Mohon tunggu...
Afifah Wahda
Afifah Wahda Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar Kehidupan

Hanya pembelajar yg punya hobi mencatat. Tak pandai bicara. Bercita-cita menjadi penulis & psikolog.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Diary Belajar Cinta #1

8 Januari 2019   13:46 Diperbarui: 8 Januari 2019   13:47 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh skenario yang indah, lagi-lagi hati ini tergerak untuk belajar. Walaupun bukan hal mudah menangkis pernyataan oranglain yang menilai bahwa aku "baperan", padahal belum tentu. 

Apalagi yang menyinggung itu ortu, adek, atau teman sendiri. Nyesek di hati. Padahal sejujurnya ketertarikanku terhadap persoalan cinta sudah sejak lama dan aku juga pengen benar-benar paham sebenarnya gimana sih cinta itu, terutama cinta di dalam pernikahan.

Alhamdulillah-nya, pagi tadi dikasih kesempatan mengikuti kajian Ust. Cahyadi Takariawan di Masjid Al-Ghifary, Malang. Sosok familiar ini kita kenal sebagai penulis buku Wonderfull series, diantaranya Wonderful Family, Wonderful Husband, Wonderful Couple, Wonderful Wife, dan Wonderfull Journeys. Beliau yang sudah berkecimbung di ruang-ruang konseling selama 17 tahun ini menggambarkan tentang kehidupan rumah tangga itu seperti apa, mulai mulai dari yang terkecil hingga paling rumit, cara memahami peta konflik, dan mengatasi permasalahannya.

Permasalahan yang muncul bisa dari hal-hal sederhana karena dari penciptaan-Nya laki-laki dan perempuan berbeda. Mulai dari kromosom, otak, dan lain-lain. Dan akan terlihat kontras ketika terjun di dalam pernikahan, tidak bisa dilihat simulasinya dari organisasi karena itu semu. 

Mulai dari cara pandang yang berbeda, laki-laki monotracking sedangkan perempuan multitracking, laki-laki menyikapi permasalahan dengan diam sedangkan perempuan cerewet, dan masih banyak lagi. 

Padahal jika kita sudah bisa mengenali peta konfliknya, setiap permasalahan sudah ada penyelesaiannya masing-masing. Ibarat belajar memasak kue, awalnya kita tidak tau bagaimana resepnya, kemudian kita mencoba-coba, lama kelamaan bisa, seterusnya kita bisa bahkan tanpa menimbang dulu bahan-bahan kita sudah bisa merasakan. Begitu juga dengan keterampilan lainnya. Karena sejatinya menikah itu adalah sebuah proses adaptasi -- pembiasaan.

Nah, untuk solusinya. Pertama, bisa dengan mencari kesamaan sebanyak-banyaknya. Seperti yang dicontohkan beliau, Pak Cahyadi dan istri sama-sama suka menulis dan sama-sama interest tentang pernikahan. 

Itu akan membuat Pak Cahyadi mempunyai waktu lebih banyak dengan istrinya. Kedua, mencari titik temu yang disepakati. Ketika menemui perbedaan yang kontras, misalnya persepsi suami tentang masakan enak itu dibumbui msg sedangkan istri tanpa msg. 

Dari perbedaan itu, keduanya sama-sama melakukan perubahan selera dengan menurunkan kadar persepsi enak masing-masing sehingga muncul kesepakatan masakan enak itu dibumbui sedikit msg. Alternatifnya, jika tetap mengunggulkan persepsi masing-masing yasudah menerima apa adanya. Artinya, saling menghargai ego masing-masing dengan memasak dua macam masakan, satunya dibumbui msg, satunya lagi tidak. Keduanya tetap bisa memakan masakan yang enak tanpa mempermasalahkan satu sama lain. [] 

Ditulis di Malang,
Minggu, 3 Desember 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun