Apakah judul yang saya buat terlihat seperti plagiasi dari film “Ada Apa Dengan Cinta?”. Ah, tidak ya.
Artikel ini cocok untuk kamu yang memiliki Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dan sedang dilanda kebingungan akibat adanya ERA DIGITALISASI. Bagaimana cara agar pemilik UMKM bisa tidur dengan tenang meski era digitalisasi menghadang?
Atau kamu juga termasuk ke dalam orang yang tidak begitu paham tentang UMKM. Kamu berada di bacaan yang tepat. Mari saya temani menuju pemahaman tentang ekonomi, UMKM, dan apa hubungan antara UMKM dengan JNE. Di tengah tulisan juga terdapat pengalaman saya sendiri, lho. Sebisa mungkin saya akan menemani kamu menggunakan bahasa yang sederhana dan minim istilah-istilah ribet. Kencangkan sabuk pengaman, mari kita let’s go!
UMKM, Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah. Usaha kecil ialah usaha dengan kegiatan ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan secara perorangan, dan memiliki kekayaan bersih 50 juta sampai 500 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sedangkan usaha mikro ialah usaha produktif milik orang perorangan atau badan usaha perorangan, dengan kekayan bersih paling banyak Rp.50 juta, atau memilki total omzet paling banyak Rp.300 juta per tahun.
Dan yang terakhir, usaha menengah, usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar.
Dengan kekayaan bersih Rp.500 juta sampai dengan Rp.10 miliar. Nah, itulah definisi singkat tentang UMKM, perbedaan mencolok antara usaha kecil, mikro, dan menengah agaknya terdapat pada kekayaan bersihnya, ya.
Lantas, bagaimana pengaruh UMKM terhadap ekonomi masyarakat Indonesia?
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah utama yang dihadapi Negara Sedang Berkembang termasuk Indonesia ialah bagaimana memanfaatkan faktor manusia yang melimpah namun kebanyakan tidak terlatih bagi pembangunannya, sehingga penduduk yang besar bukan merupakan beban pembangunan, justru menjadi modal pembangunan. Indonesia acap kali disebut sebagai negara agraris, kendati demikian, penduduk yang berada di sektor pertanian tradisional sering menghadapi masalah pengangguran terselubung.
Data juga menunjukkan bahwa produktivitas pertanian tradisional sangat rendah, hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh kurangnya pemanfaatan teknologi secara optimal.
Dan disinilah posisi UMKM. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan angin segar, pendorong perekonomian pada negara berkembang. Indonesia merupakan negara yang kegiatan perekonomiannya dijalankan oleh UMKM.
Data banyaknya jumlah perusahaan/usaha dan tenaga kerja industri mikro dan kecil menurut provinsi dalam jurnal yang ditulis oleh Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dengan judul “ANALISIS USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UMKM) TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA” menyatakan bahwa pada tahun 1996-2006 kegiatan yang berkaitan dengan UMKM berpusat di Jawa Tengah dengan 830.726 perusahaan, dan 1.892.979 tenaga kerja. Angka yang fantastis tersebut membuat Jawa Tengah menjadi sentra dari kegiatan ekonomi di Indonesia pada masa jayanya itu.
Kendati setelah melewati tahun 2006, banyak masyarakat Indonesia yang baru sadar tengah menghadapi era industri 4.0, juga bisa disebut sebagai masanya digital, sebab penggunaan teknologi internet yang kian marak pada era tersebut.
Pergerakan revolusi industri 4.0 yang menggema beberapa tahun terakhir ini pun berdampak pada berubahnya cara kerja di berbagai bidang, tak terkecuali bisnis.
Alhasil pelaku bisnis dituntut untuk ikut hanyut dalam arus tersebut dan mulai menggunakan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk menunjang kegiatan bisnis mereka.
Bagi perusahaan besar, pola perubahan pada bisnis yang mengarah pada digitalisasi ini tidak terlalu mengalami kendala dikarenakan perusahaan besar yang memiliki sumber daya cukup baik.
Namun lain hal-nya dengan UMKM, proses digitalisasi ini membutuhkan banyak persiapan serta kebingungan di dalamnya. Dulu saya juga termasuk orang yang kebingungan itu. Namun saya menyadari bahwa UMKM yang tidak bisa beradaptasi di era digitalisasi ini lambat laun akan tersingkir.
Saya akan cerita sedikit tentang pengalaman saya, eitss! Di akhir cerita nanti, saya juga memberikan tips menghadapi era digitalisasi bagi pemilik UMKM, simak terus ya!.
Ya, saya adalah sang pemilik toko Ledre di Bojonegoro desa, itupun desa yang menjorok ke dalam, udah seperti paragraf aja ya menjorok ke dalam, hehe. Desa saya memang lumayan pelosok, butuh waktu sekitar satu jam perjalanan motor dari Bojonegoro kota untuk sampai ke desa saya.
Pada tahun 2017 bisnis Ledre saya berjalan lancar-lancar saja, tidak terlalu ramai, juga tidak terlalu sepi. Namun dewasa ini, sekitar tahun 2019 awal entah kenapa saya mengalami penurunan penjualan drastis.
Hingga saya menjumpai tetangga yang main HP tapi kok membeli berbagai macam barang dan makanan dari HP-nya, tinggal klik-klik, tunggu, dan datanglah suara merdu yang ditunggu-tunggu dari pak kurir, “Pakeetttt!”.
Saat itu pak kurir memakai atribut JNE. Saya agak heran dengan pola bisnis semacam itu, saya juga heran, kok kurir dari JNE bisa sampai ke desa saya, padahal desa saya pelosok. Saya dengan bantuan tetangga pun menyusun strategi bisnis di era digitalisasi.
Dan… inilah tips digitalisasi UMKM yang sudah saya terapkan dalam bisnis saya. Semoga bermanfaat.
Pertama, buatlah profile tentang produk maupun layanan yang akan kamu pasarkan. Hal tersebut memudahkan calon pelanggan bisa memahami produk atau layanan yang kamu jual.
Kedua, melakukan promosi. Sebelum melakukan promosi, carilah media yang cocok untuk menawarkan produk maupun jasamu.
Ketiga, membuat konten kreatif dengan konsep yang sesuai dengan target pasar.
Keempat, bermitra dengan jasa pengiriman yang berkualitas. Tentu bermitra dengan JNE adalah jawaban yang tepat.
Inilah hubungan antara JNE dengan UMKM. Saat UMKM butuh layanan pengiriman yang berkualitas dan terpercaya, maka JNE adalah jawabannya. Agen JNE memudahkan UMKM dalam mengirimkan paket, siap menjemput bola, serta terdapat hujan diskon yang meski begitu tidak menurunkan pelayanan dari JNE sendiri.
Era digitalisasi dan pandemi corona yang saya kira adalah musuh bagi saya, kini berbanding terbalik. Pemanfaatan era digitalisasi agaknya sangat menguntungkan bagi saya pemilik usaha, juga bagi JNE, mitra saya. Dengan tagline JNE yakni Connecting Happines, telah benar-benar menghubungkan saya pada kebahagian.
Kini toko Ledre saya telah ikut memasuki era digitalisasi, pelanggan meningkat drastis, terlebih Ledre merupakan oleh-oleh khas yang diminati dari Kota Bojonegoro.
Ketakutan-ketakutan seperti posisi toko saya yang pelosok pun teratasi dengan adanya JNE. Terima kasih JNE, jayalah selalu UMKM Indonesia. JNE31tahun, JNEMajuIndonesia #jnecontentcompetition2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H