Jean-François Lyotard lahir pada tahun 1924 dalam keluarga borjuis dan ambisius. Ayah Lyotard adalah seorang perwakilan penjualan di sebuah produsen kain yang juga membedakan dirinya sebagai seorang anak karena kecerdasannya yang luar biasa. Tujuan ini tidak tercapai karena keadaan sulit seperti kemiskinan dan perang. Jean-François mewarisi kecerdasan ayahnya, namun ibunya ingin dia memiliki kehidupan keluarga tradisional. Hal ini kemudian menyebabkan perpecahan dalam keluarga Lyotard.
Saat remaja, Lyotard sangat disiplin dan mengikuti rutinitas sehari-hari dengan taat. Setelah menjabat sebagai dokter selama Perang Dunia II, Lyotard mulai belajar filsafat di Sorbonne di Paris. Tesis Lyotard adalah studi perbandingan segregasi dalam berbagai agama. Dari tahun 1949 hingga 1950, Lyotard meninggalkan Paris untuk mengajar di sebuah perguruan tinggi militer di Burgundy.
Dia kemudian memegang posisi mengajar di berbagai wilayah di Perancis dan di Aljazair Perancis, yang saat itu merupakan koloni Perancis. Ia juga pernah mengajar di universitas seperti Sorbonne, Nanterre, University of Paris VIII dan beberapa universitas besar di Amerika Serikat. Lyotard menikah dua kali dan memiliki tiga anak dari pernikahannya. Lyotard meninggal di Paris pada tahun 1998, dalam usia 73 tahun.
Bagi Lyotard, bentuk cerita totaliter berupaya menjelaskan keseluruhan keberadaan. Postmodernisme berpendapat bahwa cerita-cerita seperti itu tidak sesuai dengan tugasnya dan pada akhirnya menciptakan dialog yang eksklusif. Lyotard memprediksikan transformasi teknologi sistem pengetahuan, di mana pengetahuan memperoleh nilai berdasarkan bentuk teknologinya. Lyotard berpendapat bahwa ketidakpercayaan terhadap narasi dan krisis sistem pengetahuan merupakan kondisi postmodern.
Lyotard menegaskan bahwa kita tidak bisa lagi membicarakan gagasan teori umum karena tidak ada alasan, yang ada hanya jenis alasan. Lyotard melihat filsafat sebagai pemaksaan kebenaran. Dia menentang Marxisme karena dianggap sebagai “kisah yang hebat.” Lyotard kemudian menyarankan untuk kembali ke “bahasa pragmatis” Wittgenstein, yang berarti menyadari bahwa kita hidup dalam banyak permainan bahasa yang berbeda dan sulit untuk berkomunikasi di antara mereka secara terbuka, adil dan spontan. Lyotard melihat masyarakat kita saat ini sebagai masyarakat yang individualistis dan terfragmentasi. Masyarakat pra-modern belum menekankan pentingnya cerita, terutama mitologi, alam gaib, kearifan rakyat, dan bentuk penjelasan lainnya. Ia meyakini ada konflik antara narasi dan sains.
Ceritanya sudah berakhir dan tidak ada yang bisa menggantikannya. Singkatnya, Lyotard percaya bahwa hal-hal besar itu buruk dan hal-hal kecil itu baik. Alangkah buruknya jika menjadi filsafat sejarah. Cerita besar dikaitkan dengan program atau partai politik, sedangkan cerita kecil dikaitkan dengan kreativitas lokal. Jean François Lyotard dalam pemikiran filosofisnya sangat dipengaruhi oleh Karl Marx, Nietzsche, Immanuel Kant, Sigmund Freud. Pengaruh Karl Marx terlihat jelas dalam keengganannya terhadap kesadaran universal.
Pada masa ini, Nietzsche mempengaruhi pemikiran Lyotard bahwa tidak ada sudut pandang yang dominan dalam sains. Tidak ada teori objektif yang universal. Sementara itu, berdasarkan Immanuel Kant, konsep Kant membedakan antara bidang teoretis (sains), praktis (etika), dan estetika, yang masing-masing mempunyai otonomi, kaidah, dan kriteria tersendiri. Pengaruh Sigmund Freud terletak di balik pemahaman Lyotard tentang politik hasrat.
Menurut Webster yang dikutip Akhyar Yusuf dalam laporan penelitiannya, terdapat beberapa elemen kunci pemikiran postmodern sebagai gerakan intelektual dan sebagai fenomena sosial yang membedakannya dengan pemikiran Modern, antara lain: nilai. dan berlatih. 2. Penolakan klaim penelitian mengenai klaim “kebenaran objektif universal” dan penolakan landasan epistemologisnya (anti fundamentalisme), maka yang ada hanya versi “kebenaran” yang ada dan diterima. 3. Menyangkal keaslian suatu penelitian, karena segala sesuatu dianggap tidak autentik, justru lebih konstruktif. 4. Menolak persoalan/pertanyaan yang berkaitan dengan penentuan makna karena maknanya tidak terbatas. 5. Menghargai perbedaan: interpretasi, nilai dan gaya (merayakan perbedaan, interpretasi, nilai dan gaya). 6. Penekanan pada kegembiraan, menjadikan pengalaman sebagai hal utama untuk dianalisis, pada kegembiraan dan keagungan. 7. Senang dengan kedangkalan, kedangkalan, perbedaan, sarkasme, sarkasme dan sarkasme.
8. Kenali/hargai kreativitas dan imajinasi dibandingkan keteraturan dengan penjelasan perilaku deterministik yang menantang (menyesatkan). Menurunnya kepercayaan terhadap narasi besar disebabkan adanya proses delegitimasi atau krisis legitimasi, dimana fungsi legitimasi narasi besar menghadapi tantangan yang cukup berat. Misalnya, delegitimasi yang dialami ilmu pengetahuan sejak akhir abad ke-19 akibat perkembangan teknologi dan perluasan kapitalisme. Dalam masyarakat pasca-industri, ilmu pengetahuan telah kehilangan legitimasinya karena terbukti tidak mampu mempertahankan diri terhadap legitimasinya sendiri. Legitimasi sains dalam narasi spekulatif yang menyatakan bahwa pengetahuan harus diproduksi demi pengetahuan di era teknosains kapitalis tidak lagi terjamin. Pengetahuan tidak lagi diproduksi untuk kepentingan pengetahuan melainkan untuk mencari keuntungan ketika kriteria yang diterapkan bukan lagi kriteria baik dan jahat melainkan kriteria performatif, yaitu memproduksi sebanyak mungkin dengan biaya serendah mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H