Mohon tunggu...
Afif Syeikhul Akbar
Afif Syeikhul Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat

Masih Pemula Dalam Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Membangun Pertanian Indonesia: Tantangan dan Inisiatif untuk Masa Depan

19 Juni 2024   17:26 Diperbarui: 19 Juni 2024   17:27 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Indonesia memiliki luas lahan pertanian padi terbesar ketiga di dunia. Namun, negara ini masih harus mengimpor jutaan ton beras setiap tahun untuk memenuhi permintaan domestik. Sementara itu, negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam berhasil menjadi eksportir beras nomor dua dan tiga di dunia dengan kualitas beras yang terstandarisasi, biaya produksi yang jauh lebih rendah, dan efisiensi produksi yang maksimal, meski luas wilayah pertaniannya lebih kecil daripada Indonesia. Pertanyaannya, mengapa Indonesia tertinggal?.

 Secara geografis, Indonesia sangat diuntungkan. Negara ini dikelilingi oleh gunung berapi yang memberikan endapan abu vulkanik kaya nutrisi, ideal untuk pertumbuhan padi. Ditambah lagi, curah hujan yang tinggi mendukung kebutuhan air tanaman padi. Indonesia juga memiliki keanekaragaman genetik padi yang kaya, memungkinkan ketahanan terhadap hama dan penyakit. Jadi, masalahnya bukan terletak pada kurangnya kesuburan tanah. Ada beberapa faktor yang membuat Indonesia harus mengimpor beras dan tertinggal dari negara tetangga, yaitu:

Mutu dan Kualitas Gabah

Hasil panen petani sering tidak terstandarisasi, dengan kadar air yang terlalu tinggi atau rendah. Hal ini menyulitkan Bulog untuk memenuhi kebutuhan beras domestik secara optimal, sehingga terpaksa mengimpor beras dengan kualitas lebih stabil.

Proses Produksi yang Tidak Efisien

Biaya produksi beras di Indonesia bisa mencapai dua setengah kali lipat lebih mahal dari Thailand. Ini menyebabkan harga beras Indonesia menjadi lebih tinggi dan kurang kompetitif.

Keterbatasan Teknologi Pertanian

Semua masalah ini bermuara pada satu benang merah, yaitu keterbatasan teknologi pertanian. Teknologi memungkinkan hasil produksi yang stabil dan biaya produksi yang rendah. Namun, di Indonesia, petani masih banyak yang menggunakan metode tradisional, mulai dari membajak sawah hingga mengolah hasil panen. Sebaliknya, di negara-negara maju, pertanian sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan teknologi canggih.

Menurut pengamat ekonomi INDEF, Bhima Yudhistira, teknologi pertanian di Indonesia masih tertinggal karena rendahnya kesadaran di kalangan petani dan minimnya dukungan pemerintah untuk pengadaan teknologi dan pelatihan keterampilan. Laporan Bank Dunia tahun 2018 menyebutkan bahwa hanya sekitar 10% petani di Indonesia yang menggunakan teknologi modern.

Beberapa institusi telah menyadari masalah ini dan mulai mengambil langkah nyata. Salah satunya adalah Bank Mandiri, yang sejak tahun 2019 membantu belasan ribu petani dengan menyediakan alat penggilingan modern seperti rice milling unit, serta memberikan pelatihan dan pendampingan. Program ini telah dilaksanakan di beberapa daerah, termasuk Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, dan Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Dengan pengadaan rice milling unit berkapasitas 3 ton per jam, petani dapat menghemat waktu dan tenaga, serta meningkatkan kualitas beras. Program ini juga memberikan peluang bagi petani untuk memiliki saham dan mendapatkan pembagian keuntungan dari pengelolaan rice milling unit. Selain itu, diversifikasi usaha ke minimarket, kios pupuk, reseller daging, hingga toko online juga dilakukan untuk meningkatkan pendapatan petani.

Program ini telah menjangkau lebih dari 11.000 petani dan meningkatkan pendapatan mereka hingga 12,5 miliar rupiah. Bank Mandiri juga telah menyalurkan lebih dari 4000 pinjaman modal dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada para petani, sehingga mereka tidak perlu lagi meminjam modal dengan bunga tinggi dari tengkulak. Meskipun program ini baru menjangkau sebagian kecil petani di Indonesia, ini menunjukkan bahwa masalah pertanian di Indonesia masih bisa diatasi dengan dukungan yang serius dan nyata. Diharapkan lebih banyak pihak yang turut serta dalam upaya ini agar pertanian di Indonesia bisa lebih maju dan mandiri. Dengan akses ke teknologi modern, pelatihan yang memadai, dan dukungan pemerintah serta sektor swasta, petani Indonesia bisa meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi mereka. Jika semua pihak bersatu, Indonesia bisa memanfaatkan potensi alamnya yang melimpah dan menjadi salah satu produsen beras terbesar di dunia.

Indonesia memiliki potensi besar dalam pertanian padi dengan kondisi geografis dan genetik yang mendukung. Namun, tantangan utamanya adalah mutu gabah yang tidak terstandarisasi, proses produksi yang tidak efisien, dan keterbatasan teknologi pertanian. Solusi terletak pada peningkatan penggunaan teknologi modern, pelatihan petani, dan dukungan pemerintah serta sektor swasta untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi produksi beras. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengurangi impor beras dan mengoptimalkan potensi sebagai produsen beras terkemuka di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun