Mohon tunggu...
Afin Yulia
Afin Yulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer, blogger

Gemar membaca, menggambar, dan menulis di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suatu Ketika, Saat Keadaan Tak Berjalan Semestinya

15 November 2018   15:55 Diperbarui: 16 November 2018   06:52 755
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.pexels.com/

Aku menarik napas lega membaca pesan pendek dari enam wisatawan yang pernah kupandu sepekan sebelumnya. Mereka semua baik-baik saja dan sudah kembali melakukan aktivitas seperti biasa. Akan tetapi, masing-masing tak pernah lupa kejadian hari itu ketika mobil yang kami tumpangi mendadak berhenti di kilometer keempat, tak jauh dari areal hutan konservasi. Pak Her mengira karena masalah sebelumnya, switcher starter-nya aus. Begitu diperiksa ternyata mobil mengalami overheat karena bocornya air radiator. Pak Her tidak mengatakan apapun. Namun dari kerutan di dahinya aku tahu ia tidak senang dengan kejadian ini.

Aku segera mengambil tindakan. Berpacu dengan daya baterai yang tinggal 27%, aku berusaha menghubungi semua orang yang kukenal. Beruntung kawanku Sofyan bersedia memberi bantuan. Akan tetapi, karena mobilnya sedan, otomatis yang terangkut hanya empat orang. Itu pun tidak bisa segera. Paling cepat 2 jam 15 menit, karena ada jalan yang rusak. 

Tak mau membuat panik orang-orang, aku terus berusaha mencari bantuan lainnya. Kali ini aku meminta tolong pada Pak Jun, penjaga di pintu hutan konservasi. Ia berkata bisa menjemput anggota rombonganku, tetapi satu-satu. Dengan durasi penjemputan tiga puluh menit per orangnya.

Sumber : https://www.pexels.com/
Sumber : https://www.pexels.com/
Sementara itu rombongan yang kupimpin mulai gelisah karena mereka tak membawa peralatan memadai untuk survive di hutan semacam ini. Jangankan tenda, peralatan dasar seperti senter, peta, senjata tajam, dan makanan pun tak ada. Hanya Fred yang nampak tenang di antara mereka. Kurasa pengalamannya keluar masuk hutan sebagai ahli biologi membuatnya lebih siap dan lebih bisa mengendalikan diri. Ia bahkan tak terlihat takut saat harus masuk hutan untuk buang air besar sendirian.

Sepeninggalnya aku berbalik dan menghadap rombongan wisatawan yang kupandu. Kukatakan pada mereka bahwa sebentar lagi akan ada orang yang menjemput kemari. Namun tak bisa semua. Empat orang akan dibawa satu-satu oleh Pak Jun, sisanya dijemput oleh Sofyan yang datang kurang lebih dua jam ke depan. 

Empat orang pertama yang dijemput adalah Kanaya, Anggi yang kakinya terkilir, Fred, dan Pak Her yang memiliki riwayat penyakit jantung. Sisanya-aku, Pak Lukman, Bu Prita, dan Kevin-menunggu Sofyan. Pak Lukman sempat memprotes. Kenapa istri dan anaknya berangkat belakangan. Ia beralasan semakin lama Kevin di luar, bisa membawa kecemasan dan tekanan. Kondisi itu justru memicul timbulnya serangan asma pada diri Kevin.

"Maaf, Pak. Ini demi keselamatan Kevin juga. Jika berangkat dengan  Pak Jun, tak ada Bu Prita atau Pak Lukman yang mengawasi. Bila di tengah jalan asmanya kambuh, tak ada yang bisa mengatasi. Berbeda jika Kevin berangkat dengan Ibu dan Bapak. Bila terjadi apa-apa dengan Kevin, Bapak dan Ibu langsung bisa bertindak. Selain itu kita juga langsung berangkat ke kota. Sebab kita harus mengejar speed boat terakhir dari Sofifi ke Bastiong. Jika telat, Bapak dan Ibu tidak akan bisa menaiki pesawat di bandara Sultan Babullah, pukul 7.00, esok hari. Dengan demikian Bapak Ibu tidak bisa menghadiri acara Kompasianival 2018 tepat waktu."

Pak Lukman dan Bu Prita manggut-manggut seraya mengelus kepala Kevin, putranya. Tepat setelahnya Anggi dan Kanaya bertanya ,"Lalu kami bagaimana?"

"Mbak berdua tunggu di tempat Pak Jun bersama Fred dan Pak Her. Saya akan mencari mobil sekaligus mencari mekanik untuk membetulkan mobil Pak Her. Kemudian menyusul kalian kembali."

Usai memberi penjelasan itu, aku langsung meminta semua orang untuk tetap di tempat semula. "Jangan sampai berpencar. Karena itu menyulitkan orang untuk menemukan kita," jelasku sebelum meminta bantuan Pak Her, Kanaya, dan Pak Lukman untuk mencari dedaunan serta ranting kering di sekitar sini.  

Bukan tanpa sebab saya memintanya. Dedaunan kering jika dikumpulkan bisa menjadi alas untuk penghalau dinginnya lantai hutan. Sementara ranting-ranting kering dijadikan api unggun yang yang memiliki dua fungsi. Pertama, penghangat badan. Kedua petunjuk bagi Pak Jun dan Sofyan di mana kami berada.

Ketika aku bersiap membuat api unggun, Kanaya tiba-tiba bertanya ,"Apa bisa membuat api unggun tanpa korek atau pemantik api?"

"Bisa, baterai ponsel ini bisa digunakan untuk membuat api," kataku seraya menaruh baterai di atas tumpukan daun dan ranting-ranting kering.

Dengan bantuan obeng besar yang kuambil di mobil Pak Her, kutusuk baterai tersebut hingga korslet dan menimbulkan percikan api. Tak berapa lama api menyala membakar daun-daun dan ranting yang ditumpuk rapi. Orang-orang pun merapat untuk mengusir hawa dingin yang mulai merayap.

Hal berikutnya yang menjadi prioritas setelah membuat api adalah makanan dan minuman. Ternyata setelah dikumpulkan hanya terdapat beberapa batang coklat milik Anggi, sebotol air milik Kanaya, dan dua nasi kotak sisa konsumsi tadi siang. Memang tidak banyak, tetapi bisa membantu mengganjal perut kami hingga menemukan makanan yang layak. 

Saat itulah terdengar sayup-sayup suara peluit di kejauhan. Kami semua berpandangan heran siapa yang meniup peluit di tengah hutan. Semua orang menduga itu Fred, sebab hanya dia yang mungkin membawa peralatan semacam itu.

"Kalau begitu ayo kita susul dia! Jangan-jangan terjadi sesuatu," usul Pak Lukman.

Aku menolak usulnya. Jika harus menyusul Fred, orang itu harusnya aku. Selain karena aku yang bertanggung jawab, hanya aku juga yang lumayan kenal wilayah hutan ini. Untuk itu aku bergegas membuat obor sederhana. Robekan kaus bekas lap mobil milik Pak Her kulilitkan pada sebatang kayu, kemudian kucelupkan ke dalam cairan bensin di tangki minibusnya. Baru kemudian dinyalakan dengan api unggun yang telah menyala.

Sebelum pergi kuminta Pak Lukman untuk mengawasi setiap anggota tim, menjaga mereka agar jangan sampai terpencar sampai aku kembali. Setelah itu baru aku berangkat mencari Fred yang tak juga datang hingga kini.

"Fred, di mana kau?" teriakku kencang.

Bunyi peluit itu terdengar, arahnya dari kanan. Aku terus mengikuti suaranya. Hingga kemudian menemukan dia dengan setandan pisang di samping kakinya.

"Astaga, kupikir kau kenapa-napa, Fred?"

Sumber : https://www.pexels.com/
Sumber : https://www.pexels.com/
Fred, yang fasih berbahasa Indonesia itu tertawa. "Tidak. Aku membunyikan peluit karena pisang ini. Sesungguhnya aku ingin memanggil kalian untuk membantu membawanya. Apa daya aku tak kuat berteriak," katanya jenaka.

"Oh iya, aku menemukan tumbuhan liana. Kita bisa menebang dan mengumpulkan tetesan airnya dengan bambu itu untuk minum semua orang," lanjutnya seraya menunjuk ke arah rumpun bambu yang tumbuh menjulang, tak jauh dari kami.

Tak pikir panjang, kutebang sebatang bambu dan kuambil dua ruas untuk menampung air kucuran liana lantas membawanya ke tempat di mana orang-orang berada. Tiba di sana, semua orang berseru gembira. Tak hanya senang karena melihat Fred dan aku kembali, tetapi juga karena melihat tambahan makanan yang kami bawakan. Tak berapa lama, Pak Jun datang. Kelompok pertama yang dimulai dari Anggi, kemudian Kanaya, Fred, dan Pak Her berangkat bergiliran. Lima belas menit setelah Pak Her pergi, Sofyan tiba. Tak menunggu lama kami segera berangkat bersama mobil sedannya.

Setiba dikota-Pak Lukman, Bu Prita, dan Kevin-bergegas mengemasi barangnya di penginapan. Lalu diantarkan Sofyan ke pelabuhan untuk menaiki speed boat. Lima menit sebelum kapal berangkat, ketiganya sampai, dan langsung menaikinya. Aku begitu lega melihat mereka berlalu sembari melambaikan tangan. Selepas itu aku baru mencari mobil dan mekanik untuk memperbaiki mobil Pak Her dengan bantuan Sofyan. Pukul 23.00 mobil sampai di pondok tempat Pak Jun berada. Kami-aku, Kanaya, Anggi, dan Fred-segera kembali ke kota, sementara Pak Her memilih tinggal untuk menanti mekanik yang hendak memperbaiki mobilnya.

Sepekan berlalu dan semua anggota rombonganku mengirim kabarnya. Rata-rata isinya sama, mengisahkan bahwa kejadian hari itu menjadi pengalaman yang luar biasa. Tak akan bisa dilupakan selamanya. Kanaya si penakut bahkan berkata ,"Jika aku dan kawan-kawanku ke sana liburan nanti, aku berharap kau bersedia memandu kami."

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun