Mas Ali Mansur, relawan fasilitator yang seorang pendidik, mengaku menghadapi anak-anak usia 6-12 tahun itu ternyata bikin ia grogi. Ia mengaku susah juga ternyata bicara di depan mereka. Mendengar kisah-kisah ini kami tak henti-hentinya tertawa.
Kedua, terkunci di kamar mandi. Kami bersyukur kamar mandi di SDN 6 Sarongan ini cukup representatif. Sudah dikeramik dan cukup bersih. Jadi kami merasa nyaman saat mandi atau buang hajat disini. Tetapi, yang bikin horor itu handle-nya. Handle pintu yang rusak itu sempat menjebak beberapa orang hingga tak bisa keluar. Salah satunya adalah saya. Beruntung masih ada banyak orang di luar, jadi saat saya minta tolong ada yang membukakan.
Beda lagi dengan Bunda Siti yang mengaku terkunci di dalam saat malam hari, mana sepi pula. Waduh, beliau langsung panik mengetahui pintu kamar mandi tak bisa dibuka. Mujur, Allah kirimkan orang untuk menolongnya. Aduh, kalau tidak bisa-bisa nginap di kamar mandi sampai pagi. Meski menyebalkan, menceritakan hal ini tak urung bikin kami tertawa kegelian.
Keempat, tidak ada sinyal. Sungguh, jalan yang buruk menuju Sarongan bukan satu-satunya tantangan. Sampai di tempat ini kami harus mendapati kenyataan selama tiga hari kami hidup tanpa sinyal. Begitu masuk Sarongan sinyal langsung pet! Tak ada tanda kehidupan, seperti lampu padam. Bagi yang terbiasa hidup dengan sinyal seperti saya, kondisi ini bikin mati gaya. Saya tidak bisa laporan kondisi di lapangan seperti yang saya inginkan. Baik berupa status atau gambar.
Kelima, bersyukur. Tak ada hal yang patut saya ucapkan selain bersyukur. Saya hidup di tengah keluarga yang mendukung pendidikan. Akses mendapatkan pendidikan dan pendukungnya mudah. Di sana? Berbeda jauh dengan kita. Tidak hanya letak yang terpencil, SDN 6 ini juga minim fasilitas. Gurunya hanya tujuh---satu kepala sekolah, tiga guru tetap, dan tiga guru lainnya berasal dari program Banyuwangi Mengajar. Perpustakaan baru saja berdiri, setelah dilakukan inisiasi, yang prosesnya berlangsung setelah kelas inspirasi. Padahal jarak Sarongan dengan kota kabupaten hanya sejauh tiga jam-an. Menyedihkan bukan. Tetapi, inilah potret nyata pendidikan disana.
Tidak hanya itu, selepas ISL Batch 4 ini, saya jadi lebih menghargai profesi guru. Terutama yang rela mengajar di area seperti Sarongan. Sudah jalannya susah, sinyal sulit ditangkap, tidak ada fasilitas pula. Jika bukan karena pengabdian, saya kira sulit bertahan disana. Sungguh saya salut dengan mereka. Kepada mereka, saya acungkan jempol dua! Â
And finally, saya cuma mau bilang jika ISL Batch 5 diadakan, saya akan kembali mendaftar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H