Pernahkah anda merasa jatuh cinta pada seorang yang terkenal? baik itu tokoh agama, tokoh politik, maupun selebritis yang anda ditemui di media sosial, atau pernahkah anda merasa fanatik dengan seorang infuencer yang anda ikuti di media sosial?. Jika anda pernah merasakan hal hal tersebut anda telah mengalami sebuah interaksi tatap maya semu yang dinamakan interaksi para-sosial.
      Istilah Interaksi para-sosial sendiri ditemukan pertama kali pada tahun 1956 oleh Donal Horton dan Richard Wohl. Mereka berdua menulis sebuah artikel yang berjudul "Mass Comunication and Para-Social Interaction". Artikel tersebut bercerita tentang bagaimana seseorang terlibat sebuah interaksi tatap maya yang semu didalam media masa. Seiring berkembangnya jaman Interaksi Para-social tidak hilang namun berkembang. Menurut Aristoteles dalam sebuah artikel dirinya mengatakan bahwa manusia merupakan mahkluk sosial politik yang selalu mengharapkan adanya timbal balik dari lingkungan sosial sebagai sebuah dampak dari interaksi yang dilakukannya. Sehingga seiring berkembangnya jaman interaksi yang dahulunya hanya bisa dilakukan dengan melihat televisi, maupun radio saat ini berkembang menjadi interaksi tatap maya yang dapat diakses kapanpun dan dimanapun menggunakan media sosial, sehingga interaksi para-sosial bukannya hilang namun terus berkembang .
      Beberapa riset dalam ranah perilaku konsumen, psikologi bahkan telah membuktikan bahwa Interaksi para-sosial dapat mempengaruhi kepercayaan dan penilaian diri seseorang atau sederhananya, interaksi para-sosial tersebut dapat mempengaruhi perilaku dari seorang individu yang berinteraksi tatap maya di dalam media sosial. Manfaatnya adalah sebuah informasi akan lebih mudah dikomunikasikan serta memanfaatkan interaksi para-sosial sebagai strategi pemasaran sebuah produk, menggunakan efek interaksi para-sosial yang ada.
      Lantas apa bahaya yang di hadapi oleh manusia di era gempuran informasi yang sangat luas dan tak terbatas seperti saat ini?. Kemunculan berita bohong, serta bahaya adiksi media sosial akan terus menghantui pengguna media sosial karena sejatinya manusia selalu akan mencari jatidirinya berdasarkan karakter yang dimiliki. Menurut beberapa riset yang dilakukan diranah psikologi, maupun perilaku konsumen adiksi media sosial akibat seseorang merasa fanatik, dan jatuh cinta terhadap seseorang di media sosial akan berdampak pada kecemasan yang berlebihan. Kecemasan inilah yang membuat seseorang tak dapat mengkontrol perilakunya hinga muncul perilaku meniru influencer maupun tokoh idolanya, dengan cara yang salah. Misal memberikan ujaran kebencian, munculnya perilaku konsumtif dan banyak perilaku menyimpang lainnya akibat dirinya meniru apa yang dilihatnya di media sosial.
Source:
Horton, D., & Richard Wohl, R. (1956). Mass Communication and Para-Social Interaction. Psychiatry, 19(3), 215–229. https://doi.org/10.1080/00332747.1956.11023049
Vallor, Shannon (2012). Flourishing on facebook: virtue friendship & new social media. Journal Ethnic and Technology (Vol. 14. pp. 185-199). https: DOI 10.1007/s10676-010-9262-2
Kim, M., & Kim, J. (2020). How does a celebrity make fans happy? Interaction between celebrities and fans in the social media context. Computers in Human Behavior, 111. https://doi.org/10.1016/j.chb.2020.106419
Sujarwoto., Saputri, Rindy, A,M., Yummarni, Tri (2021). Social Media Addiction and Mental Health Among University Students During the COVID-19 Pandemic in Indonesia. International Journal of Mental Health and Addiction, pp 96–110
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H