Beberapa waktu belakangan kita diramaikan dengan pemberitaan sepinya Pasar Tanah Abang. Pasar Tanah Abang yang sempat berjaya dan disebut pusat perdagangan konveksi/fashion terbesar di Asia Tenggara sekarang mulai sepi seperti yang dikeluhkan banyak pedagang.
Adanya platform social commerce (Tik Tok Shop dan sejenisnya) disinyalir sebagai penyebab utama sepinya pasar Tanah Abang. Bahkan beredar informasi pemerintah akan menutup platform Tik Tok Shop. Yang jadi pertanyaan, haruskah pedagang Pasar Tanah Abang beralih ke sistem penjualan online? Benarkah pemerintah akan menutup platform Tik Tok Shop? Apa yang harus dilakukan pelaku usaha di Pasar Tanah Abang untuk terus bersaing? Bagaimana seharusnya peran pengelola Pasar Tanah Abang dan Pemerintah dalam menyikapi kondisi ini?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, terlebih dahulu perlu dipahami perkembangan bisnis e-commerce di Indonesia. Berdasarkan data BPS tahun 2023, dari total pelaku usaha di Indonesia, 37,46% adalah usaha e-commerce dan sisanya 62,54% usaha non e-commerce. Ditinjau dari sisi geografis, tercatat 76,38 % usaha eCommerce berada di pulau Jawa dan sisanya (23,62%) tersebar pada provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa.
Dilihat dari perkembangan usaha, jumlah usaha ecommerce tahun 2022 sejumlah 2.995.986 usaha atau meningkat 4,46% dari tahun sebelumnya. Namun apabila dilihat perkembangan selama tiga tahun terakhir, 71% bisnis eCommerce beroperasi dari sebelum tahun 2020. Â Artinya dibandingkan tahun 2020, jumlah usaha eCommerce tahun 2022 telah meningkat 40,85%. Hal ini menunjukkan perkembangan usaha eCommerce yang meningkat tajam dan apabila tren ini berlanjut, eCommerce akan menjadi usaha yang dominan di Indonesia.
Berdasarkan data BPS di atas, pergeseran preferensi konsumen dan dunia usaha dalam bertransaksi telah menjadi keniscayaan. Perubahan paradigma ini (Shifting in Paradigm) telah berkembang dalam satu decade terahir dengan adanya disruptive technology yang membawa pada Digital Revolution.
Digital revolution ditandai munculnya eCommerce, Fintech, AI, Robot, Cryptocurrency, Smart City, Internet of Thing (IOT), Internet of Everything (IoE), Clouds, Big Data dan lainnya. Di sini saya tidak mengulas terkait disruptif technology dan digital revolution, karena ulasan seperti ini sudah banyak. Namun, sebagai contoh jika perusahaan internasional bidang teknologi terkemuka seperti Blackberry, Motorolla, Nokia, Sony tidak dapat bertahan menghadapi badai besar (big wave) disruptive ini, bagaimana dengan perusahaan kecil?
Jika perusahaan establish dengan dukungan financial besar, system manajemen yang tertata, SDM yang kompeten dan mumpuni, akses informasi yang luas, peralatan dan teknologi yang mutakhir tidak dapat bertahan, bagaimana dengan usaha perseorangan yang lebih sederhana?
Kembali ke pertanyaan awal, dengan semakin berkembangnya eCommerce, apakah pedagang di Pasar Tanah Abang perlu beralih ke penjualan online? Di satu sisi, pelaku usaha di Pasar Tanah Abang banyak mengeluh penurunan omzet penjualan akibat menjamurnya eCommerce. Namun jika dilihat lebih dalam, persaingan yang terjadi bukan persaingan produk, mengingat produk Pasar Tanah Abang terkenal dengan kualitas dan harganya yang relative terjangkau.
Artinya Pasar Tanah Abang sudah punya customer eksisting yang luas. Pertanyaannya, jika bukan karena produk, kenapa customer eksisting pindah ke produk lain? Dalam teori Porter Five Forces Model, persaingan selain ditentukan dari ancaman pendatang baru dan produk substitusi, persaingan juga ditentukan dari posisi tawar pemasok dan pembeli. Pelaku usaha eCommerce banyak pendatang baru, tidak akan cukup kuat menyaingi brand equity Pasar Tanah Abang sebagai icon bisnis fashion terbesar di Asia Tenggara.
Ancaman produk substitusi juga tidak signifikan, seperti yang telah dijelaskan d iatas, produk Pasar Tanah Abang cukup berkualitas dengan harga relative terjangkau. Â Dengan demikian faktor utama adalah dari posisi tawar pembeli dan pemasok menjadi kunci utama. Dalam berbisnis, sering pelaku usaha mencoba berbagai strategi untuk sukses menjual. Promosi yang gencar, dengan berbagai promo dan diskon untuk menarik minat konsumen.
Sebenarnya itu pola lama. Sekarang terjadi pergeseran, bukan lagi bagaimana sukses menjual tetapi bagaimana konsumen sukses membeli. Barang bagus, harga bersaing, juga harus diimbangi dengan kemudahan bertransaksi. Ketika semakin banyak supplier dengan kualitas dan harga yang selatif seimbang, maka kemudahan bertransaksi akan menjadi pembeda.