Mohon tunggu...
Afin Yulia
Afin Yulia Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Writer, blogger

Gemar membaca, menggambar, dan menulis di kala senggang.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tiga Hari yang Bermakna Saat Jadi Relawan Inspirasi Sekolah Literasi

17 Desember 2017   10:14 Diperbarui: 17 Desember 2017   13:32 2085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun lalu selepas ikut Inspirasi Sekolah Literasi (ISL) batch 3, saya berjanji jika tahun depan ada lagi saya akan turut serta. Benar saja. Begitu membaca pengumuman pendaftaran Inspirasi Sekolah Literasi (ISL) Jilid 4 di SDN 6 Sarongan yang berlangsung dari tanggal 8-10 Desember, saya langsung mendaftar via WA.

Posisi yang saya lamar masih sama yaitu relawan inspirator. Saya tidak memilih posisi lainnya, semisal fasilitator, karena saya kurang pandai membawa suasana. Sementara posisi lainnya yakni videografer dan fotografer bukan keahlian saya. Jadi apalagi yang bisa dilakukan selain mengisi posisi relawan inspirator? Begitu pikir saya.

Mungkin terdengar sombong, mengingat karier kepenulisan saya belum sekaliber Afifah Afra atau malah Tere Liye. Tetapi, jika menunggu sebesar mereka butuh waktu yang lama. Jadi mengapa tidak sekarang? Siapa tahu kisah-kisah kecil saya bisa membuka memberikan wawasan akan pilihan profesi di masa depan. Sekaligus menginspirasi mereka untuk meraih cita-cita setinggi-tingginya. Syukur-syukur bila bisa memotivasi mereka untuk terus melanjutkan pendidikan.

Persiapan Lebih dari Tahun Sebelumnya

Strategi pengajaran menggunakan gambar (sumber ganmbar : koleksi pribadi)
Strategi pengajaran menggunakan gambar (sumber ganmbar : koleksi pribadi)
Setahun lalu saat jadi relawan inspirator di SD Tamansari 4, yang ada di di pikiran saya teramat sederhana. Saya datang, bercerita, dan selesai sudah.  Saya tidak berpikir akan terjadi kendala saat mengenalkan apa profesi saya di depan anak-anak nanti.

Namun begitu masuk kelas...  O-M-G! Yang terjadi justru diluar dugaan. Kata-kata yang tersusun di kepala berhamburan entah ke mana. Saya jadi lupa saya sudah ngomong apa. Satu jam berada di depan kelas yang lakukan adalah berdoa semoga jam cepat berlalu.

Sungguh! Saya benar-benar mati gaya  karena terserang sindrom "krik-krik momen" saat itu. Sindrom di mana kondisi blank melanda di tengah-tengah usaha menjelaskan seperti apa sejatinya profesi kita dan manfaatnya bagi masyarakat luas.

Berdasarkan pengalaman itu saya jadi tahu betapa tidak mudah memberi penjelasan pada anak-anak sembari menjaga mood mereka. Membuat mereka tetap fokus pada penjelasan kita tanpa kehilangan ketertarikannya itu bukan tugas yang mudah. Terlebih bagi kita yang tidak terbiasa menghadapi anak-anak. Seberapapun usaha untuk membuat suasana cair rasanya tidak maksimal.

Tidak ingin mengalami situasi seperti tahun lalu, tahun ini saya mempersiapkan diri. Saya sengaja browsing panduan inspirator dan panduan kelas inspirasi berikut video ice breaking untuk anak-anak, jauh-jauh hari sebelum panitia ISL memberi panduan TM-ISL (Technical Meeting ISL). Saya lakukan hal itu semata agar saya punya persiapan lebih di depan mereka nanti. Tidak hanya itu, tahun ini saya juga menyiapkan betul-betul materi yang hendak saya sampaikan. Termasuk strategi pengajaran menggunakan gambar. Kenapa harus pakai gambar, karena tool ini mempermudah pemahaman anak-anak usia 6-12 tahun.

Agak Panik Menjelang Hari H

Workshop menulis dipandu Mbak Nia (sumber gambar : koleksi pribadi)
Workshop menulis dipandu Mbak Nia (sumber gambar : koleksi pribadi)
Seharusnya saya menjadi relawan inspirator bersama tujuh orang lainnya. Tetapi, menjelang hari H rupanya beberapa orang mengundurkan diri. Tercatat ada tiga orang yang kemudian tidak bisa datang karena satu hal. Jadi tersisa lima orang yakni saya (penulis), Mas Faisal (sutradara), Ranzein (dokter), Anis (seniman batik), dan Mak Winda Kusuma (penyiar).

Ini pula yang akhirnya bikin hati saya was-was. Sebab di antara para inspirator tersebut, hanya saya yang solo karier pada hari H. Tidak ada tandemnya. Sementara inspirator lain berdua-dua. Waduh, membayangkan harus berdiri  sendiri di depan kelas tak urung bikin hati saya jedag-jedug tak karuan. Serasa ada sekumpulan DJ main musik ajep-ajep di sana!

Beruntung saya mendapat dukungan luar biasa dari rekan-rekan se-tim  (kelompok tiga) seperti Mbak Nia, Fiya, Emi, Bunda Erika, dan Bunda Siti. Meski pada tanggal 8 Desember kami datang paling telat, bahkan kami memilih tidur saat yang lain masih sibuk persiapan segala macam, ternyata kami cukup kompak.

Keesokan harinya, tanggal 9 Desember, usai makan pagi kami untuk kumpul dan ngobrol apa yang akan dilakukan untuk mengisi waktu selama 40 menit. Apa pembukaannya, isi, dan penutupnya. Mbak Nia, yang muncul jadi inspirator setengah fasilitator dadakan, banyak memberi masukan soal penyampaian materi. Menurutnya meski materi yang diberikan sama tetapi penyampaiannya tidak bisa disamaratakan antara anak kelas satu dan dua dengan  kelas atasnya atau sebaliknya.

Oleh karena itu tim kami (kelompok 3) memutuskan untuk memberikan materi sesuai levelnya. Untuk kelas lima dan enam, ada sesi workshop menulis setelah materi profesi penulis diberikan. Workshop menulis bertema cita-cita yang dipandu oleh Mbak Nia ini berlangsung seru. Ada tiga orang yang berhasil mendapatkan hadiah di sesi ini yaitu Arung Dinar (cita-cita perajin), Astrid (ingin jadi dokter), dan Tia Ratna Sari (hendak jadi artis). Kelas di bawahnya yaitu kelas tiga dan empat, cukup materi profesi penulis saja tanpa workshop menulis. Sementara kelas yang paling muda yakni kelas satu dan dua, materinya tidak terlampau lama dan lebih banyak bermainnya.

Apakah sukses sesuai rencana? Tidak juga. Kelompok pertama yang terdiri dari kelas lima dan enam, cukup lancar. Kelompok dua yaitu gabungan kelas tiga dan empat, kurang lebih sama. Yang terakhir, yang terdiri dari gabungan anak kelas satu dan dua, tidak terlampau lancar. Kelihatan anak-anak sudah kelelahan. Jadi materinya dipercepat dan lebih banyak diajak main saja.

Hal-hal Seru di ISL Batch 4

Sepekan berlalu, acara ISL Batch 4 masih membekas di kepala. Bergabung jadi relawan didalamnya membawa keseruan tersendiri seperti cerita di bawah ini.

Pertama, ngakak berjamaah saat refleksi. Usai kelas inspirasi, seluruh relawan berkumpul untuk melakukan refleksi. Seperti tahun sebelumnya, ini ajang ngakak berjamaah. Curhatan para relawan saat menghadapi anak-anak di kelas menjadikan suasana ruangan tempat kami kumpul jadi riuh, penuh tawa. Ranzein yang berprofesi dokter mengaku mengaku gugup di depan anak-anak. Keringatnya bercucuran begitu mulai menerangkan profesi yang ia geluti. Terus-terang ia tidak mengira akan mengalami kesulitan semacam ini sebelumnya.  

Mak Winda praktek siaran bersama anak-anak SDN 6 Sarongan (sumber gambar : koleksi pribadi)
Mak Winda praktek siaran bersama anak-anak SDN 6 Sarongan (sumber gambar : koleksi pribadi)
Mak Winda, karena sudah berpengalaman menghadapi anak-anak TK, lebih santai dalam melakoni tugasnya yakni menceritakan profesinya sebagai penyiar. Mas Faisal, sutradara, yang mengaku tahun ini tidak punya persiapan  merasa sedikit gelagapan. Katanya, ia sempat mengalami blank di depan kelas. Beruntung pengalamannya bergelut dengan dunia pertunjukan seperti pantomim dan teater, menolongnya. Ia mampu menguasai kebingungannya dan menggunakan keahliannya untuk menguasai kelas.

Anis, seniman batik, mengaku senang dengan acara ISL Batch 4 ini. Meski tidak banyak bercerita kesulitannya saat refleksi, tetapi sempat di luar kelas ia mengakui menjelaskan profesinya selaku pembuat batik itu nggak mudah.

"Tahun depan, saya mau daftar jadi fasilitator saja. Nggak jadi inspirator," katanya bikin saya tertawa-tawa.

Mas Ali Mansur, relawan fasilitator yang seorang pendidik, mengaku menghadapi anak-anak usia 6-12 tahun itu ternyata bikin ia grogi. Ia mengaku susah juga ternyata bicara di depan mereka. Mendengar kisah-kisah ini kami tak henti-hentinya tertawa.

Kedua, terkunci di kamar mandi. Kami bersyukur kamar mandi di SDN 6 Sarongan ini cukup representatif. Sudah dikeramik dan cukup bersih. Jadi kami merasa nyaman saat mandi atau buang hajat disini. Tetapi, yang bikin horor itu handle-nya. Handle pintu yang rusak itu sempat menjebak beberapa orang hingga tak bisa keluar. Salah satunya adalah saya. Beruntung masih ada banyak orang di luar, jadi saat saya minta tolong ada yang membukakan.

Beda lagi dengan Bunda Siti yang mengaku terkunci di dalam saat malam hari, mana sepi pula. Waduh, beliau langsung panik mengetahui pintu kamar mandi tak bisa dibuka. Mujur, Allah kirimkan orang untuk menolongnya. Aduh, kalau tidak bisa-bisa nginap di kamar mandi sampai pagi. Meski menyebalkan, menceritakan hal ini tak urung bikin kami tertawa kegelian.

Tak ada fasilitas atau makanan mewah, tapi semua relawan tetap senang (sumber gambar : koleksi pribadi)
Tak ada fasilitas atau makanan mewah, tapi semua relawan tetap senang (sumber gambar : koleksi pribadi)
Ketiga, tidur dan makan seadanya. Di SDN 6 Sarongan tidak ada fasilitas mewah untuk relawan. Semua harus rela tidur di atas tikar tipis berbantalkan jaket atau tangan. Makan pun seadanya. Hanya pecel, berlauk tempe dan tahu, dengan tambahan mie. Itu sudah cukup bagi kami. Tak ada yang mengeluh. Mandi juga bergantian, tidak ada yang egois menyerobot antrian. Kami menikmati kondisi itu dan tidak meributkannya. Toh, kondisi itu hanya kami alami selama tiga hari saja. Selanjutnya kami bisa tidur di tempat yang nyaman. Tidak perlu merasakan ngilunya punggung karena bersentuhan dengan lantai yang keras.

Keempat, tidak ada sinyal. Sungguh, jalan yang buruk menuju Sarongan bukan satu-satunya tantangan. Sampai di tempat ini kami harus mendapati kenyataan selama tiga hari kami hidup tanpa sinyal. Begitu masuk Sarongan sinyal langsung pet! Tak ada tanda kehidupan, seperti lampu padam. Bagi yang terbiasa hidup dengan sinyal seperti saya, kondisi ini bikin mati gaya. Saya tidak bisa laporan kondisi di lapangan seperti yang saya inginkan. Baik berupa status atau gambar.

Kelima, bersyukur. Tak ada hal yang patut saya ucapkan selain bersyukur. Saya hidup di tengah keluarga yang mendukung pendidikan. Akses mendapatkan pendidikan dan pendukungnya mudah. Di sana? Berbeda jauh dengan kita. Tidak hanya letak yang terpencil, SDN 6 ini juga minim fasilitas. Gurunya hanya tujuh---satu kepala sekolah, tiga guru tetap, dan tiga guru lainnya berasal dari program Banyuwangi Mengajar. Perpustakaan baru saja berdiri, setelah dilakukan inisiasi, yang prosesnya berlangsung setelah kelas inspirasi. Padahal jarak Sarongan dengan kota kabupaten hanya sejauh tiga jam-an. Menyedihkan bukan. Tetapi, inilah potret nyata pendidikan disana.

Tidak hanya itu, selepas ISL Batch 4 ini, saya jadi lebih menghargai profesi guru. Terutama yang rela mengajar di area seperti Sarongan. Sudah jalannya susah, sinyal sulit ditangkap, tidak ada fasilitas pula. Jika bukan karena pengabdian, saya kira sulit bertahan disana. Sungguh saya salut dengan mereka. Kepada mereka, saya acungkan jempol dua!  

And finally, saya cuma mau bilang jika ISL Batch 5 diadakan, saya akan kembali mendaftar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun