"Bapakmu hanya bisa berangkat subuh pulang malam untuk mencarikan dana buat sampean agar tetap bisa kuliah. Namanya sekolah ya Jer Basuki Mawa Bea, tidak ada yang gratis. Bapakmu tidak apa seperti ini, tetapi semoga sampean bisa lebih dari bapak, jadi orang yang besar. Bapak bangga padamu nak." Kata-kata itu seketika membuatku teringat dan meneteskan air mata.
Bapakku yang sudah tua, usianya yang sudah lebih dari setengah abad setiap pagi seusai sembayang shubuh berjamaah di masjid, langsung pergi ke pasar dengan gerobaknya yang ditarik di belakng motor tuanya. Siag pulang hanya sekedar mandi dan sembayang, selebihnya ia kembali lagi dan pulang malam. Hal itu ia lakukan lebih dari usiaku saat ini yang menginjak 20 tahun. Begitu juga ibuku, yang sama-sama sebagai pedagang buah di pasar.
Kuliahku di kota metropolitan kedua ibu kota, ya Surabaya. Biaya hidup lebih mahal dan semuanya pasti tidak ada yang gratis, toilet saja pasti mebayar dua ribu. Ingat benar saat itu aku, ibuku dapat omelan dari si Mbah, kali ini nenek dari garis Ibuku.
"Ti, kamu itu tak lihat kok tidak pernah pakai kalung emas atau cincin seperti MbakYu dan adikmu yang lain. Uangmu hasil jualan selama ini kemana? Makanya jangan terus biayain anakmu kuliah. Kuliah sekarang itu mahal," ungkap si Mbah pada Ibuku saat perkumpulan keluarga.
"Buat tabungan Hida Mbah, hidup di Surabaya itu juga tidak murah. Cincin dan kalung besar kapan-kapan juga bisa dibeli lain kali," ungkap ibuku sambil mata yang memerah. Aku hanyalah gadis desa yang tinggal di ujung selatan kota Tulungagung. Kesadaran pendidikan bagi perempuan saat itu masih belum diakui dan kesannya masih diremehkan.Â
Aku dari garis keterunan bapak dan ibuku, akulah pertama kali yang bisa lanjut sampai kuliah, sekalipun aku punya kakak, tap saat itu ada kendala biaya hingga kakak laki-lakiku pun akhirnya tak bisa lanjut ke jenjang kuliah. Sedangkan saudara yang lain, rata-rata seusai SMA/SMA semuanya perantau baik ke Kalimantan atau ke luar negeri sebagai TKI.
"Nak, kamu harus kuliah, sekalipun kamu perempuan karena pendidikan itu penting nak. Perempuan nantinya akan menjadi ibu menjadi madrasah untuk anak-anaknya kelak. Bapak akan mengusahakan sekuat bapak selama bapak masih hidup agar kamu tetap bisa kuliah, sampai s2 sekalipun Nak," pesan bapak untukku yang selalu aku ingat.
Harapan-harapan itu kini mulai aku ingat kembali, mereka yang menggantungkan harapan itu padaku. Mereka yang selalu menyebut namaku dalam setiap helaan nafasnya saat bercumbu dengan Tuhan demi sebuah kesuksesan diriku. Kini pantaskah aku mengeluh? Tegakah aku memutuskan harapan itu. jauh dari keluarga memanglah sulit, harus merendam rindu dalam diri. Orang tuaku dengan tata hati yang besar merelakan aku, anak perempuan satu-satunya untuk merantau mengais ilmu.Â
Tapi mereka percaya, jauh bukan penghalang, selama ada doa yang selalu mendekatkan. Bapak dan ibu adalah sosok pahlawan luar biasa yang selalu menerangi langkahku, hidupku bak mentari  yang menyinari tanpa jemu pada setiap makhluk hambaNya sampai sela-sela terkecil pun. Pahlawan tangguh yang akan mengusahakan berbagai cara apapun untuk anaknya. Jauh dari anak sangatlah sulit, namun mereka relakan sepenuh hati demi buah hantinya mencari ridha Illahi.
Tak pantas rasanya diri ini mengeluh, mengeluhkan akan segala keletihan tubuh ini dari segala aktivitas ini. kepenatan jiwa ini tak sbanding dengan perjuangan mereka yang dilakukan untuk mengantarkan diri ini menggapai bintangku. Mereka telah mengorbankan banyak hal, waktu, tenaga, materi, untuk membantuku membangun tangga impian.Â
Mereka tidak hanya sekedar pahlawan, tetapi malaikatku. Mereka telah membangunkanku tanga impian dengan pondasi yang luar biasa, dalam setiap tingkatan tangganya selalu ada doa yang dipanjatkan untukku. Selalu aku ingat, "Ridhanya Allah, terletak pada ridhanya kedua orang tua" kata sederhana tetapi memiliki makna dan kekuatan luar biasa. Bulan memang indah, tetapi tetap belajarlah seperti mentari yang terus menyinari tanpa mengeluh.