Mohon tunggu...
Afifatul Khoirunnisak
Afifatul Khoirunnisak Mohon Tunggu... Petani - Sarjana Pertanian

Menikmati perjalanan hidup dengan belajar dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jawaban atas "Ke Mana Saja Sarjana Pertanian Perempuan?"

14 Januari 2021   23:43 Diperbarui: 15 Januari 2021   06:24 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jadi perempuan itu cukup di rumah, ngurusin rumah tangga. Buat apa sekolah tinggi-tinggi, toh nanti ujung-ujungnya juga di dapur".

Budaya patriarki masih banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, kedudukan perempuan dianggap lebih rendah, dan banyak hal lainnya. Begitu juga dalam sektor pembangunan, salah satunya pertanian. Masih terdapat ketimpangan pembagian kerja, ketidakjelasan status sehingga peran perempuan termarginalkan.

Menilik kembali sejarah, sebenarnya perempuan memiliki peran yang cukup besar dalam pembangunan pertanian. Seperti yang pernah ditulis oleh Suradisastra (1998), pada masyarakat tradisional perempuan umumnya memiliki status yang tinggi dan sebagai pelaksana kegiatan pertanian. 

Namun dengan berkembangnya sektor industri yang disertai peningkatan kontrol dan kekuasaan kaum pria, sumbangsih kaum perempuan semakin terabaikan dan status sosial mereka menurun. Pada umumnya perempuan diserahi pekerjaan yang kurang berstatus dan masih banyak ditemui tenaga kerja perempuan di sektor pertanian merupakan tenaga kerja keluarga yang tidak dibayar.

Fenomena yang terjadi yaitu kebanyakan petani perempuan tidak terjun ke dalam pekerjaan formal namun lebih terlibat dalam pekerjaan informal seperti menjadi buruh tani pada musim tertentu. Itupun tidak setiap musim ada, hanya pada waktu tertentu ketika membutuhkan tenaga kerja tambahan. Kegiatan yang dilakukan pun cukup beresiko mulai dari persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemupukan, perwatan hingga pemanenan. Kegiatan tersebut dilakukan secara periodik di sela-sela peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan sebagai bagian dalam anggota masyarakat. 

Tingkat pendidikan petani perempuan mayoritas hanyalah tamatan SD/SMP, meskipun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada petani pria. Disamping itu masih rendahnya akses informasi dan teknologi yang diperoleh oleh petani perempuan membuat mereka tidak memiliki kesempatan untuk pengembangan kapasitas diri. Padahal kenyataan di lapang, prosentase petani perempuan cukup tinggi. Sehingga yang terjadi yaitu tidak seimbangnya input produksi dengan output yang dihasilkan, bahkan sampai merugi.

Peningkatan kapasitas petani, khususnya petani perempuan menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya ibu rumah tangga yang terjun sebagai buruh tani karena beberapa faktor, salah satunya himpitan ekonomi. Sehingga mereka perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai.

Seiring berjalannya waktu, ternyata fenomena ketimpangan gender masih banyak dijumpai hingga saat ini. Contoh sederhananya yaitu ketika melamar pekerjaan di bidang pertanian/perkebunan. Pada beberapa hal, perempuan lulusan pertanian kalah bersaing dengan laki-laki secara gender. Sangat sedikit dibutuhkan kualifikasi perempuan, kalaupun ada kebanyakan ditempatkan di kantor.

Kala itu saya sempat bertanya kepada rekan saya, dan kita menerka-nerka jawaban. "Yah, mungkin secara fisik kan perempuan lemah. Jadi jarang dibuka posisi di lapang untuk perempuan."

Ada juga jawaban seperti ini.

"Bayangkan kalau perempuan sebagai manager lapang, secara mental sanggup nggak membawahi pekerja yang mayoritas laki-laki." 

"Resiko di lapang itu besar. Mungkin itu yang jadi pertimbangan nggak dibutuhkan tenaga perempuan."

Yah, ada benarnya meskipun nggak semuanya tepat.

Padahal dari segi pendidikan tidak terkotak-kotakkan antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan mendapatkan pendidikan yang setara, mendapatkan materi yang sama. Dalam hal ini tidak ada jaminan bahwa perempuan kurang kompeten dibandingkan laki-laki. Namun, fakta di lapang masih dikotak-kotakkan secara gender.

Apabila pada masa lampau, mayoritas petani perempuan memiliki pendidikan yang rendah sehingga kurang memiliki andil dalam pengambilan keputusan, saat ini pun tidak jauh berbeda. Kendati demikian mulai ada harapan ketika banyak perempuan lulusan pertanian - yang harapannya dapat memberikan sumbangsih dalam pertumbuhan sektor pertanian. Namun lagi-lagi dihadapkan dengan kenyataan susahnya mencari kerja di bidang pertanian atau masih sedikitnya wadah untuk lulusan pertanian.

Tidak semua mahasiswi yang mengambil jurusan pertanian mempunyai lahan sendiri yang bisa digarap ketika sudah lulus. Menciptakan sendiri lapangan pekerjaan? Tidak semua freshgraduate mempunyai keberanian untuk mengambil resiko tersebut. Akhirnya karena berbagai tuntutan hidup, banyak lulusan yang mengambil pekerjaan di luar bidang pertanian. Mungkin itu juga menjawab pertanyaan "Kemana saja sarjana perempuan pertanian?" mengingat sektor pertanian di Indonesia cukup tertinggal.

Lantas, apa yang perlu dilakukan?

Berbicara soal pertanian memang sangat kompleks. Tidak hanya bisa diselesaikan oleh satu pihak. Sebenarnya pemerintah juga telah mengeluarkan terobosan-terobosan untuk meningkatkan kualitas pertanian. Namun kurang efektif apabila tidak diimbangi dengan SDM yang memadai.

Selain itu, juga masih perlu dibenahi tentang sistem yang sudah melekat di sektor pertanian, seperti peran perempuan yang seakan termarginalkan. Harapannya juga semakin luas ruang berkespresi bagi lulusan pertanian. Sehingga setelah lulus banyak yang membantu di sektor pertanian.

Menjadi salah satu resolusi di awal tahun. Semoga persoalan-persoalan tersebut dapat teratasi dengan baik dan dapat meningkatkan kesejahteraan petani.

Malang, 14 Januari 2021

Afifatul Khoirunnisak

Tulisan ini pernah tayang di jatimsatunews.online

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun