Panggung Literasi SDN 2 Kandangan, Panggung Kecil Yang Menghangatkan Perasaan
Pagi berlalu dengan cepat. Selesai upacara hari pahlawan, ISL Jilid 5 dimulai. Saya bersama rekan-rekan di kelompok tiga bergegas menuju gabungan kelas 5-6, sementara lainnya menuju gabungan kelas 1-2 serta 3-4. Dimulai dari perkenalan dan salam, acara dilanjutkan dengan perkenalan dari semua relawan, dari fasilitator hingga inspirator.Â
Usai perkenalan dilanjutkan dengan ice breaking dan tepuk semangat, baru kemudian para inspirator melaksanakan tugasnya satu-satu. Dimulai dari saya mengenalkan dunia kepenulisan, apa itu penulis hingga perannya di masyarakat. Lantas dilanjutkan Rizka Widyana, penari muda yang berprestasi di mana-mana, mengisahkan dan memberi inspirasi lewat cerita suksesnya.
Siang selepas acara ISL Jilid 5, relawan terbagi dua. Sebagian bertugas menginisiasi sudut baca di SDN 2 Kandangan dengan buku-buku yang diserahkan saat upacara Hari Pahlawan lainnya, Â menyiapkan pentas untuk malam pertunjukan. Semua disiapkan apa adanya sesuai pepatah lama "Tak ada rotan, akar pun jadi", tak ada materi yang sempurna untuk menyiapkan kedua proyek ini apa pun dipakai.Â
Tempat untuk menaruh buku di sudut baca hanyalah triplek tipis bekas yang dipotong dan ditumpuk agar kuat menahan beban buku. Siku yang menyangga triplek adalah pigura yang tak terpakai lagi. Untuk pentas, panggung dibuat dari deretan bangku yang ditata berjajar membentuk persegi panjang, dengan background papan tulis yang dihiasi tulisan Panggung Literasi menggunakan kapur.
Antusiasme itu pula yang menular. Kami  yang semula hanya menyiapkan musikalisasi puisi dan pantomim, mendadak terdorong menyumbangkan tari, lagu, dan bahkan pembacaan puisi meski dadakan. Drama singkat bertema "Stop pernikahan usia dini" yang turut tampil malam itu pun dikonsep dalam waktu singkat.  Hanya butuh sekali briefing untuk menentukan tokoh dan jalan cerita, sekali latihan sekaligus menentukan blocking-nya, itu saja.
Malam tiba, sekolah mulai dipadati masyarakat sekitar. Sepertinya mereka adalah orang tua yang datang karena ingin menonton pertunjukan putra-putrinya. Ketika Sandi, yang didapuk jadi pembawa acara muncul dan memanggil gadis-gadis cilik menarik di atas panggung, orang-orang sudah tak sabar. Kamera-kamera diacungkan, memotret dan merekam tampilan anak mereka tersayang. Sebagian bahkan maju ke depan.
Suasana kian hangat ketika sederetan anak memadukan suaranya menyanyikan lagu "Umbul-Umbul Belambangan". Merinding rasanya ketika lirik lagu ini berkumandang :
Belambangan he seneng susahe wis tah aja takon
(Belambangan hei senang susahnya jangan ditanya lagi)
Wis pirang-pirang jaman turun-temurun yo wis kelakon
(Sudah beberapa jaman turun temurun terlewati)
Akeh prahoro taping langit ira magih biru yara
(Banyak prahara tapi langitmu masih biru)
Mageh gedi magih lampek ombak umbul segaranira
(Masih besar masih melimpah ombak lautmu)
Belambangan he gunung-gunung ira mageh perkasa
(Belambangan hei gunung-gunungmu masih perkasa)
Sawah lan kebonan ira wero magih subur nguripi
(Sawah dan ladangmu luas masih subur (dan) menghidupi)
Ojo kangelan banyu mili magih gedi sumber ira
(Takkan kesulitan (mencari) air mengalir (karena) masih besar sumbermu)
Rakyate magih guyub ngukir lan mbangun sing mari-mari
(Rakyatnya masih guyub mengukir dan membangun tidak ada habisnya)
Â
He, Belambangan lir asata banyu segara
(Hei, Belambangan bak surutnya air laut)
Sing bisa asat asih setya baktinisun
(Tak mungkin surut kasih setya (dan) baktiku)
Hang sapa-sapa baen arep nyacak ngerusak
(Barang siapa yang mencoba merusak)
Sun belani, sun depani, sun labuhi
(Akan kubela, kuhadang, (dan) kulabuhi)
Â
Â
Kami bukan tak pernah mendengar lagu ini. Berulang-ulang "Umbul-Umbul Belambangan" di putar diberbagai acara. Akan tetapi, kami merasa biasa. Tetapi, malam itu ketika anak-anak Kandangan yang notabene terpencil dan jauh dari mana-mana yang mengumandangkannya, suasana jadi berbeda. Tanpa sadar kamu larut dalam haru dan semangat yang dibangun oleh lagu ini. Merasa bangga bisa lahir dan besar di Banyuwangi, tanah indah yang terhampar di taman sari nusantara.
Ketika kami dengar suara-suara celetukan dari belakang yang berbunyi "Pak, anakmu tampil. Sini!" dengan nada bangga, kami pun demikian. Sedemikian bangga sampai kami hanya bisa bertepuk tangan dan menitikkan air mata haru menyaksikan calon-calon pemimpin masa depan ini di atas panggung seni.Â
Pentas malam itu mungkin tak sepadan jika dibandingkan dengan konser penyanyi kenamaan dunia, tapi bagi kami persembahan dari pelosok Kandangan tersebut sangat berharga. Tak ubahnya berlian di kotak harta.
Hari Perpisahan, Hari Kami Melihat Hujan Di Mata Anak-Anak
Dari balik tampilan yang sangar, air mata berjatuhan. Tak mau terlihat orang ia memilih menjauh di sudut pagar, dekat kamar mandi sekolah. Matanya terlihat memerah meski ia mencoba menyembunyikannya.
Beberapa saat kemudian, saat tangis reda, motor kami nyalakan. Meninggalkan pelataran SDN 2 Kandangan melewati jalanan yang dinaungi kebun coklat dan karet di kiri-kanan. Kami pulang membawa berbongkah-bongkah pengalaman tak terlupakan dari Kandangan sembari bertanya-tanya ,"Tahun depan, daerah terpencil manalagi yang akan kami datangi seperti sekarang?"
Kisah sebelumnya :
Tak Terlupakan! Sehari Jadi Relawan, Mendatangi Sekolah Terpencil di Banyuwangi Selatan (1) Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
          Â
                                                      Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H