Berbicara mengenai kopi memang tidak ada habisnya. Kalau jaman dulu budaya ngopi identik dengan bapak-bapak atau mbah-mbah, sekarang ngopi tidak mengenal usia, bahkan menjadi tren anak muda.
Secangkir kopi yang tersaji, yang menurut anak muda instagramable, ternyata telah melalui serangkaian proses yang sangat panjang. Mulai dari pemilihan bibit kopi yang baik, penanaman, perawatan, pemanenan, hingga pengolahan pasca panen sampai tersaji diatas cangkir. Sehingga apabila kita maknai, secangkir kopi yang kita minum mengandung sumbangsih dan ladang rezeki bagi petani, pengepul, barista dan banyak orang yang terlibat di dalamnya.
Proses panjang tersebut juga dilakukan oleh "Wonosantri", perkumpulan petani kopi yang terletak di Desa Toyomarto, Singosari. Perkumpulan yang diprakarsai oleh Gus Ulum ini bertujuan untuk membentuk pertanian kopi dengan prinsip konservasi lingkungan dan pemberdayaan petani lokal.
Ide awal terbentuknya "Wonosantri" pun sangat unik, berawal dari hobi ngetrail yang dimiliki Gus Ulum. Merasa penat dengan kehidupan perkotaan, beliau ngetrail ke lereng Gunung Arjuno yang berjarak 40 menit-an dari rumahnya.
Sepanjang mata memandang terlihat hamparan agroforestri kopi (sebutan perpaduan pohon tahunan diselingi kopi atau tanaman semusim) sampai hutan konservasi, yang membuat hati beliau terasa tentram. Yah, mungkin ada benarnya ungkapan "Untuk mencintai sesuatu terkadang tidak perlu alasan". Itulah yang menjadi awal mulanya Gus Ulum terjun ke dunia pertanian dan sangat mencintai kopi.
Selama perjalanan menjadi petani kopi, Gus Ulum menyaksikan sisi lain yang dialami petani. Mendapati kenyataan di lapang, yang masih menjadi benang kusut sistem pertanian di Indonesia, tak terkecuali petani hutan, membuat Gus Ulum berpikir ulang.
"Kalau saya hanya memikirkan keuntungan pribadi, tanpa mengindahkan prinsip konservasi lingkungan, kebagian apa anak cucu kita kedepan?"
 "Kalau semua sumberdaya alam kita habiskan (budidaya tanpa prinsip keberlanjutan) akan mendapatkan air darimana anak cucu kita?"
Hal tersebut yang membuat hati Gus Ulum tergerak untuk melakukan perubahan.
Sebenarnya masih banyak fakta-fakta miris yang beliau temui di lapang, yang dalam hal ini saya juga menyaksikan sendiri karena pernah mempelajarinya di bangku kuliah. Hampir setiap pagi menjelang fajar petani berangkat ke kebun kopi.
Medan yang dilalui pun bukan main susahnya karena terletak di lereng Gunung Arjuno. Petani yang bekerja mayoritas sudah sepuh yang seharusnya bersantai menikmati masa senja dengan cucu-cucunya di rumah. Kenyataannya sebaliknya, mereka tetap bekerja keras.
Salah satu permasalahan yang tak kalah penting yaitu terkait status lahan. Masih ingat kasus Nenek Asyani tahun 2015 silam? Perempuan berusia 63 tahun tersebut dituduh mencuri dua batang kayu jati milik perhutani di Situbondo, Jawa Timur. Namun Nenek Asyani berdalih bahwa kayu tersebut berasal dari lahan almarhum suaminya sendiri.
Akibat masih melemahnya hukum, beliau divonis hukuman satu tahun penjara. Tentunya hal tersebut sangat disayangkan dan bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila yaitu "keadilan sosial".
Ternyata kasus seperti Nenek Asyani bukan pertama kalinya terjadi. Sudah banyak kasus serupa yang telah terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali. Konflik semacam ini sangat penting untuk diselesaikan dan jika tidak diantisipasi akan menjadi "api dalam sekam" yang akan semakin merembet menjadi besar.
Mengantisipasi terjadinya persoalan-persoalan yang telah disebutkan diatas, Gus Ulum bersama dengan petani yang tergabung dalam Wonosantri membuat konsep perencanaan pertanian kopi "hulu hilir". Yaitu perencanaan mulai dari budidaya kopi hingga pengolahan pasca panen dan pemasaran. Selain itu proses legalitas lahan telah beliau upayakan dengan pengajuan ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk meminimalisir terjadinya konflik lahan antara petani dengan perhutani.
Dengan adanya perkumpulan petani hutan seperti Wonosantri juga memiliki banyak keuntungan yang harapannya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Wadah ini dapat menjadi alat untuk menyamakan pemahaman petani terkait konsep pertanian konservasi yang diusung oleh Gus Ulum.Â
Pada sistem hilir, pengolahan pasca panen menjadi peranan penting dalam membentuk cita rasa kopi yang berkualitas. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kopi yang dihasilkan Wonosantri mampu menembus Cafe Amstirdam di Malang dengan label "Kopi Lemar". Tentunya hal ini menjadi pemahaman baru bagi petani bahwa pengolahan biji kopi yang baik memberikan nilai jual yang lebih tinggi.
Beberapa upaya telah diusahakan oleh Wonosantri meskipun dalam prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi kalau diibaratkan, Wonosantri masih dalam tahap "babat alas" yaitu proses awal perjuangan yang tentunya ladang perjuangannya masih panjang.Â
Harapannya semoga persoalan-persoalan yang dihadapi petani sedikit demi sedikit dapat terurai dan semakin banyak pegiat-pegiat yang terjun ke bidang tersebut.
Terakhir, mengutip pernyataan Tauchid dalam buku "Masalah Agraria" yaitu
"Tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan."
Maka dalam penguasaan tanah harus tetap memperhatikan prinsip konservasi lingkungan sehingga dapat memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan.
Malang, 16 Januari 2021
Afifatul Khoirunnisak
Tulisan serupa juga akan ditayangkan di jatimsatunews.online
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H