Medan yang dilalui pun bukan main susahnya karena terletak di lereng Gunung Arjuno. Petani yang bekerja mayoritas sudah sepuh yang seharusnya bersantai menikmati masa senja dengan cucu-cucunya di rumah. Kenyataannya sebaliknya, mereka tetap bekerja keras.
Salah satu permasalahan yang tak kalah penting yaitu terkait status lahan. Masih ingat kasus Nenek Asyani tahun 2015 silam? Perempuan berusia 63 tahun tersebut dituduh mencuri dua batang kayu jati milik perhutani di Situbondo, Jawa Timur. Namun Nenek Asyani berdalih bahwa kayu tersebut berasal dari lahan almarhum suaminya sendiri.
Akibat masih melemahnya hukum, beliau divonis hukuman satu tahun penjara. Tentunya hal tersebut sangat disayangkan dan bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan nilai-nilai Pancasila yaitu "keadilan sosial".
Ternyata kasus seperti Nenek Asyani bukan pertama kalinya terjadi. Sudah banyak kasus serupa yang telah terjadi dan tidak menutup kemungkinan akan terulang kembali. Konflik semacam ini sangat penting untuk diselesaikan dan jika tidak diantisipasi akan menjadi "api dalam sekam" yang akan semakin merembet menjadi besar.
Mengantisipasi terjadinya persoalan-persoalan yang telah disebutkan diatas, Gus Ulum bersama dengan petani yang tergabung dalam Wonosantri membuat konsep perencanaan pertanian kopi "hulu hilir". Yaitu perencanaan mulai dari budidaya kopi hingga pengolahan pasca panen dan pemasaran. Selain itu proses legalitas lahan telah beliau upayakan dengan pengajuan ke KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk meminimalisir terjadinya konflik lahan antara petani dengan perhutani.
Dengan adanya perkumpulan petani hutan seperti Wonosantri juga memiliki banyak keuntungan yang harapannya dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Wadah ini dapat menjadi alat untuk menyamakan pemahaman petani terkait konsep pertanian konservasi yang diusung oleh Gus Ulum.Â
Pada sistem hilir, pengolahan pasca panen menjadi peranan penting dalam membentuk cita rasa kopi yang berkualitas. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kopi yang dihasilkan Wonosantri mampu menembus Cafe Amstirdam di Malang dengan label "Kopi Lemar". Tentunya hal ini menjadi pemahaman baru bagi petani bahwa pengolahan biji kopi yang baik memberikan nilai jual yang lebih tinggi.
Beberapa upaya telah diusahakan oleh Wonosantri meskipun dalam prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi kalau diibaratkan, Wonosantri masih dalam tahap "babat alas" yaitu proses awal perjuangan yang tentunya ladang perjuangannya masih panjang.Â
Harapannya semoga persoalan-persoalan yang dihadapi petani sedikit demi sedikit dapat terurai dan semakin banyak pegiat-pegiat yang terjun ke bidang tersebut.