Mohon tunggu...
Afin Yulia
Afin Yulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer, blogger

Gemar membaca, menggambar, dan menulis di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perayaan Hari Kebangkitan

9 Maret 2020   10:49 Diperbarui: 9 Maret 2020   10:48 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Akan tetapi, Bulik berbeda. Perempuan yang wajahnya dipenuhi gurat-gurat perjuangan itu justru memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan. Hari yang harus dirayakan dengan membagikan nasi kuning pada tetangga. Lalu menikmati secangkir teh tawar hangat dan tahu berontak buatan sendiri di penghujung hari. Tak lupa memutar lagu "Seberkas Cinta Yang Sirna" milik Ebiet G. Ade.

Sesaat setelah lagu berkumandang, Bulik akan memulai ritual 9 Maret seperti tahun-tahun sebelumnya. Diawali dengan menarik cangkir enamel dari meja, lalu menyesap isinya---teh hangat tanpa gula.

Setelah beberapa tegukan, ganti tahu berontak yang menyusul masuk ke mulutnya. Makanan yang rupanya dibuat sebagai simbol perlawanan di jaman penjajahan itu digigit sedikit demi sedikit, jauh dari ketergesaan. Seraya menghayati lirik-lirik lagu karya Ebiet yang mengantarnya ke masa silam, sewaktu Bulik bertemu Bakuh, cinta pertamanya.

Sedari awal Bulik merasa mereka ditakdirkan untuk bersama. Bakuh begitu baik, lucu, pintar, dan berwawasan. Membuat Bulik merasa menemukan kawan ngobrol yang sepadan. Selain itu ia juga pandai mendekatkan diri dengan keluarga dan teman. Tak heran dalam sekejap orang-orang terdekat Bulik akrab dengannya. Bahkan merasa mengenal Bakuh sedari lama.

Meskipun demikian, dibalik semua kebaikan-kebaikan itu, Bakuh juga punya sifat yang mengesalkan. Amarah yang meledak-ledak acap merepotkan Bulik. Akan tetapi, itu bukan soal. Bulik yakin kelak Bakuh bisa berubah.

Tentu saja Bulik tak pernah menceritakannya, terutama di hadapan keluarga. Tidak heran apabila di mata mereka Bakuh mendapatkan nilai A. Bahkan saking baiknya, seluruh keluarga Bulik yakin hanya Bakuh yang bisa membuatnya bahagia. Bagaimana tidak? Bakuh begitu gemati. Tidak hanya pada Bulik, tetapi juga seluruh keluarga.

Dari sisi pekerjaan, tak perlu diragukan. Ia memiliki peternakan ayam di tiga tempat yang siap jadi sumber penghidupan. Keluarga? O, tak perlu risau! Bakuh dari keluarga terpandang. Apalagi yang kurang?

Maka tak ada alasan bagi mereka untuk menolak pinangan Bakuh suatu ketika. Dari senyum, binar mata, dan anggukan, siapapun tahu orang tua Bulik tak keberatan.

Bulik ingat betul, setelahnya ucapan selamat berdatangan dari saudara-saudaranya maupun handai taulan. Pasalnya karena berhasil mendapatkan pria seperti Bakuh, yang mereka bilang ,"Bagus rupa lan sipate, pinter megawe, keluargane kajen keringan."

Beberapa kawan perempuannya sempat berbisik ke mana mencari pria seperti dia. Kalau ia punya saudara mau juga mereka dikenalkan. Biar sama-sama dapat gandengan yang jempolan. Bulik tersenyum saja menanggapi ucapan mereka, sembari menahan diri untuk tak mempertontonkan kebanggaan.

Foto oleh Evelyn Chong dari Pexels
Foto oleh Evelyn Chong dari Pexels
Akan tetapi, kebanggaan itu tidak lama. Setelah menikah dan diboyong ke rumah Bakuh, Bulik mendapati dirinya tak mengenal pria itu sama sekali. Sifatnya yang gemati, seolah-olah hilang ditelan bumi.

Bakuh tak menerima keterlambatan, ia akan melayangkan benda apa saja yang bisa dijangkaunya bila Bulik tak segera datang dan melakukan apa yang diperintahkan. Jika tak berkenan dengan makanan yang terhidang, Bulik segera menerima hadiah berupa bogeman.

Apabila Bulik pergi dan telat pulang, Bakuh pasti menuduhnya yang bukan-bukan. Mulai memiliki 3gendhakan di luar sampai jadi kembang pinggir jalan---yang gemar melambaikan tangan pada pria mana saja. Jika Bulik berani menjawab, Bakuh tak segan memojokkan dengan kalimat kasar dan kepalan.

Aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa menyaksikan penganiayaan itu. Hanya terdiam, menahan tangis melihat Bulik menelan jeritnya. Terkadang aku berharap, aku bisa menjelma menjadi raksasa, sehingga bisa memukul balik pria besar yang tega melakukan kekerasan pada istrinya itu.

Keadaan semakin parah waktu krisis moneter datang. Peternakan ayam Bakuh tak bertahan. Harga pakan yang mahal menjadi batu sandungan. Bakuh kehilangan mata pencaharian, sekaligus kebanggaannya selaku pengusaha muda yang sukses. Gabungan keduanya acap membuat Bakuh kehilangan kendali. Jika sudah demikian, Bulik yang ketiban sampur atas segala luapan kemarahan.

Foto oleh Sydney Sims dari Unsplash.
Foto oleh Sydney Sims dari Unsplash.
Seperti biasa Bulik menyimpan sendiri luka-luka yang membungkus tubuh dan hatinya. Tak hendak bercerita kepada siapapun, kecuali siap dihakimi. Seperti yang dilakukan sang ibu mertua sewaktu mendengar jawaban Bulik perkara lebam-lebam di wajah dan tangan.

"Tak mungkin Bakuh begitu. Aku mengenal Bakuh lebih lama dirimu. Kaulah yang berulah, hingga memancing dia melakukan hal sekasar itu," sanggahnya seraya menggelengkan kepala.

Ipar-iparnya tak jauh berbeda. Mereka menjeling mendengar penuturan Bulik soal kelakuan Bakuh selama ini. "Jangan mengada-ada. Suamimu itu sedang pusing kepala memikirkan usahanya. Bagaimana bisa kau memfitnahnya begitu rupa? Jika tak bisa membantu, jangan merepotkan dia dengan menceritakan hal-hal buruk semacam ini. Tak elok!" ujar salah satu dari mereka, mewakili yang lain.

Kawan-kawannya pun sama saja. Mereka tak percaya jika Bakuh tega berlaku kasar. Selama ini pria itu selalu menampilkan wajah yang menyenangkan. Ramah, baik, dan sopan pada siapa saja. Jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga, bisa jadi biangnya adalah Bulik. Bukan dia.

Bulik hanya menghela napas untuk menanggapi ucapan mereka. Tak ada nada keluh atau semacamnya keluar dari mulut mungilnya. Akan tetapi, dari sorot matanya aku bisa membaca kalau ia terluka.

Satu-satunya yang menjadi penghiburan bagi Bulik adalah mendengar lagu lawas milik Ebiet G. Ade, "Seberkas Cinta Yang Sirna", sembari menulis di buku harian. Tentu saja ia tak melakukannya sembarangan. Hanya saat Bakuh pergi, Bulik memiliki keleluasaan.

***

Suatu malam, setelah bertengkar dan Bakuh keluar, Bulik merangkak ke sudut penghiburannya. Sembari mengusap ujung mulut yang berdarah, Bulik memutar lagu "Seberkas Cinta Yang Sirna". Kali ini tak ada tulisan. Hanya air mata mengaliri lembah wajah sewaktu Ebiet mengumandangkan bait-bait lagunya yang mengharubirukan.

Masih sanggup untuk kutahankan

Meski telah kau lumatkan hati ini

Kau sayat luka baru di atas duka lama

Coba bayangkan betapa sakitnya

 

Hanya Tuhanlah yang tahu pasti

Apa gerangan yang bakal terjadi lagi

Begitu buruk telah kau perlakukan aku

Ibu, menangislah demi anakmu

 

Sementara aku tengah bangganya

Mampu tetap setia meski banyak cobaan

Begitu tulusnya kubuka tanganku

Langit mendung, gelap malam untukku

Perih datang bergelombang-gelombang menyaksikan Bulik tersungkur mendengar deretan syair lagu itu. Ingin sekali aku turun dan memeluknya, sembari mengatakan kalimat penghiburan yang menenangkan. Namun, bagaimana caranya? Hal itu tak mungkin kulakukan. Keterbatasanku menjadi penghalang.

Tetapi, aku tak kehilangan akal. Masih ada cara lain untuk menyatakan dukungan. Dari balik jeruji, kuperdengarkan suara khasku yang lantang dan nyaring. Berharap Bulik menoleh dan merekahkan senyuman.


Namun Bulik terlampau larut dengan lagu itu. Ia tergugu sewaktu refrain lagu "Seberkas Cinta Yang Sirna" memenuhi ruangan.

Ternyata mengagungkan cinta

harus ditebus dengan duka lara

Tetapi akan tetap kuhayati

Hikmah sakit hati ini

Telah sempurnakan kekejamanmu

Pagi berikutnya, ketika terbangun, Bulik sudah siap dengan keputusan baru. Ia hendak mendayung biduknya tanpa pria itu.

Untuk itu ia menyiapkan segalanya. Sedikit demi sedikit bajunya dibawa keluar. Dititipkan pada Bulik Sayem yang berumah di ujung jalan. Lalu belajar bela diri pada seorang kenalan,  kalau-kalau Bakuh melakukan kekerasan sewaktu ia mengujarkan diri menjadi kelasi yang mengarungi samudranya sendirian. Tak perlu ada nakhoda, jika keberadaannya justru membuat kapal oleng saja.

Tak lupa Bulik memberitahu bahwa ia hendak bercerai dari Bakuh pada keluarga besarnya. Semula tak ada yang setuju, mereka bilang Bulik gila karena meminta pisah dari pria sebaik dia. Sampai Bulik membuka baju dan menunjukkan lebam-lebam biru yang masih kentara dibaliknya.

Sunyi. Tak ada satu pun yang bersuara. Hanya tangan-tangan yang menumpang di pundak Bulik dan anggukan dalam jadi tanda persetujuan.

***

Tanggal 9 Maret 1999---ketika sore dilamuri mendung---Bulik menemui Bakuh yang tengah melamun di beranda depan sembari membawa teh tawar hangat dalam cangkir enamel dan tahu berontak. Bukan tanpa alasan Bulik membawakan keduanya.

Bagi Bakuh teh itu harus manis dan disajikan dengan cangkir porselen. Jika tidak matanya akan menyipit, sementara sudut mulut dan matanya naik. Lalu ia akan menggertakkan gigi sambil berkata "Kau pikir aku ini orang miskin?", dengan suara rendah penuh tekanan. Disusul gemelontang cangkir yang dilempar,  seperti yang dialami Bulik di awal-awal pernikahan.

Begitu pula jika Bulik menyuguhkan tahu berontak, hidangan sederhana yang tercipta sebagai bentuk dukungan kaum ibu pada suami mereka yang pergi ke medan perang di jaman penjajahan. Rupanya semasa kecil Bakuh pernah dihukum menghabiskan tahu berontak berisi cabai karena berani mencomot penganan itu dari meja sang ayah. Sejak itu Bakuh benci dengan tahu berontak. Tak perlu disulut, matanya akan  nyalang jika sampai makanan itu terhidang di depannya.

Maka jika Bulik berani menyuguhkan berarti menyulut perang. Bulik akan dianggap pembangkang. Akan tetapi, Bulik tak ambil pusing. Memang itu tujuannya, menunjukkan pemberontakan.

Seperti yang diperkirakan, Bakuh naik pitam. Ia lemparkan nampan berisi teh tawar dan tahu berontak ke arah Bulik. Akan, tetapi Bulik sudah bersiap. Dengan sigap ia menghindar seraya menarik kursi besi yang didudukinya sebagai senjata.  

Tidak seperti biasa, perempuan mungil itu menjelma Xena, sang perempuan perkasa. Mengejutkan Bakuh dengan ayunan kursi yang tepat mengenai muka, tatkala ia bersiap menyarangkan tinjunya.

"Jangan pernah kau lakukan ini lagi padaku. Jika kau berani, kau tidak hanya menghadapiku. Tapi, juga mereka!"

Bulik menunjuk ke luar, di mana saudara dan kedua orang tuanya menunggu di balik pagar.

***

Enam bulan kemudian Bulik mendapatkan kebebasannya. Ia memilih pulang dan membantu mengurusi toko orang tuanya dari pagi sampai petang. Lalu memberi les cuma-cuma bagi anak-anak kala malam. Tak ada waktu untuk meratapi kesedihan, pun suara sumbang atas keputusannya meninggalkan Bakuh yang dianggap tak elok di mata orang. Tak penting apa kata mereka, yang penting hidupnya aman dan tenang. Tak lagi tertekan oleh hardikan atau pukulan.

Akan tetapi, kehidupannya yang teratur, aman, dan tenang itu terusik beberapa bulan kemudian. Ketika jerit dan rintih kesakitan Yu Niti---tetangga barunya---mengingatkan Bulik pada hari-harinya yang kelam. Setiap kali Yu Niti memohon ampun atas kekasaran Kang Sardu, perasaan Bulik tak karuan. Ia ingin sekali hadir dan menolongnya, tetapi apa daya. Seperti kata ibunya, itu urusan rumah tangga orang. Mereka tak berhak mencampuri, kecuali diminta.

Foto oleh Juan Pablo Serrano Arenas dari Pexels.
Foto oleh Juan Pablo Serrano Arenas dari Pexels.
9 Maret 2001, Bulik tengah memperingati keberaniannya mengakhiri hubungan dengan Bakuh ditemani Ebiet, tahu berontak dan teh tawar hangat, sewaktu melihat Kang Sardu mendorong Yu Niti ke tengah halaman. Berpuluh-puluh makian terdengar sebelum tendangan dan kepalan tangan melayang ke tubuh ringkih itu.

Aku ingat betul bagaimana tangan Bulik terkepal setiap kali mendengar Yu Niti mengaduh kesakitan. Ia berusaha keras mengatakan pada dirinya agar tidak mencampuri urusan orang, tetapi gagal.

Pengalaman lampau sebagai korban KDRT membuat Bulik tak mampu lagi berdiam. Maka tanpa pikir panjang, Bulik mendatangi Kang Sardu. Bersenjatakan alu, ia menghentikan kesemena-menaan pria itu.

Sejak itu hidup Bulik tak lagi sama. Setiap kali ada perempuan teraniaya, ia akan hadir di sana. Ia tak sendirian. Di belakangnya berdiri perempuan lain yang merasa senasib sepenanggungan, bersama-sama mengacungkan alu sebagai bentuk perlawanan terhadap kaum pria yang gemar melakukan kekerasan terhadap perempuan.

Kini "Seberkas Cinta Yang Sirna" sudah berhenti berkumandang. Teh tawar hangat dan sepiring tahu berontak telah pula tandas. Bulik bersiap masuk ke dalam, sewaktu ada yang 4uluk salam. Bulik menoleh ke belakang. Ada banyak perempuan tersenyum seraya memegang alu di tangan kiri dan wadah makanan di tangan kanan. Masing-masing dari mereka membawa pasukan, anak-anak dari umur tiga tahun sampai dua puluhan. Tak hendak menyerang, tetapi ikut merayakan Hari Kebangkitan bagi penyintas KDRT yang selama ini diperingati Bulik diam-diam.

Catatan :

  • Gemati : sayang
  • Bagus rupa lan sipate, pinter megawe, keluargane kajen keringan

             - Bagus rupa lan sipate : bagus rupa dan sifatnya

             - Pinter megawe : pandai bekerja

             - Kajen keringan : sangat terhormat

  • Gendhakan : pacar
  • Uluk salam : mengucap salam

***

Dengan hadirnya cerpen ini, tuntas sudah tugas saya selaku penerima tongkat estafet terakhir dalam lomba "[Blog Competition Estafet] Bikin Konten Sambil Mengasah Kerja Sama, Siapa Takut!", bareng Mbak Rahmah Usman  dan Mbak Dwi Aprilytanti.

Tak muluk harapan kami bertiga, semoga "Sekelumit Kisah Tentang Mantan Yang Harus Dilupakan, "Bangga Jadi Anak Singkong Dong", "Butuh Pemanis Bebas Bea Cukai, Gula Semut Saja, Say", serta "Perayaan Hari Kebangkitan" yang berkisah tentang penyintas KDRT---bisa membawa manfaat dan kebaikan.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun