Contoh kasus
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari bermula ketika dia mengirimkan e-mail sebagai surat pembaca ke sebuah media dotcom, kemudian dia mengirimkan pula kepada teman-temannya. E-mail itu berisi keluhan terhadap RS Omni Internasional yang pernah merawatnya. Seperti biasanya, e-mail serupa selalu bergerak dari satu e-mail ke e-mail dan akhirnya menyebar ke publik lewat milis-milis. Dalam e-mail itu, Prita hanya menggambarkan pengalamannya bersinggungan dengan RS Omni Internasional. Isinya adalah keluhan demi keluhan yang dialami. Sifat tulisannya pun cenderung deskriptif belaka. Namum Dr. Henky dari RS Omni menggugat Prita Mulyasari dengan gugatan pidana (pencemaran nama baik) karena telah melanggar Pasal 27 ayat (3) yaitu prita mulyasari karena dianggap telah terbukti dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan danatau mentransmisikan danatau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik danatau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sehingga dengan pandangan hukum positif yang dianut oleh bangsa ini tidak bisa tidak ketika ada sesorang yang telah melakukan tindak pidana artinya melanggar aturan pidana dalam sebuah pasal KUHP, terhadapnya akan diproses secara hukum.
Apa mahzab hukum positivism?
Dikutip dari buku Panduan Bantuan Hukum di Indonesia karya Abdul Rahman Saleh dkk (Yayasan Obor Indonesia) aliran positivisme adalah aliran yang terdapat pada filsafat hukum. Di mana pada aliran ini mempunyai pandangan yang mengharuskannya pemisahan antara hukum dan moral secara tegas. Maksudnya antara hukum yang berlaku dengan hukum yang seharusnya.
Aliran ini juga sangat mengagungkan hukum yang tertulis. Hal ini terjadi karena meyakini bahwa tidak ada norma hukum diluar hukum positif. Maka dari itu apapun persoalan pada masyarakat wajib diatur dalam hukum tertulis.
Para ahli penganut aliran ini bersikap berdasarkan latar belakang mereka dalam menyikapi suatu penghargaan yang berlebihan tersebut terhadap suatu kekuasaan. Di mana kekuasaan ini menciptakan hukum tertulis. Mereka juga menganggap bahwa kekuasaan merupakan sumber serta kekuasaan merupakan hukum.
Argumen tentang mahzab hukum positivism di Indonesia
Hukum di negara ini masih terkesan tebang pilih, hukum runcing kebawah dan tumpul ke atas. Runcing kebawah karena selama ini apabila hukum mengenai obyek rakyat kecil, maka hukum akan tegas bak pedang yang tajam. Sehingga hukum positif akan dijalankan dengan segera tanpa melihat sosio histori dari perbuatan yang dianggap tindak pidana. Sedangkan apabila hukum mengenai pejabat tinggi ataupun konglomerat hukum terkesan loyo bak pedang yang sudah berkarat sehingga sekeras apapun pedang itu diancamkan tidak akan mempan.
Keadaan yang seperti itu tentunya bukan hukumnya atau aturannya saja yang dipersalahkan akan tetapi lebih pada aparat penegak hukumnya yang masih kadang-kadang kehilangan moral, hanya mengejar kepastian dan mengabaikan nilai-nilai yang lain yaitu keadilan, kemanfaatan. Padahal hukum adalah ramuan antara nilai-nilai kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Akan tetapi para aparat penegak hukum seakan-akan takut untuk menemukan hukum karena paradigm positivistik sudah kental dan membuat aparat takut untuk berbuat diluar apa yang digariskan. Disinilah positivistik akhirnya bisa dianggap sebagai bola liar yang akan menerpa siapa saja dan tidak ada yang bisa mengendalikan karena apabila nekat mengendalikan bayangan menyalahi aturan atau melanggar hukum selalu menghantui.
Referensi:
Muhammad, Azil Maskur. (2016)
Potret Buram Positivisme Hukum: Sebuah Telaah Terhadap Kasus-Kasus Kecil yang Menciderai Rasa Keadilan Masyarakat. Humani 6(1), 51
Aryanto, Bayu. ANALISIS WACANA KRITIS
SURAT ELETRONIK PRITA MULYASARI. Dinamika Bahasa & Budaya 3(2), 117
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H