Latar BelakangÂ
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan manusia dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum juga memberikan petunjuk mana yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat, sehingga segala suatunya bisa berjalan denga tertib dan teratur.[1]
Suatu sistem hukum pada hakikatnya merupakan kesatuan atau himpunan dari berbagai cita-cita dan cara-cara dengan mana manusia berusaha untuk mengatasi masalah-masalah yang nyata maupun potensiil yang timbul dari pergaulan hidup seharihari yang menyangkut kedamaian yang semakin kompleks dalam susunan suatu masyarakat, semakin luas dan mendalam pengaruh hukum dalam mengatur kehidupan manusia. Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir semua aspek kehidupan bersama diatur oleh hukum.Â
Secara nasional, pentingnya anak sebagai generasi penerus telah melahirkan berbagai ketentuan hukum di Indonesia tentang kesejahteraan dan perlindungan anak. Dalam pertumbuhannya, anak mendapatkan didikan dari orang tuanya. Anak diajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang harus diturutinya dalam rangka mempersiapkan dirinya untuk dapat hidup bermasyarakat, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh untuk dilakukan atau dilanggar. Anak sendiri tidak hanya mendapatkan didikan dari orang tua saja melainkan dari masyarakat yang ada di lingkungan tersebut dan juga anak tersebut belajar dari perilaku orang tuanya dan anggota masyarakat di lingkungannya.[2]
Anak yang sedang dalam proses bertumbuh kembang, sangat perlu untuk mendapatkan pendidikan untuk mengantar mereka ke gerbang kehidupan orang dewasa yang mandiri, yang inovatif, berakhlak baik, dan menegakkan nilai-nilai sosial dan agama serta tidak meninggalkan kewajiban mereka untuk menuntut ilmu.
Pada kenyataannya masih banyak  orang tua yang masih kurang memperhatikan pendidikan anaknya. Salah satu contoh adalah pengemis anak-anak yang marak terjadi di Indonesia. Hal ini berarti menyalahi UU No. 35 tahun 2014 yang salah satu poinnya menyatakan bahwa kewajiban orang tua adalah memberi pendidikan kepada anaknya.
Metode Pengumpulan DataÂ
Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode kualitatif yakni dengan wawancara dan observasi. Wawancara dilakukan kepada beberapa anak yang melakukan pekerjaan sebagai pengemis jalanan yang seharusnya tidak dikerjakan oleh seorang anak yang masih membutuhkan pendidikan untuk masa depannya. Sedangkan observasi ini dilakukan untuk melihat fakta yang terjadi di lapangan.
Kajian Teori
Teori Efektivitas Hukum
Efektivitas hukum merupakan teori di mana orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi. Untuk mengetahui apakah hukum itu benar-benar diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor yaitu:[3]
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat itu sendiri
5. Faktor kebudayaan
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum itu, juga merupakan tolok ukur dari efektivitas hukum. Jadi apabila semua faktor itu telah terpenuhi barulah tujuan hukum dalam masyarakat dapat dirasakan, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
Analisa KasusÂ
Kemiskinan dan ketimpangan struktur institusional adalah variabel utama yang menyebabkan kesempatan masyarakat khususnya anak-anak untuk memperoleh pendidikan menjadi terhambat. Di lingkungan rumah tangga desa di Jawa, anak-anak dari keluarga miskin terpaksa ikut bekerja dan mencari nafkah entah sebagai pembantu bahkan ada yang menjadi pengemis.[4]
Secara filosofis bahwa anak merupakan masa depan bangsa, dan sebagai generasi penerus perjuangan. Seorang anak yang bermasalah berarti menjadi masalah bangsa, sehingga kepentingan terbaik bagi anak menjadi pilihan yang harus diutamakan dalam menangani anak yang bermasalah atau yang berkonflik dengan hukum.Â
Dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Perlindungan Anak diperlukan guna memberikan jaminan atau kepastian hukum dalam perlindungan terhadap hak-hak anak mengingat :
- Anak adalah amanat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
- Anak adalah penerus cita-cita perjuangan bangsa yang memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus untuk diharapkan dapat menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.
- Anak perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik, mental, maupun sosial dan mempunyai akhlak yang mulia.
- Pada kenyataannya masih banyak anak yang:
- Belum terlindungi dari berbagai bentuk kekerasan dan eksploitasi.
- Masih hidup terlantar dan tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar, apalagi memadai.
Keterangan: foto anak sedang mengemis pada jam sekolah (Jombang, 26-04-2016)
Pengemis adalah orang yang meminta sesuatu kepada orang lain dengan cara membuat dirinya menjadi orang yang pantas dikasihani. Agar dikasihani orang lain, orang yang mengemis biasnya memakai baju jelek, memperlihatkan cacat tubuh, mengatakan belum makan sekian hari, dan bahkan sengaja membawa anaknya yang masih kecil.
Anak-anak yang bekerja sebagai pengemis tentu terganggu haknya, salah satunya hak untuk memperoleh pendidikan. Dalam kasus ini berarti orang tua tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang N0.35 Tahun 2014 bahwa:
(1)Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
- Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
- Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; danÂ
- Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
Undang-undang diatas secara tegas telah menjelaskan kewajiban dan tanggung orang tua terhadap anaknya. Namun realitas yang ada, dimana anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan dan pembinaan dari orang tua agar kelak menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, terampil dan handal, malah menggantungkan diri dengan cara mengharap dan meminta belas kasihan orang lain. Anak yang masih membutuhkan pendidikan tidak seharusnya melakukan pekerjaan seperti itu yang bisa menyita waktu mereka sehingga mereka kehilangan waktu untuk memperoleh pendidikan yang layak.
Untuk mengetahui lebih banyak informasi, penulis melakukan wawancara kepada pengemis yang mengajak anaknya.
Kenapa ibu mengajak anak ibu mengemis?
Kasian mas di rumah sendiri, bapaknya kan juga kerja.
Apa keuntungan ketika ibu mengajak anak ibu mengemis?
Kalau ngajak anak lebih banyak dapat (uang)nya, kan orang kasian kalau lihat anak kecil gini.
Berapa pendapatan ibu sehari dari mengemis?
Gak tentu mas, minimal dua ratus ribu.
Berapa usia anak ibu, kenapa tidak sekolah?
Delapan mas, ya mending buat makan mas uangnya (dari pada buat sekolah)
Bagaimana ibu mendidik anak ibu kalau dia tidak sekolah?
Tidak tahu mas, saya kan juga tidak sekolah dulu. Ya nanti langsung kerja.
Apakah ibu tahu kalau ada Undang-Undang bahwa orang tua wajib mendidik anaknya?
Tidak mas.
Kalau sehari-hari ibu dan keluarga makan apa?
Nasi mas, lauknya seadanya, tempe, tahu, krupuk, kadang sayur, saya masak sendiri.
Kesehatan anak ibu tidak terganggu ketika ibu ajak mengemis?
Dulu pertama sering sakit mas, capek. Sekarang sudah biasa tidak pernah sakit lagi.
Ibu mengemis mulai jam berapa sampai jam berapa?
Jam delapan pagi sampai jam lima sore.
Kapan waktu anak ibu bermain?
Ya malam mas, di rumah sama anak tetangga. Kalau dia capek ya langsung tidur.[5]
Dari hasil wawancara tersebut, mengindikasikan bahwa narasumber tidak mengetahui adanya undang-undang tentang perlindungan anak sehingga dia tidak melaksanakan kewajibannya sebagai orang tua yautu mendidik anaknya. Selain itu, faktor ekonomi adalah sebab utama dia mengabaikan pendidikan anaknya. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya sosialisasi dan edukasi masyarakat tentang undang-undang serta perhatian masalah ekonomi oleh pemerintah menjadi penyebab orang tua menelantarkan pendidikan anaknya.
Jika dikaitkan dengan teori efektifitas hukum (Soerjono Soekanto), faktor penegak hukum yang menyebabkan undang-undang nomor 35 tahun 2014 pasal 26 tidak efektif, sehingga tujuan hukum ini tidak terlaksana. Pemerintah sebagai penegak hukum seharusnya melaksanakan tugasnya agar hukum terlaksana, misalnya dengan sosialisasi, edukasi, dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Selain faktor penegak hukum, masyarakat juga menjadi faktor yang lain. Tidak adanya kesadaran dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan anak menjadi penyebab hukum tidak efektif.
Kesimpulan
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan manusia dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum juga memberikan petunjuk mana yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat, sehingga segala suatunya bisa berjalan denga tertib dan teratur.
Hukum akan efektif jika didukung oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri
2. Faktor penegak hukum
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat itu sendiri
5. Faktor kebudayaan
Banyak kita temukan pengemis anak-anak dan pengemis dewasa yang membawa anaknya. Dalam kasus ini berarti orang tua tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang N0.35 Tahun 2014 bahwa:
(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
- Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
- Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
- Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; danÂ
- Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.
Orang tua yang mengajak anaknya mengemis atau anaknya menjadi tidak mengetahui adanya undang-undang tentang perlindungan anak sehingga dia tidak melaksanakan kewajibannya sebagai orang tua yautu mendidik anaknya. Selain itu, faktor ekonomi adalah sebab utama dia mengabaikan pendidikan anaknya. Dapat disimpulkan bahwa kurangnya sosialisasi dan edukasi masyarakat tentang undang-undang serta perhatian masalah ekonomi oleh pemerintah menjadi penyebab orang tua menelantarkan pendidikan anaknya.
Faktor penegak hukum yang menyebabkan undang-undang nomor 35 tahun 2014 pasal 26 tidak efektif, sehingga tujuan hukum ini tidak terlaksana. Pemerintah sebagai penegak hukum seharusnya melaksanakan tugasnya agar hukum terlaksana, misalnya dengan sosialisasi, edukasi, dan menciptakan lapangan kerja yang layak. Selain faktor penegak hukum, masyarakat juga menjadi faktor yang lain. Tidak adanya kesadaran dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan anak menjadi penyebab hukum tidak efektif.
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013)
Bagong Suyanto, Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya, (Malang: In-
Kasiah, Wawancara, pukul 09.00, tanggal 26-04-2016, Jombang.
[1] Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.54
[5] Kasiah (40), Wawancara, pukul 09.00, tanggal 26-04-2016, Jombang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H