"Kur, kur, kur....!!!!!" Suara nenekku yang sedang memanggil segerombolan ayamnya di teras rumah. Para kawula ayam siap menyantap makanan terlezat, jenang bekatul bagaikan makanan pizza di restoran bintang lima. Dengan lahap merek menyantap, sesekali senggolan, dan berebutan dengan kawan sebelahnya. Nenekku sambil duduk-duduk di atas kursi panjang dari kayu, dengan sewek coklatnya dan baju setengah kebayak berwarna abu-abu.
"Wah, ayamnya si Mbah rek buanyaknya," sapaku pada si Mbah dari jauh, sambil membawakan satu set kotak makanan, untuk makan malam si Mbah.
"Kamu mau ta Da? Kalau mau bawa saja satu atau dua ayam untuk dipelihara bapakmu," jawab si Mbah dengan wajahnya yang datar, seolah memikirkan sesuatu. "Ibumu sore ini masak apa?" mulai menengok kotak makanan yang aku bawa.
"Tidak usah Mbah, ayam inikan teman jenengan, kalau aku bawa jenengan tidak ada temennya donk?" jawabku sambil mengajak gurau si Mbah yang tinggal seorang diri. "Masak sayur sop sama goreng ayam Mbah."
"Ya sudah Da, Mbah tinggal cuci tangan dulu. Kamu masuk saja, Mbah tadi buat pisang goreng kesukaanmu." Jawab si Mbah dan meninggalkanku yang masih duduk-duduk di teras rumah.
Si mbah ini adalah ibunya bapak, rumahnya kebetulan satu desa denganku yang berjarak  1 km. Setiap pagi dan sore aku selalu mengirimkan bekal makanan untuk si Mbah untuk sarapan, makan, dan makam malam si Mbah. Kebetulan Mbahku tinggal seorang diri, ia tidak mau diajak bapak untuk tinggal bersama dengan keluarga kami atau diajak dengan empat anaknya yang lain. Aku pun segera masuk ke rumah, membawa kotak makanan ini ke dapur, menatanya untuk si Mbah makan. Seusainya, aku pun ke ruang tamu berlanjut menyalakan TV, untuk hiburan  sesaat.
"Mbah, aku minta doanya ya, moga cucumu ini besok lulus tesnya dan bisa kuliah," ungkapku pada si Mbah yang juga duduk di sebelahku di atas kursi rotan tua.
"Mau sekolah lagi Da? Apa tidak cukup kamu sekolah di kota?" dengan suara si Mbah yang mulai naik. "Da, kamu itu perempuan nantinya juga bakalan di dapur, masak dan merwat anak. Tidak usah sekolah lagi, sekolah itu juga mahal. Mending kamu lanjutkan usaha orang tuamu saja, jualan. Sudah jelasnya bakalan pegang uang."
"Hmmmmm, Mbah aku pulang dulu ya sudah mau magrib juga. Makanannya sudah aku siapkan di dapur." Seketika aku mengalihkan pembicaraan. Otak dan hatiku diam. Ingin rasanya aku memberontak terhadap apa yang disampaikan si Mbahku saat itu. Hati ini terus bergeming tidak terima dan jengkel karena kuliah adalah keinginku sudah sejak lama,
"Ya sudah, hati-hati. Kamu tidak bawa pisang goreng Da? Bawalah untuk bapak dan ibumu di rumah." Ungkap si Mbah tanpa salah dan dosa.
"Iya Mbah."