Apatah lagi orang yang datang di belakang, yang karena telah dipanggilkan orang bahwa dia orang'Alim, ahli agama, berani-berani saja membuat hukum Wajib atau Haram, pada perkara yang tidak ada Nashnya dari al-Quran atau Hadis yang shahih, yang hanya timbul dari pertimbangannya sendiri, yang tidak ma'shum daripada salah, maka orang itu telah mulai membelokkan kedudukan Ulama Islam ke dalam kependetaan cara Nasrani, dan telah menutup pintu bagi orang lain yang diberi Allah kepadanya kesempatan buat turut memikirkan agama, sehingga mereka beragama dengan sadar.[4]
Pernyataan Hamka demikian dapat kita ambil berbagai kesimpulan diantaranya :
- Pertama, bahwa Islam tidak pernah mengenal istilah kependetaan ataupun sejenisnya, yang memiliki hak penuh atas agama Islam, bahkan ia ditunggu-tunggu untuk mengeluarkan fatwa. Tegas Hamka kembali "Golongan yang disebut ulama, tidaklah diberi hak menguasai agama. Tidak ada satu kasta yang semata-mata hanya mengurus agama dan orang banyak menunggu keputusan dari beliau".[5]
- Kedua, ulama' atau ahli agama dalam Islam hanyalah suatu kelebihan dan tidak lebih dari itu, sudah jelas diatas bahwa arti ulama' adalah orang berilmu. Adapun hadits nabi yang menyatakan bahwa "Ulama' adalah pewaris nabi", bukan berarti ia mewarisi hak sebagaimana nabi yang mampu mengeluarkan hukum halal haram, ataupun sesat tidak menyesatkan. Jika hadits "Ulama' adalah pewaris nabi" dipertahankan sedemikian rupa hingga mengakibatkan golongan tertentu yang dapat menguasai agama, sejatinya ia telah keluar dari hadits nabi dan berpindah makna menjadi "Ulama' adalah pewaris kependetaan Yahudi dan Nasrani". Hal ini dikarenakan mereka telah mengambil hak Allah dan Rasulnya dalam menentukan suatu hukum.
- Ketiga, Islam adalah agama akal hingga kiranya tidak diperkenankan dalam Islam seorang Ulama' mengebiri akal manusia. Manusia harus beragama dengan kesadaran bukan dengan paksaan. Tegas Hamka lebih lagi "Hakikat ahli agama didalam Islam ialah ahli pikir itu. Tidaklah pernah Islam menyuruh mengadakan suatu panitia untuk menyiasati kalau-kalau ada pikiran baru yang berbeda dengan pikiran kaum agama".[6] Â
Â
Berdasarkan pernyataan demikian, sudah sepatutnya Ummat Islam kembali pada hakikat Islam itu sendiri. Dan sudah sepantasnya seorang Ulama' insyaf bahwa dirinya tidaklah ma'shum daripada segala dosa sehingga dia tiada hak mengeluarkan fatwa halal haram pada sesuatu yang tiada dalil shahihnya dan qath'i. Adapun menyikapi perbedaan dalam pandangan, sudah seharusnya seorang Ulama' terlebih lagi yang tergabung dalam Majelis Ulama' ataupun perkumpulan Ulama' tidak melakukan siasat ataupun penyelidikan dengan tujuan memberantas pandangan yang berbeda dari mereka. Karena Islam sendiri tiada pernah memerintahkan hal itu. Perlu dipertegas ISLAM BUKAN AGAMA KEPENDETAAN ATAUPUN ULAMA' TAPI ISLAM ADALAH AGAMA BAGI SEMUANYA, hingga maktublah pernyataan "Islam Rahmatun lil 'Alamin".
---------------------------
[1] Hamka, Tafsir al-Azhar, (Singapura : Pustaka Nasional PTE LTD, 2003), hal. 2927
[2] Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, (Jakarta : Gema Insani, 2018), hal. 155
[3] Hamka, Tafsir al-Azhar, hal. 2933
[4] Hamka, Tafsir al-Azhar, hal. 2934
[5] Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.155
[6] Hamka, Islam Revolusi dan Ideologi, hal.157