Budaya korupsi, budaya premanisme, budaya pacaran, semua itu terjadi bukan karena masalah ekonomi atua budaya semata, terkadang kita luput dari aspek spiritual yang menjadi jawaban pasti bahwa mereka semua adalah perancang kerusakan sistematis karena kurangnya kesadaran terhadap tuhannya. Mereka luput dari aspek dosa, tidak tertarik pada aspek pahala. Hidup hanya mencari keuntungan, sedangkan aktifitas maksiat yang dilakukan hanya angin lalu yang dianggap remeh kelak beribadah memohon ampunan.
Maksiat berkorelasi dengan perilaku buruk masyarakat. Tindakan preman, pungli, suap menyuap, dan sejenisnya merupakan maksiat yang berakibat buruk pada masyarakat. Sebuah problem akut yang sulit dan sangat sulit sekali diselesaikan. Bagaimana bisa negeri ini dikatakan mampu melahirkan warga yang berkelakuan baik, jika ternyata untuk jadi para wakil rakyatnya saja syarat SKCK tidak menjadi syarat yang dipertaruhkan. Pilkada kali ini saja ada 64 calon kepada daerah yang berstatus mantan terpidana.
Menarik untuk dibahas, sebab kesalahan individu selalu saja kita batasi pada solusi individu. Ibarat judol hanya terbatas pada masalah nafsu berjudi seseorang, padahal di balik itu terdapat kebijakan pemerintah yang kurang tegas dalam mengatasi problem judol. Sekarang persoalan pacaran dan berzina, siapa yang membuat budaya ini semakin liar dan berbahaya? tentu pola berpikir masyarakat yang dibentuk dari aturan yang berlaku.
Sekarang pikirkan, jika pemerintah yang berpengaruh besar dalam penjagaan budaya pergaulan bebas, apakah PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 tentang Kesehatan dapat memicu maraknya pergaulan bebas? Sangat bisa, sebab Pasal 103 mengenai upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja memunculkan polemik khususnya Ayat (4) butir "e" yaitu penyediaan alat kontrasepsi. Inilah alasan polemik terjadi di masyarakat, ke mana tujuan dan arah pemerintah untuk membentuk kualitas generasi muda ke depan.
Tidak heran tren yang berkembang malah 'Marriage is Scary', makin sulit meyakinkan generasi sekarang untuk menikah, malah memilih jalur pacaran sebagai antisipasi memilih pasangan yang salah. Saya juga bingung, apa maunya mereka yang menormalisasi ketakutan menikah namun menyukai pacaran? Padahal pacaran memberikan kerugian yang paling besar jika gagal daripada menikah yang gagal.
Anehnya, sudahlah susah ajak menikah, ada pula tren susah untuk punya anak. Tren ini dinamakan Childfree. Tidak lain kedua tren itu dipengaruhi oleh faktor teknologi dan media sosial yang liar. Berakhlak dalam bermedsos adalah pondasi utama, namun sulit dijelaskan bagaimana bisa ada anak muda yang meninggalkan melepaskan hijab, ada yang joget dan bergoyang di depan kamera, curhat tanpa batas di status medsos, dan kejadian negatif lainnya yang merusak akhlak.
Pemerintah seharusnya mengatur garis haluan dalam mendidik generasi dan etika penggunaan media sosial. Jangan sampai justru malah bertolak belakang dengan haluan positif masyarakat dalam menjaga etika. Masih ingat polemik BPIP yang menolak paskibraka berhijab untuk mengibarkan bendera saat HUT RI. Jangan sampai pemeirntah yang memiliki peran sentral justru malah menciptakan struktural sosial yang negatif, khususnya yang berkaitan dengan agama, bukan malah memberikan ruang fasilitas untuk bermaksiat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H