Indicator kelima, setelah divonis sebagai salah satu kota dengan tingkat polusi tertinggi di dunia, Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan kota bisnis, perlu juga diukur dampak kualitas udara terhadap aktifitas bisnis dan investasi. Â Apakah berdampak besar atau malah tidak signifikan pengaruhnya. Â Ukurannya bisa dilihat dari naik turunya nilai investasi, perputaran keuangan pada aktivitas bisnis ataupun index harga saham di bursa dalam kaitanya dengan kualitas udara di DKI Jakarta.
Indicator keenam, adalah kerangka waktu. Â Seberapa lama kondisi kualitas udara Jakarta dapat ditoleransi? Enam bulan, setahun, lima tahun atau 10 tahun? Â Toleransi waktu ini adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan kategori ISPU dari level tidak sehat saat ini menjadi satu level dibawahbya yaitu level sedang.
Indicator ketujuh adalah seberapa kuat penyampaian informasi terkait pencemaran udara ke masyarakat? Â Apakah masyarakat mudah mengakses indeks standar pencemaran udara (ISPU)? Berapa titik informasi ISPU di Jakarta? Â Apakah informasi ISPU diberikan secara real time 24 jam? Apakah masyarakat sudah teredukasi terkait bahaya pencemaran terhadap Kesehatan pada berbagai tingkat ISPU? Jika pertanyaan pertanyaan ini belum dapat dijawab 50% atau lebih masyarakat DKI Jakarta, artinya pesan dan komunikasi belum efektif tersampaikan.
Â
Selection
Setelah indicator penting diidentifikasi, berikutnya kita perlu menganalisis exposur risiko. Â Berdasarkan ketujuh indicator diatas, kemudian dipilih mana indicator yang paling relevan dan paling critical berpengaruh terhadap kualitas udara di DKI Jakarta. Â Apakah salah satu, dua, atau bahkan ketujuh indicator tersebut sangat berpengaruh (tingkat korelasinya tinggi). Â Untuk dapat menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan pengukuran secara kuatitatif sehingga diperoleh hasil dalam prosentase, angka, rupiah/dollar. Â Ukuran dalam satuan quantitative sangat penting untuk menentukan tingkat keparahan atau severity maupun tingkat probability/likelihood sehingga dapat ditentukan prioritasi penangannya. Â Angka dan data ini penting sehingga dapat dimonitor, dilaporkan untuk saat ini maupun diproyeksikan untuk waktu mendatang sehingga dapat ditentukan Langkah penanganan yang paling tepat.
Pikiran Pemangku Kepentingan dan Penetapan Tujuan
Pikiran pemangku kepentingan dan penetapan tujuan, harusnya ada list pertama dari tulisan ini. Â Namun ditempatkan di point ini karena keterbatasan informasi terkait apa yang dipikirkan, direncanakan, dan akan dilakukan oleh pemangku kepentingan. Â Sedangkan penetapan tujuan pun baik dalam bentuk narasi, komunikasi, publikasi tidak tersampaikan secara luas. Â Anggap saja bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah menurunkan satu level index ISPU dari katagori tidak sehat menjadi katagori sedang. Â Siapa pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam pencapaian tujuan ini? Â
Dalam ilmu manajemen risiko, penanggung jawab adalah pemilik risiko.  Sedangkan berdasarkan  peraturan Menteri KLHK No 14 Tahun 2020, disebutkan dalam hal ISPU berada pada kategori tidak sehat, sangat tidak sehat, atau berbahaya, maka penanggung jawab (yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai pemilik risiko) adalah Menteri, gubernur, dan bupati atau walikota. Â
Berdasarkan peraturan Menteri tersebut, maka katagori ISPU tidak sehat di Jakarta adalah tanggung jawab Gubernur dan berkoordinasi dengan Menteri LHK. Â Terkait hal ini masyarakat berhak untuk mendengar, mengetahui, Â atau bahkan menguji pikiran Gubernur DKI Jakarta sebagai pejabat public dan pemilik risiko. Â Pikiran-pikiran tersebut dapat dituangkan dalam keputusan gubernur, instruksi gubernur, petunjuk pelaksanaan, implementasi program, pembentukan tim atau Langkah apapun dengan otoritasi langsung dari gubernur.Â
Penanganan