Mohon tunggu...
Afifah Aryani
Afifah Aryani Mohon Tunggu... Guru - write to heal

Antusias pada semua hal yang berbau tulis menulis dan juga membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Imajinasi

4 Februari 2023   17:58 Diperbarui: 4 Februari 2023   18:00 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Salah satu kunci dalam kehidupan adalah harapan. Jika pun bisa menjadi jelmaan dari harapan, mungkin banyak orang akan berbondong-bondong menjadi harapan, karena hadirnya bak cahaya meski dalam kegelapan sekalipun.

Program kuliah satu per satu berlalu begitu cepat, sampailah kami di program KKN, seluruh mahasiswa tingkat tiga bergelut dalam pembentukan kelompok yang pada akhirnya terbentuklah kelompok Desa Kulo. Kami meyakini ini akan menjadi kelompok yang paling asik diantara semua kelompok. Setiap kali latihan, kali itu pula kami memupuk harapan kebaikan satu sama lain.

Harapan demi harapan kami pupuk dengan baik. keberuntungan kami adalah, salah satu rekan kami, Yanti mempunyai kawan seorang Dokter yang bisa kami undang sebagai narasumber cuci tangan pakai sabun dengan baik sekaligus  mengadakan acara pemeriksaan panti jompo. “Ini sih akan menjadi program kerja paling keren” ujar Dodi sembari tersenyum lebar.

Kami bermain dalam imajinasi, berharap proker yang kami buat bisa terwujud seindah harapan masyarakat. Perencanaan demi perencanaan dibuat dengan matang. Rencananya H-3 dokter akan datang untuk survey dan menyerahkan sabun untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun, setelah ditunggu sepanjang hari dokter tak kunjung datang,  di malam harinya, Yanti menerima panggilan yang mengejutkan. Ternyata dokter terjatuh di depan gang desa. Detik itu juga Yanti diantar Raina untuk menolongnya, namun sudah satu jam pergi, mereka tak kunjung pulang. Mereka muncul setelah kami menelponnya. Dengan lesu mereka katakan bahwa mereka tidak menemukan seorang pun disana, ketika dicoba untuk dihubungi, nomornya mendadak tidak aktif, aneh.

Keesokan harinya, seseorang datang menemui Yanti. Beliau bilang “saya Tuti adiknya Dokter Tirta, kebetulan beliau sedang sibuk dan menitipkan ini untuk dibagikan.” Kami tercengang melihat semua bawaannya. Bukan hanya sabun untuk masyarakat, tapi juga makanan yang sebegitu banyaknya. Lalu terciplatah perbincangan “beruntung banget yah Yanti, yang ngedeketinnya Dokter, kita jadi punya bantuan makanan.” kami bahkan tertawa gembira. Beliau bilang, besok kakaknya akan datang untuk pengarahan. Mendengar hal itu, Yanti mendatangkan kedua orangtuanya agar bisa memperkenalkannya. Konon, katanya Yanti dan Dokter saling dekat.

Meski jauh, orangtua Yanti datang dan menunggu hingga sore, namun kejadian sebelumnya terulang, dokter tidak datang tanpa keterangan dan adiknya menekankan kembali bahwa dokter akan datang keesokan harinya. Kepercayaan kami mulai terkikis sedikit demi sedikit. Namun Dodi, ketua kelompok kami meyakinkan dan membangkitkan kembali harapan dengan berkata “gak apa-apa dokter gak dateng sebelum acara, tapi acara pasti berlangsung dengan baik.”

Tibalah kami pada acara inti yang tetap harus dilaksanakan tanpa ada pengarahan dari Dokter sedikitpun. Rencananya Dokter akan sampai pukul 09.00 pagi. Beberapa orang ditugaskan untuk diam di depan gang desa agar bisa menjadi petunjuk jalan. Selain itu beberapa orang bertugas untuk diam di tempat yang kami huni agar bisa memastikan apakah ada barang yang perlu dibawa oleh dokter atau tidak. Terakhir, Sebagian besar kami bertugas untuk melayani masyarakat yang datang di Gedung.

Lima menit berlalu, “cek, dokter udah sampe?” tanya Dodi sembari mengerutkan dahinya. Entah apa yang diucapkan seseorang dibalik telpon genggamnya, ia kembali menjawab “ya udah cepet kabari kalo udah ada ya” raut mukanya terlihat kesal, dengan helaan nafas yang panjang Ia menutup telponnya. Dua puluh menit, tiga puluh menit, empat puluh menit, “UDAH TELAT BANGET, DOKTERNYA DIMANA?” emosi Ridwan mulai tersulut melihat kondisi panti jompo yang setiap detiknya berdatangan semakin banyak. Rina bahkan menangis, tak tega melihat banyak pasang mata yang berbinar seakan mereka akan menemui cahaya.

“Rin, udahlah Rin. Nangis juga ga akan ngubah situasinya. Kita gak bisa kontrol sesuatu diluar diri kita. Sekarang waktunya kita berdo’a semoga dokter cepet dateng tanpa halangan apapun.” Ucap Gata, menenangkan.

“aku gak tega liatnya Ta!” bantah Rina dengan terisak.

“DOKTER DATENG!” teriak Ridwan dari kejauhan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun