Mohon tunggu...
afifatur rohmah
afifatur rohmah Mohon Tunggu... -

pptq Nurul Furqon wepas malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang Itu

16 Mei 2015   00:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:00 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Argh......”. Aku menggigit ujung bibirku, menahan suaraku agar tidak berteriak. Tetesan darah keluar dari telapak kakiku. Oh, tidak. Aku menginjak paku yang terletek begitu saja di lantai. Dengan masih menggigit ujung bibir, aku mencabut paku itu. Sakit. Kulempar paku itu tepat didepan pintu berharap orang itu menginjaknya. Aku mengedarkan pandanganku kesekeliling ruangan. Beberapa bangku dan meja yang tersusun tak beraturan. Jendela-jendela dengan pemandangan atap-atap gedung bangunan, langit kelabu, dan bias mega kemerahan.Sudah sore, batinku. Di ujung ruangan ada pintu. Sebenaranya, aku sendiri ragu menyebutnya pintu, karena pintunya sendiri sudah tidak ada. Ah, Sekarang aku ingat, gedung ini adalah gedung sekolahku dulu yang terbakar. Lalu bagaimana bisa aku ada disini?

Aku melangkah mendekati pintu ketika suara adzan maghrib mulai terdengar saling bersautan. Matahari pun mulai tenggelam, meninggalkan jejak mega merahnya. Beberapa menit lagi semua benar-benar akan menjadi gelap, tak ada lagi penerangan. Aku harus benar-benar keluar dari tempat ini, sebelum hal itu terjadi. Ku seret kaki kananku, darah masih terus mengucur dan tanpa ku sadari aku mengeluarkan suara rintihan. Bohong, kalau aku mengatakan ini tidak sakit. Ku robek, ujung kerudungku dan ujung rambutku mulai terlihat. Oh Tuhan, ampuni aku. Sepertinya, lilitan yang ku buat pada telapak kakiku sedikit membantu.  Aku mulai bangkit dan berjalan lagi, bahkan berusaha untuk berlari. Aku takut orang itu menyadari aku telah kabur setelah ia bangun.

Tok tok tok. Sayup-sayup aku mendengar suara palu, ya aku yakin itu suara palu. Di sela – sela nafasku, aku tersenyum. Mungkin, masih ada orang disini yang masih bisa menolongku. ku langkahkan kaki mencari asal suara itu. Ku turuni anak tangga satu persatu, dan menuju ruangan yang kuyakini tempat suara palu tadi berasal. Belum sempat aku memasukinya, aku mendengar suara orang itu.

“Dia menghilang.” Ujarnya pada lawan bicaranya. Sial. Mereka sekongkol. Oh Tuhan, tidakkah Engkau izinkan aku untuk bertemu seseorang yang akan menolongku. Aku segera berbalik menjauhi ruangan itu ketika aku mendengar samar suara lainnya.

“Heh.” Sepertinya ia menyeringai dan tersenyum remeh. “Bocah itu tidak akan bisa keluar dari tempat ini.” Lanjutnya. Dan aku tidak tahu lagi apa yang dikatakannya setelah itu. Aku tidak tahu apa yang mereka inginkan dariku bahkan tidak mau tahu. Untuk saat ini, keluar dari tempat sial ini lebih penting untukku. Tujuh tahun tidak cukup untuk membuatku lupa seluk beluk bagunan sekolah ini.

Segera aku menuju pintu utama gedung ini. Sebentar lagi. Pintu utama sudah berada didepanku. Aku tersenyum sebelum rautku kemudian berubah. Keningku berkerut, alis mataku bertautan dan mataku menyipit. Memfokuskan pandangan yang terlihat kabur karena mataku yang minus. Orang itu tepat di hadapanku. Aku segera berbalik dan berlari. Entah kenapa tiba-tiba aku bisa berlari dengan keaadaan luka yang cukup dalam dikakiku. Mungkin benar, sugesti alam bawah sadar bisa mengalahkan alam sadar manusia.

Sesekali aku menoleh kebelakang memastikan apakah orang itu ada atau tidak. Tiba-tiba aku menangis, hal yang sangat sulit kulakukan. Aku mulai memikirkan bagaimana aku bisa berada disini. Ingatanku hanya sampai kepada diriku yang ketika itu tengah menuju supermarket di perempatan jalan, dan tiba-tiba ada seseorang yang menarikku kedalam lamborgini. Kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi. Benar-benar seperti drama di TV. Karena, seharusnya aku tidak berada disini saat ini. Seharusnya aku berada di rumah mengenakan kebaya putih yang baru saja kubeli di butik langganan Tante Silvi kemarin. Seharusnya sudah ada emas putih di jari manisku. Seharusnya aku tersenyum bahagia dengan duduk tersipu malu di balik tirai rumahku setelah mengaggukkan kepala. Oh, benar-benar terlalu banyak seharusnya. Karena memang seharusnya aku bahagia hari ini.

“Argh.” Rintihanku kali ini lebih keras. kakiku yang luka terantuk ujung kaki meja ketika aku akan bersembunyi di ruangan ini. Ruang yang selalu aku kunjungi ketika istirahat. Ruang teater. Aku terduduk bersembunyi di balik tirai besar. Aku juga tidak sempat memikirkan kenapa tirai ini tidak ikut terbakar.

Srek srek. Dia mendekat. Aku benar-benar menahan nafasku. Dan lagi-lagi menggigit bibirku dengan alasan yang sama. Sepertinya tidak cukup, aku membungkam mulutuku dengan kedua tanganku. Aku berdzikir dalam hati berharap keajaiban datang. Waallahu al-musta’aanu. Sesaat kemudian, srek. Bagus. Tirainya terbuka dan aku hanya bisa mendongak menatap lekat wajahnya. Satu, dua, tiga, empat, lima. Aku ingat siapa dia. Dia bukan orang itu. Dia orang yang memukulkan palu tadi.

Aku mulai bertanya-tanya pada diriku sendiri. Benar. Aku bahkan tidak bisa mengucapkan barang sepatah katapun. Pertanyaan pertama untuk apa dia membawa palu? Memperbaiki meja di bangunan yang sudah tua kah? Tidak mungkin. Atau untuk memalu diriku? Dia mengangguk “benar” jawabnya dengan dan seringaian penuh kemenangan. Bisakah dia membaca pikiranku? Keningku berkerut. Terkejut.

Asyhadu An Laa illaha Illallah. Aku bersyahadat dalam hati dan beristighfar berkali-kali sementara ia semakin mendekat dan menatapku lekat seakan ingin memakanku. Kini, aku benar-benar ingat siapa dia. Bukan. Bukan dia sebagai orang orang yang memukulkan palu. Pantas saja dia tahu tempat persembunyianku.“Maaf.” Ternyata itu kata yang terakhir aku lontarkan sebelum dia benar-benar memukulkan palu tepat di pangkal kepalaku. Dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelah aku tahu bahwa aku tidak pernah melupankannya.  Ya, aku tidak mungkin melupakanya yang masih dengan rambutnya yang tetap klimis karena dia adalah orang itu.Ya Allah, ampuni aku.

Selesai. Cerpen 1
please, leave coment!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun