidak dapat terurai secara hayati. Hal ini terjadi sebab ini mikroorganisme tidak memiliki enzim untuk melakukannya. Karena berukuran kecil, mikroplastik yang mencemari perairan dengan mudah dikonsumsi oleh biota laut, seperti ikan. Akan berbahaya bagi manusia bila mengkonsumsinya, karena berdampak buruk pada kesehatan. 

Bahan pewarna yang digunakan dalam industri fashion juga menjadi problem tersendiri. Mengutip Business Insider pada 17 September 2023, proses pewarnaan tekstil menjadi penyebab pencemaran air terbesar kedua di dunia. Hal ini terjadi karena air limbah dari proses tersebut langsung dibuang ke selokan atau sungai. Bukan hanya mencemari, proses mewarnai tekstil juga membutuhkan banyak air. Jika dihitung cukup untuk mengisi 2 juta kolam renang ukuran Olimpiade setiap tahunnya.

Menyadari dampaknya bagi lingkungan pada akhirnya menumbuhkan kesadaran akan fashion yang berkelanjutan (sustainable fashion). Melansir laman Kementerian Perindustrian pada 17 September 2023, sustainable fashion merupakan gerakan global yang menuntut pelaku industri tekstil dan pakaian untuk lebih ramah lingkungan di tengah menguatnya kesadaran terhadap kebutuhan produk yang berkelanjutan. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagai Alfira Oktaviani, selaku founder Semilir. 

Semilir merupakan brand fashion asal Bantul, yang didirikan tahun 2018. Semilir yang berasal dari silir, sebuah kata dalam bahasa Jawa yang artinya menyejukkan ini menggunakan teknik ecoprint dalam proses pembuatan produknya. Tak ada penggunaan bahan kimia dalam proses pewarnaan kain, tetapi menggunakan dedaunan untuk mentransfer warna serta motif dari tumbuhan pada kain secara langsung. Contohnya daun bungli, lerak, lanang, dan jenitri. Hal inilah yang membuat produk fashion Semilir unik dan istimewa. Bahkan terasa eksklusif karena warna dan motif satu dengan lainnya tidak sama. 

 Namun, perempuan lulusan apoteker di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta tersebut tak berhenti berinovasi. Setelah berhasil dengan teknik ecoprint pada kain, ia merambah ke bahan lain yaitu kain Lantung. Ide ini muncul untuk menjawab tantangan sang ayah yang berasal dari Bengkulu untuk membuat ecoprint dari kain lantung.

Dikutip dari Instagram @semilir_ecoprint pada 17 September 2023, proses ecoprint pada kain Lantung sendiri ternyata tidak mudah. Kulit pohon terap (Artocarpus elasticus) harus dipipihkan terlebih dahulu menggunakan alat "perikai" yang beralas balok kayu. Proses pemipihan ini terus dikerjakan hingga lebar kulit kayu mencapai satu meter. Setelah itu baru dilakukan proses ecoprint yang dalam perjalanannya ternyata membutuhkan waktu percobaan yang cukup lama. Sampai akhirnya proses ecoprint berhasil dilakukan pada kain yang berasal dari serat pohon sukun-sukunan tersebut.

Setelah berhasil melakukan proses ecoprint, Alfira kemudian mencari tahu tentang pengrajin kulit kayu lantung di Bengkulu. Contohnya Nenek Nuraini dan Pak Bambang dari desa Papahan, Kaur Bengkulu. Selain mencari penyuplai bahan baku, ia juga bertujuan untuk mencari tahu sejarah serta proses produksi kain khas Bengkulu yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia tersebut. Hal ini dilakukan oleh Alfira karena Semilir tidak hanya berkutat pada pembuatan produk fashion kekinian yang ramah lingkungan. Akan tetapi juga mengenalkan kebudayaan Indonesia melalui beragam produk buatannya. Seperti baju, pouch, dan tas yang menawan.

Semilir yang menyasar target pasar wanita perkotaan usia di atas 25 tahun dengan kelas ekonomi A yang memiliki green natural life style dan mencintai produk handmade serta lokal ini memang patut diacungi jempol. Tidak hanya berkontribusi dalam menjaga lingkungan, tetapi juga mampu memberdayakan warga sekitar, terutama ibu-ibu untuk membuat kain ecoprint sebagai bahan baku produk fashionnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun