Mohon tunggu...
Muhammad Afiffudin Anshori
Muhammad Afiffudin Anshori Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis maka aku ada

(Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda) -Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Bulan Bintang DKI Jakarta -KNPI DKI Jakarta (Organisasi Mahasiswa) -HMI -LKBHMI (TOKOH) -M. NATSIR -BUYA HAMKA -AGUS SALIM

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MUI dan Ulama' Menuduh Sesat, Begini Penjelasan HAMKA

3 Juli 2023   14:45 Diperbarui: 3 Juli 2023   16:55 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
putrahermanto.wordpress.com

Ulama' yang tergabung dalam Lembaga Ulama' saat ini seakan telah melupakan makna dan hakikat Ulama' itu sendiri. MUI sendiri kerapkali diduga bertindak melampaui batas bahkan cenderung menjadi lembaga penegak hukum. Teramat banyak fatwa sesat terhadap suatu kelompok masyarakat sekalipun tanpa adanya proses pengadilan. Fatwa sesat yang dikeluarkan oleh MUI teramat sering digunakan landasan oleh masyarakat untuk menuduhkan bahkan menghakimi kelompok yang difatwakan sesat. Bahkan saat ini MUI kembali didesak oleh masyarakat untuk mengeluarkan fatwa sesat terhadap Saudara Panji Gumilang dan Pondok Pesantren Al-Zaytun.

Ulama' Nusantara dan Kharismatik yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) telah lama mengingatkan hal ini didalam karyanya. Hamka menjelaskan kembali apa hakikat sejati daripada ulama', tak lupa bahkan Hamka menceritakan bagaimana rusaknya agama terdahulu sebelum Islam hadir. Marilah kita melihat Qs. At-Taubah : 31 disandingkan dengan tafsir Al-Azhar.

اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ  لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (Qs. At-Taubah : 31)

Suatu ketika tatkala Rasulullah membaca ayat ini, datanglah seorang nasrani 'Adi bin Hathim menemui rasulullah, 'Adi bin Hathim menyanggah "Tidaklah pernah kami menuhankan mereka", Rasulullah pun menjawab "Memang, bahkan Pendeta-Pendeta mengharamkan apa yang Allah halalkan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan namun kalian ikuti saja itulah yang dinamakan kalian mengibadati mereka".

Nasrani menuhankan pendeta yang sampai diibadati sebagai mengibadati Allah, memang tidak ada. Tetapi mereka telah menerima apa yang telah diatur dan disusun oleh pendeta-pendeta itu sebagai perintah yang luhur dan kudus, sekali-kali tidak boleh dibantah, sehingga samalah perintah itu dengan perintah Tuhan sendiri. Sesuatu yang mereka katakan haram, meskipun halal kata Allah, maka yang dikatakan oleh pendeta itulah yang benar. Demikian juga yang haram kata Allah, kalau pendeta mengatakan halal, menjadi halallah dia.[1]  

Penyakit yang dialami oleh Yahudi dan Nasrani menjalar terhadap ummat Islam itu sendiri. Pada saat ini ummat Islam yang ingin mencoba mentafsirkan Kitab Suci nya di persulit bahkan tidak dibolehkan jika tidak memiliki ilmunya. Bahkan lebih dari itu dibuatlah suatu aturan-aturan untuk dapat menafsirkan, padahal jauh daripada itu tidak pernah aturan demikian di perintahkan oleh Allah dan Rasulnya. Sebagaimana pengingat dari Rasulullah, bahwa kelakuan orang Yahudi dan Nasrani sedikit demi sedikit akan engkau ikuti.

Pengingat ini menjadi kenyataan, bahkan yang mengikuti terlebih dahulu adalah golongan orang yang dipanggil 'alim dan ulama'. Perlu dipertegas bahwa ulama' menurut Hamka adalah ialah orang berilmu. "Hanya tradisi buatan manusia yang mempersempit daerah itu. Sekali-kali tidaklah ada agama memberikan hak kepada seorang ulama buat memaksa orang banyak supaya tunduk saja kepada yang beliau tentukan".[2] Bahkan ulama' pada masa kejayaan Islam tidak pernah berani menghukumi halal ataupun haram pada sesuatu yang bersandarkan pada dalil Zhanni. 

Sejatinya penentuan halal ataupun haram adalah hak mutlak Allah Swt. Adapun selain itu yang tidak ada Nashnya yang shorih, termasuklah dia ke dalam masalah ijtihadiyah, masalah Fiqh dan pemikiran Ulama, yang kadang-kadang tepat mencatat kebenaran atau mendekatinya, dan kadang-kadang terdapat kekhilafan.[3] 

Hamka kembali menegaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun