Mohon tunggu...
Afif Naufal
Afif Naufal Mohon Tunggu... Penulis - Afif

Hidup.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Golput dan Harapan

3 Februari 2019   19:49 Diperbarui: 3 Februari 2019   20:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang pelaksanaan pemilu 2019, akhir-akhir ini ramainya perbicangan mengenai golput (golongan putih) di media sosial. Setelah LBH Jakarta mengatakan bahwa golput bukan tindakan yang melanggar hukum membuat pembahasan mengenai golput sangat menarik mendekati waktu pemilihan. Selain itu banyaknya kampanye anti golput yang disuarakan oleh beberapa tokoh politik ataupun public figure membuat golput semakin menarik untuk dikaji. Bahwa selama perhelatan pemilu yang berlangsung di Indonesia, masyarakat yang memilih untuk golput selalu menghiasi pesta demokrasi di negara ini. 

Sebagian dari kita mungkin berpikir bahwa yang memilih untuk golput pada pemilu merupakan orang-orang yang anti terhadap politik ataupun yang tidak mau berpartisipasi pada perhelatan pemilu. Akan tetapi sesungguhnya golput merupakan bentuk dari sikap politik dari seseorang, bahwa adanya ketidakyakinan terhadap calon-calon yang berkontestasi pada pemilu. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti; kejenuhan terhadap politik nasional, korupsi yang merajalela, HAM yang tidak terselasaikan, oligarki pemerintah pusat, dan sebagainya. Sesungguhnya tindakan golput ini merupakan bentuk kesadaran politik dari masing-masing individu yang dapat dilihat dari berbagai faktor. Kesadaran politik itulah yang menghasilkan sikap politik berupa golput pada pemilu yang menjadi pilihan bagi seseorang.

Seperti teori yang dibawa oleh Aristoteles mengenai "zoon politicon", bahwa tindakan manusia berorientasi pada nilai dan pencapaian terhadap suatu tujuan, baik yang bersifat sementara ataupun jangka panjang. Bahwa manusia digerakkan oleh apa yang ia inginkan lalu digerakkan oleh hasrat yang berdasarkan pikirannya. Bila kita kaitkan dengan golput, maka sesungguhnya orang-orang yang memilih untuk golput merupakan tindakan yang berdasarkan nilai, yang memiliki tujuan atas dasar kerasionalannya terhadap pilihan politiknya yaitu untuk tidak memilih siapapun calon yang sedang berkontestasi pada pemilu. Bahwa setiap individu memiliki kesadaran dalam menentukan tindakannya, seperti sikap untuk golput pada pemilu. 

Selain itu Nietzsche sebagai filsuf yang memandang individu dari suatu realitas yaitu mengenai "kehendak untuk berkuasa". Menurutnya segala bentuk realitas dan segala yang ada di dalamnya merupakan suatu ledakan atau bentuk lain dari kehendak untuk berkuasa. Yang dimaksudkan oleh kehendak untuk berkuasa yaitu merupakan dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apa yang ada, yaitu hasil dari semua proses-proses realitas itu sendiri. Menurutnya kehendak untuk berkuasa bergerak dari realitas itu sendiri yang berjalan secara mekanis, tanpa pencipta maupun tanpa arah. Bila kita kaitkan dengan golput bahwa orang-orang yang memilih sikap politik untuk golput melihat dari realitas politik yang selama ini terjadi di Indonesia dimana banyaknya realitas buruk yang membuat orang-orang melakukan tindakan golput berdasarkan apa yang ia rasakan pada realitas politik di Indonesia. 

Melihat dari dua sudut pandang dari dua filsuf diatas kita bisa melihat bahwa sesungguhnya sikap politik untuk melakukan golput pada pemilu merupakan kesadaran yang memiliki tujuan di dalamnya. Karena dapat kita lihat saat ini yang berpotensi banyak melakukan golput saat ini pada pemilu 2019 ini ialah orang-orang yang telah kecewa terhadap realita hari ini dan dari kalangan orang-orang yang telah dikecewakan oleh pemerintah seperti masyarakat adat di seluruh Indonesia ataupun pejuang HAM. Karena selama ini mereka begitu berharap kepada pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang tidak pernah tuntas oleh rezim yang telah berganti sekalipun. Masyarakat adat ataupun pejuang HAM yang saya jadikan contoh sebagai proyeksi golput terbanyak karena mereka telah pesimis di dalam perjuangan mereka menuntut keadilan.

Bahwa dapat kita lihat sesungguhnya gerakan golput pada pemilu 2019 ini bukan merupakan suatu tindakan yang melanggar azas demokrasi ataupun antipati terhadap politik di Indonesia. Seharusnya dengan adanya gerakan golput ini membuat seluruh elit-elit politik lebih sadar terhadap sikap politik masyarakat hari ini. Bahwa perubahan harus segera dilakukan demi proses perpolitikan yang lebih baik kedepannya. Karena politik ataupun negara bukan punya segelintir orang saja, melainkan seluruh lapisan masyarakat ingin berperan aktif menjadi partisipasi politik di Indonesia. Oleh sebab itu dibutuhkannya gerakan progresif sebagai saluran alternatif untuk menampung kekecewaan masyarakat hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun