Menurut WHO (2021), angka malnutrisi anak di seluruh dunia masih terbilang tinggi. Angka malnutrisi ini meliputi beberapa kasus berbeda dalam ranah yang sama, yakni kasus stunting, gizi buruk, dan juga overweight. Pada data tersebut, dapat diketahui bahwa kasus stunting menginjak angka 149.2 juta anak di dunia. Sayangnya, Indonesia menjadi salah satu dari lima negara terbesar dengan angka prevalensi stunting terbesar di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki urgensi pencegahan stunting yang harus dituntaskan. Kemudian, angka anak yang mengalami gizi buruk atau kekurangan nutrisi di dunia menginjak 45.4 juta orang. Anak yang mengalami gizi buruk ini belum tentu termasuk anak yang mengalami stunting, tetapi anak yang stunting sudah pasti memiliki gejala gizi buruk.
Terakhir, perlu diketahui bahwa malnutrisi tidak hanya membahas kasus yang berkaitan dengan kekurangan nutrisi, tetapi juga membahas tentang nutrisi yang tidak seimbang atau pemberian nutrisi yang salah. Oleh karena itu, overweight masuk ke dalam ranah malnutrisi. Sama seperti dua kasus sebelumnya, kasus anak yang mengalami overweight di dunia terbilang tinggi, yakni mencapai angka 38.9 juta. Pada masa pandemi, WHO (2021) menyebutkan bahwa angka malnutrisi menjadi semakin meningkat karena beberapa pertimbangan, contohnya sulitnya masyarakat dalam mengakses fasilitas kesehatan, ekonomi yang menurun, dan sebagainya.
Pada gambar di atas (Gambar 1), kita dapat melihat ilustrasi perbedaan malnutrisi (World Vision, 2015). Pada bagian kiri, terdapat ilustrasi anak normal yang dapat dijadikan standar bagi tinggi badan dan berat badan seseorang. Gambar kedua dari kiri, terdapat ilustrasi anak yang mengalami gizi buruk yang dibuktikan dengan proporsi berat badan yang kurang dari standar dengan tinggi yang normal. Anak yang mengalami gizi buruk cenderung terlihat kurus atau sangat kurus. Gambar ketiga dari kiri, terdapat ilustrasi anak yang mengalami stunting. Jika dilihat sekilas, anak terlihat baik-baik saja karena proporsi berat badan yang terbilang normal dari tinggi yang dimiliki, namun jika dibandingkan dengan anak sebayanya, anak tersebut terlihat lebih pendek dan lebih kurus.
Pada gambar paling kanan, terdapat anak yang mengalami underweight atau kekurangan tinggi badan di antara anak sebayanya. Hal ini perlu ditelaah lebih dalam lagi karena bisa jadi kasus ini bukanlah bagian dari malnutrisi, melainkan dari adanya gen yang diturunkan oleh orang tua anak tersebut. Terakhir, namun tidak terdapat ilustrasi kasusnya, terdapat anak overweight di mana anak tersebut memiliki proporsi berat badan yang lebih dari standar umur atau tingginya. Kasus ini memiliki penanganan yang berbeda-beda. Sebaiknya orang tua memahami ciri-ciri malnutrisi di atas agar dapat melakukan deteksi dini sehingga dapat ditangani lebih awal.
Dalam data proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita Indonesia tahun 2013, terlihat bahwa Indonesia memiliki proporsi status di angka 37.2 dan menurun di angka 30.8 pada 2018 (Riskesdas, 2013 dan 2018). Pada tahun 2021 kemarin, angka tersebut turun menjadi 24,4 (Kemenkes RI, 2021). Angka ini masih jauh dari target Presiden Joko Widodo pada Visi Indonesia Sehat 2025. Presiden menargetkan angka stunting dapat turun menjadi 14% di 2025 mendatang (Prasetia dalam news.detik.com, 2020). Oleh karena itu, diperlukan antisipasi dan penanganan yang komprehensif terhadap kasus stunting yang terjadi di Indonesia. Hal ini membutuhkan sinergitas dari seluruh pihak, baik pemerintah, tenaga kesehatan, dan juga masyarakat yang ada.
Membahas dari segi definisi, stunting adalah suatu kondisi seseorang yang memiliki tinggi badan kurang dari -2SD (standar deviasi) pada kurva yang dimiliki oleh WHO (WHO, 2021). Dengan istilah lain stunting dapat dijelaskan sebagai kondisi seseorang yang memiliki tinggi badan yang lebih pendek atau jauh lebih pendek pada umumnya. Stunting merupakan hasil dari kurangnya nutrisi secara berkepanjangan karena beberapa faktor seperti kondisi sosial ekonomi, kesehatan ibu hamil yang buruk, penyakit yang berulang, kehamilan pada ibu yang berusia remaja dengan interval yang pendek, serta adanya ketidaktepatan praktik pemberian makanan pada bayi dan anak.
Stunting juga dapat terjadi karena tidak pahamnya ibu tentang pentingnya 1000 hari pertama kehidupan dengan spesifikasi 270 hari di kehamilan, 365 hari di tahun pertama, dan 365 hari di tahun kedua kehidupan anak (Hanandita, 2018). Pemerintah saat ini pun sudah menggiatkan kegiatan yang dapat mengedukasi ibu tentang pentingnya 1000 hari pertama kehidupan anak. Jika nutrisi yang diberikan kepada anak pada 1000 hari tersebut cukup dan terpenuhi, maka dapat memberikan dampak positif kepada anak. Begitupun sebaliknya, akan menjadi dampak negatif apabila nutrisi anak tidak terpenuhi. Dampak ini tidak hanya terasa dalam 1000 hari pertama tersebut, tetapi juga sampai dengan dewasa.
Gambar di atas (Gambar 2) menunjukkan tentang perkembangan otak manusia (Hanandita, 2018). Pada dasarnya, perkembangan ini sudah mulai terjadi sejak dalam kandungan. Pada gambar tersebut terlihat bahwa perkembangan pesat terjadi di satu dan dua tahun pertama, contohnya di otak yang berhubungan dengan penglihatan, pendengaran, bahasa, hingga otak yang berfungsi sebagai fungsi kognitif yang lebih tinggi. Jika dipresentasekan, perkembangan otak yang terjadi di dua tahun pertama sebesar 80% (Hanandita, 2018). Perkembangan ini akan melandai ketika sang anak semakin bertambah umur. Oleh karena itu, apabila ingin membentuk perkembangan yang optimal, lakukanlah usaha tersebut di 1000 hari pertama.
Apabila malnutrisi terjadi pada 1000 hari pertama kehidupan, terdapat dampak jangka panjang dan pendeknya. Beberapa dampak jangka pendeknya adalah perkembangan otak yang terganggu sehingga dapat menyebabkan turunnya IQ anak sebesar 10-15 poin, pertumbuhan dan massa otot yang lemah sehingga menyebabkan rendahnya performa anak secara fisik, serta terganggunya metabolisme tubuh yang dapat mengakibatkan tingginya risiko penyakit seperti diabetes, darah tinggi, kanker, stroke, dan penyakit lainnya (UNICEF, 2016). Â