Ini pula yang akhirnya bikin hati saya was-was. Sebab di antara para inspirator tersebut, hanya saya yang solo karier pada hari H. Tidak ada tandemnya. Sementara inspirator lain berdua-dua. Waduh, membayangkan harus berdiri  sendiri di depan kelas tak urung bikin hati saya jedag-jedug tak karuan. Serasa ada sekumpulan DJ main musik ajep-ajep di sana!
Beruntung saya mendapat dukungan luar biasa dari rekan-rekan se-tim  (kelompok tiga) seperti Mbak Nia, Fiya, Emi, Bunda Erika, dan Bunda Siti. Meski pada tanggal 8 Desember kami datang paling telat, bahkan kami memilih tidur saat yang lain masih sibuk persiapan segala macam, ternyata kami cukup kompak.
Keesokan harinya, tanggal 9 Desember, usai makan pagi kami untuk kumpul dan ngobrol apa yang akan dilakukan untuk mengisi waktu selama 40 menit. Apa pembukaannya, isi, dan penutupnya. Mbak Nia, yang muncul jadi inspirator setengah fasilitator dadakan, banyak memberi masukan soal penyampaian materi. Menurutnya meski materi yang diberikan sama tetapi penyampaiannya tidak bisa disamaratakan antara anak kelas satu dan dua dengan  kelas atasnya atau sebaliknya.
Oleh karena itu tim kami (kelompok 3) memutuskan untuk memberikan materi sesuai levelnya. Untuk kelas lima dan enam, ada sesi workshop menulis setelah materi profesi penulis diberikan. Workshop menulis bertema cita-cita yang dipandu oleh Mbak Nia ini berlangsung seru. Ada tiga orang yang berhasil mendapatkan hadiah di sesi ini yaitu Arung Dinar (cita-cita perajin), Astrid (ingin jadi dokter), dan Tia Ratna Sari (hendak jadi artis). Kelas di bawahnya yaitu kelas tiga dan empat, cukup materi profesi penulis saja tanpa workshop menulis. Sementara kelas yang paling muda yakni kelas satu dan dua, materinya tidak terlampau lama dan lebih banyak bermainnya.
Apakah sukses sesuai rencana? Tidak juga. Kelompok pertama yang terdiri dari kelas lima dan enam, cukup lancar. Kelompok dua yaitu gabungan kelas tiga dan empat, kurang lebih sama. Yang terakhir, yang terdiri dari gabungan anak kelas satu dan dua, tidak terlampau lancar. Kelihatan anak-anak sudah kelelahan. Jadi materinya dipercepat dan lebih banyak diajak main saja.
Hal-hal Seru di ISL Batch 4
Sepekan berlalu, acara ISL Batch 4 masih membekas di kepala. Bergabung jadi relawan didalamnya membawa keseruan tersendiri seperti cerita di bawah ini.
Pertama, ngakak berjamaah saat refleksi. Usai kelas inspirasi, seluruh relawan berkumpul untuk melakukan refleksi. Seperti tahun sebelumnya, ini ajang ngakak berjamaah. Curhatan para relawan saat menghadapi anak-anak di kelas menjadikan suasana ruangan tempat kami kumpul jadi riuh, penuh tawa. Ranzein yang berprofesi dokter mengaku mengaku gugup di depan anak-anak. Keringatnya bercucuran begitu mulai menerangkan profesi yang ia geluti. Terus-terang ia tidak mengira akan mengalami kesulitan semacam ini sebelumnya. Â
Anis, seniman batik, mengaku senang dengan acara ISL Batch 4 ini. Meski tidak banyak bercerita kesulitannya saat refleksi, tetapi sempat di luar kelas ia mengakui menjelaskan profesinya selaku pembuat batik itu nggak mudah.
"Tahun depan, saya mau daftar jadi fasilitator saja. Nggak jadi inspirator," katanya bikin saya tertawa-tawa.