Mohon tunggu...
Afif Salafudin
Afif Salafudin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Keguruan

Bukan Manusia Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Menggugat Pendidikan Otoriter: Menelusuri Pemikiran Paulo Friere di Era Pendidikan Modern

10 September 2024   21:54 Diperbarui: 10 September 2024   22:16 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber. suarasurabaya.net

Pernah nggak sih kita kepikiran dalam benak kita, kok kita merasa jadi robot ya di dalam kelas? Duduk, diam, dengerin, nyatet, lalu selesai. Kadang kita masuk kelas duduk di kursi belakang ngeluarin buku terus, terus kita sibuk scroll tik tok padahal didepan teman kita sedang presentasi. Terus di akhir semester, yang penting nilai keluar bagus, selesai. Udah, kan? Anggapan yang penting ga ngulah lah, penting absen seperti anggapan yang sudah mendarah daging dalam keseharian kita saat berkuliah. Tapi, ngerasa ga si kok kayaknya ada yang salah gitu. Kok pendidikan rasanya cuma sekadar formalitas, kok kayaknya kuliah cuman sekedar mencari gelar buat dapat kerja yang mapan, kayak kerjaan rutin yang nggak ngasih ruang buat kita mikir lebih dalam?

Nah, Paulo Freire, seorang pemikir filsafat pendidikan asal Brazil, udah ngangkat keresahan ini sejak lama. Dalam Pedagogy of the Oppressed, dia nyebut bahwa model pendidikan semacam ini dia sebut sebagai pendidikan gaya bank (banking concept). Menurut Freire, di model ini, siswa dianggap kayak rekening bank yang cuma diisi informasi oleh guru. Kita nggak dilibatkan untuk mikir kritis atau diajak diskusi. Hasilnya, kita jadi pasif. Dan sayangnya, ini masih sering kita temui di banyak sistem pendidikan, termasuk di Indonesia.

Sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, saya merasakan bahwa cara belajar yang otoriter ini jelas problematik. Kita diajarin buat nurut, bukan buat nanya dan Kita hanya bisa menerima, tanpa memberi timbal balik. Sistem ini bikin kita hanya fokus pada nilai, bukan pada pemahaman mendalam. Saya pernah ngerasa kok kayaknya yang penting lulus, tapi apakah saya benar-benar ngerti apa yang saya pelajari?

Freire menawarkan alternative yang disebut pendidikan dialogis. Di sini, guru dan siswa sama-sama belajar. Bukan cuma guru yang aktif, tapi siswa juga ikut terlibat dalam proses belajar-mengajar. Bayangkan kalau di kelas, kita diajak diskusi soal isu-isu sosial yang beneran relevan dengan hidup kita. Bukan sekadar hafalan teori, tapi gimana teori itu bisa dipraktekin di dunia nyata. Ini yang bikin pendidikan jadi hidup.

Lebih dari itu, Freire memperkenalkan konsep kesadaran kritis. Ini yang bikin pendidikan jadi bukan cuma soal dapet ijazah, tapi soal ngasih kita kesadaran akan realitas sosial yang ada di sekitar kita. Contohnya, kenapa sih banyak anak di daerah pedalaman yang putus sekolah? Kenapa sistem pendidikan kita masih didominasi sama birokrasi yang kaku? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya kita bahas di ruang kelas, bukan cuma sekadar dilirik terus kita diem aja.

Di era digital kayak sekarang, tantangan buat menerapkan konsep Freire bisa jadi makin kompleks. Sistem pendidikan sering terjebak dalam birokrasi, dan kurikulumnya belum banyak yang mendukung pendidikan dialogis. Tapi, Freire tetap relevan. Teknologi yang sekarang bisa kita gunakan justru bisa jadi alat buat menciptakan ruang-ruang dialog baru, buat membuka kesadaran kita tentang isu-isu sosial yang sebelumnya nggak terjangkau.

Sebagai mahasiswa, kita harus berani menggugat sistem yang otoriter ini. Nggak sekadar nerima apa yang disuapin, tapi aktif buat ngajak diskusi, kritik, dan berinovasi. Karena kalau kita cuma diam, kita bakal terus jadi produk dari sistem pendidikan yang kaku dan nggak membebaskan.

Pendidikan harus jadi ruang buat merdeka, bukan buat diam. Dan Freire udah ngajarin kita, kalau mau menang dalam hidup, kita harus berani mempertaruhkan semuanya, termasuk keberanian buat nanya dan berani buat berpikir kritis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun