Mohon tunggu...
Afif Fuad Saidi
Afif Fuad Saidi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, pegiat sosial media

Menulislah, seberapa keras suaramu untuk berteriak?

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi dan Harga Mati Ideologi

30 Mei 2019   01:36 Diperbarui: 30 Mei 2019   02:25 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita mulai dari memberikan selamat kepada Jokowi yang telah diberikan kepercayaan rakyat Indonesia untuk memimpin Indoneisa lima tahun mendatang, meskipun belum diumumkan oleh KPU dan masih ada gugatan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi, jarak 15 juta sekian suara itu akan sangat sulit untuk merubah keadaan.

Bagi Jokowi, ini adalah kali kedua memimpin bangsa ini, artinya, setelah ini, 2024 dia sudah tidak bisa mencalonkan lagi. Kenapa ini dibahas, ini penting karena Jokowi akan mengabdikan dirinya tanpa ada beban politik yang akan menjadi pertimbangan elektoral kedepannya, seperti yang ia lakukan pada periode pertama, segala apa yang menjadi keputusannya, salah satu pertimbangannya, suka tidak suka adalah soal dirinya masih harus mencalonkan lagi dan dipilih kembali.

Seperti apa yang ia katakan, saya tidak bisa mencalonkan lagi 2024 mendatang, maka saya akan bekerja Nothing to lose, saya akan semaksimal mungkin untuk bekerja bagi negeri ini. Ini pernyataan penting dan angin segar bagi kita semua, bahwa sudah ada aba-aba untuk tancap gas menyelesaikan persoalan bangsa.

Lantas apa sebenarnya persoalan bangsa yang paling mendasar? Apakah infrastruktur? Pemeretaan ekonomi? Atau yang lainnya? Kali ini saya akan membingkai satu persoalan bangsa yang cukup memprihatinkan, apa itu? Soal Ideologi, soal dasar dari bagaimana kita berbangsa dan bernegara. Karena yang dihadapi adalah Infiltrasi terhadap ideologi bangsa yang menggunakan terma agama. Pancasila sebagai sebuah ideologi yang kemudian dibenturkan dengan nilai dan semangat beragama, Islam khususnya. Mari kita sebut bersama, adalah Khilafah Islamiyah ala Hizb Tahrir Indonesia.

HTI kenapa masih dibahas? Kan sudah dibubarkan? Sudah habis! Mari lupakan sejenak narasi konyol yang demikian. Ini tentang ideologi, organisasi boleh bubar, namun siapa yang bisa memenjarakan Ideologi yang berakar kokoh menjadi sebuah sikap pikir, apalagi ditunjang dengan "Sebagai organisasi Transnasional" yang artinya organisasi ini bukan bersifat lokal kenegeraan, namun ini adalah organisasi lintas negara, sesuai dengan cita-cita utopisnya, menghilangkan negara bangsa dan menggantinya dengan Khilafah Islamiyah yang menyatukan dunia.

Tak usah ada perdebatan kembali soal apakah Khilafah ala HTI merupakan perintah tuhan atau bukan, sesuai dengan Pancasila atau tidak, Toh HTI tidak bisa membuktikannya dalam sidang PTUN, soal urusan perintah tuhan, abaikan dalil-dalil mereka yang mencomot serampangan hukum yuridis Islam, sederhananya, jika ini perintah tuhan, Ulama-ulama NU dan Muhammadiyah dahulu sudah memperjuangkannya di Indoneisa, kenapa tidak? Ya karena bukan perintah Agama. Selesai pembasan.

Yang perlu kita bahas saat ini adalah, bagaimana HTI menggerogoti bangsa ini dengan segala cara, hal yang perlu diingat adalah, HTI lahir di Kampus, artinya, semaian kader mereka adalah orang-orang dengan latar belakang akademis yang mumpuni, tak usah heran jika di BUMN-BUMN kita, banyak orang-orang mereka, kembali lagi bahwa kader mereka adalah orang-orang yang secara akademis siap untuk berada disana. Tak usah menggunakan peneletian mendalam untuk mengetahuinya, bagiaman pengajian di Masjid-masjid BUMN diisi oleh pentolan-pentolan HTI adalah instrumen dasar bagaiama HTI mendapatkan tempat terhormat di lembaga milik negara.

Akan menjadi sebuah anomali, para aparatur sipil negara jika kemudian menerima dengan terbuka para pengasong Ideologi yang justru akan merongrong Ideologi negara, masalahnya adalah HTI membawa agama dalam tujuan piciknya, seolah ini adalah persoalan Islam yang belum selesai dan harus diperjuangkan di Indonesia, bahwa kemudian Pancasila, sistem demokrasi yang ada adalah salah dan harus diganti. Yang dibenturkan adalah Pancasila dan Islam itu sendiri.

Apalagi kemarin, HTI kemana arah pilihan politiknya? Toh walaupun mereka tidak mengakui sistem demokrasi yang ada, masih ingat betul kita, saat Ismail Yusanto dan Felix Siaw dengan jumawa berkata "Ganti Presiden, ganti Sistem". Dari sana kita bisa melihat kemana arah dukungan politiknya. Dan ada hubungannya atau tidak, hal ini perlu kajian yang mendalam, perkataan Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko yang mengtakan bahwa sebanyak 78% karyawan BUMN dan 72% ASN memilih Prabowo, apakah kemudian ada hubungan yang signifikan antara Infiltrasi Ideologi yang bersangkut dengan politik Pilpres dengan pilihan dukungan pada salah satu calon Presiden ini sekali lagi perlu kajian yang mendalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun