Berbuka puasa memang kurang afdol jika tanpa takjil bagi kebanyakan orang Indonesia. Ada bermacam-macam takjil yang biasa disajikan waktu buka, salah satunya kolak. Bahan dasar makanan khas Indonesia ini beragam. Ada yang menggunakan ubi jalar, singkong, pisang, hingga kolang-kaling. Rasanya yang gurih manis berkat campuran gula serta santan bikin kolak digemari banyak orang. Termasuk saya dan keluarga.
Namun, sudah bertahun-tahun kami  mengerem keinginan untuk menikmati takjil ini sebelum berbuka. Tepatnya setelah dokter menyatakan ibu (kini almarhum) terkena diabetes. Sejak itu kami  sekeluarga memutuskan untuk mengurangi makanan manis dan memilih konsumsi air putih saja.
Namun, kala-kala kami membuatnya. Seperti hari itu, saat kami memasak kolang-kaling dengan tape singkong. Nah, disinilah kisah tentang kolang-kaling yang jadi pengeling-eling agar bersabar dan menahan diri di bulan ramadhan dimulai.
Sore itu kolak kolang-kaling bercampur tapai sudah siap dinikmati saat saya melongok ke dapur. Begitu panci dibuka baunya yang sedap segera merasuki hidung. Terbayang rasanya jika memasuki mulut nanti. Pasti lezat! Pikir saya.
Di luar dugaan kolak kolang-kaling bikinan Bapak itu keras. Saat digigit tak ubahnya batu. Gigi serasa mau rontok saat beradu dengannya! Tak heran sewaktu berbuka Bapak kemudian berkata ,"Kolang-kalingnya keras banget!"
Mula-mula saya tak percaya. Namun menilik mimik Bapak tak urus saya penasaran. Diliputi perasaan itu saya pun mencobanya. Jreeng! Begitu digigit, astaga! Keras nian, seolah beradu dengan batu saja.Â
"Weh, ini kolang-kaling apa fosil yang sudah membatu sih? Gini amat!" batin saya.
Mengetahui kalau saya pun merasakan hal serupa dengannya, Bapak tertawa-tawa. Tawanya yang seru segera menulari saya. Jadilah malam itu kami terbahak-bahak membahas kolang-kaling cap batu itu. Â Entah apa yang salah, yang jelas kolang-kaling itu jadi sedikit lembek setelah dua hari dipanasi.Â
Tak urung peristiwa kocak itu mengingatkan saya pada kultum-kultum ramadhan agar bersabar dan menahan diri di bulan ramadhan. Harapan kecil kami untuk menikmati takjil yang lezat memang musnah, setelah kolang-kaling yang kami masak memilih caranya sendiri untuk menjadi kuat dan tak tertandingi. Sehingga tak mempan saat gigi kami berusaha beradu dengannya.Â
Namun, bukan berarti kami boleh menjadikannya alasan untuk meninggikan emosi menghadapi "musibah kecil" ini. Lantas mengomel karena kami sudah mengeluarkan uang untuk membeli bahan-bahan pembuat kolak, yang jika diteruskan akan berujung pada menyalahkan orang lain. Dalam hal ini Pak Sayur selaku penjualnya  karena tak pandai memilih kolang-kaling.Â
Bukankah puasa tak sekadar  menahan haus dan lapar, tetapi juga menahan diri dari segala nafsu? Termasuk amarah? Sebagaimana sabda Rasulullah:
"Puasa itu separuh sabar." (HR. Ibnu Majah).
Lagipula untuk apa memperpanjang masalah? Toh dengan meluapkannya bukan kebaikan yang didapat. Sebaliknya, emosi yang tak terkendali hanya akan melelahkan, menyakitkan, dan meresahkan diri sendiri. Seperti yang ditulis Aidh al-Qarni dalam buku terlarisnya, La Tahzan yang diterbitkan oleh  Qisthi Press pada bulan Maret 2005 itu.
Jika dipikir lebih jauh, seharusnya saya dan Bapak berterima kasih pada kejadian itu. Karena telah mengingatkan kami agar lebih pandai bersabar dan menahan diri. Bukankah Allah mencintai orang-orang yang sabar? Seperti termaktub dalam surat Ali Imran  ayat 146:
"Allah mencintai orang-orang yang sabar."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI