Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Miskin Struktural, Bodoh Struktural, Hingga Maksiat Struktural

14 Oktober 2024   14:36 Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:15 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebodohan Struktural

Normalisasi sebuah jasa joki skripsi, jasa pembuatan jurnal, pengerjaan tugas, dan lainnya adalah sebuah pengkhianatan besar pada dunia pendidikan. Gelar hanya sebuah tujuan formalitas, ilmu bukan sebuah tujuan substansial. Masih hangat pengangkatan Honoris Causa seorang Raffi Ahmad yang berasal dari kampus abal-abal, kini dipercaya sebagai salah satu pejabat tinggi mengurusi ekonomi masyarakat. Serius hal demikian masih tetap dinormalisasi, maka wajar timbul banyak pertanyaan, untuk apa sekolah?

Ada yang viral, puluhan anak SMP diketahui ternyata tidak bisa membaca. Bahkan ada lagi yang viral, siswa PKL tingkat SMK yang kedapatan tidak bisa melakukan copy-paste padahal hal mendasar dalam operasikan komputer. Anak SMA kelas 12 tidak tahu perkalian 1-10. Apa yang salah dari pola belajar kita yang begitu tertinggal dari negara lainnya? Hal ini sempat menjadi fokus bahan penelitian oleh salah satu influencer bernama Ferry Irwandi.

Ia mengkritisi bahwa sistem zonasi yang dijalankan oleh pemerintah selalu menjadi kebijakan yang serampangan. Ada satu kecamatan yang memegang 8 dari total 10 sekolah SMAN di Malang. Bahkan setengah dari 8 sekolah negeri tersebut ada di satu kelurahan. Ada 2 kecamatan tidak punya sekolah negeri, artinya penduduk setempat tidak dapat memilih SMAN. Pemerataan ini justru berdampak buruk bagi mereka. Sistem zonasi baru berjalan ideal kalau infrastruktur mendukung, pemerataan mendukung, kualitas pendidikan, birokrasi, mutasi guru, dan pemahaman masyarakatnya juga berpengaruh harus saling mendukung.

Saya harus mengakui, sistem kurikulum yang membuat semua siswa harus lulus adalah model kurikulum yang salah, sayangnya hal ini sulit diganti. Tidak ada standar ujian, tidak ada tekanan sehingga hilang keseriusan dalam belajar. Tak perlu banyak belajar, toh nanti juga diluluskan kan sama guru! kalo ada yang nggk lulu nanti akan turun reputasi sekolah. Begitulah nuansa sekolah yang saat ini dirasakan. Kita yang ingin mencontoh finlandia, justru jauh dari harapan yang dicita-citakan. Benarkah apa kata Jusuf Kalla, "Merdeka apanya, belajar juga tidak!"

Banyak hal yang harus dibenahi dan sulit sepertinya kalau hanya berharap pada pembenahan kecil tapi mengabaikan aspek fundamental berupa sistem pendidikan. Perhatikan kesejahteraan guru, perbaiki akses fasilitas, pengembangan kompetensi guru, pembangunan budaya literasi, dan sebagainya. Masalah pendidikan di indonesia tidak hanya tingkat sekolah, saat ini tingkat perguruan tinggi pun bermasalah.

Saya sangat miris melihat berita, kisah seorang guru honorer yang bekerja paruh waktu, mirisnya adalah pekerjaan yang ia lanjutkan selepas mengajar adalah menjadi seorang pemulung. Sedehana saja, gaji pengajar yang diterima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Kesenjangan dunia pendidikan sudah sejak lama bergulir, namun kenapa tega membiarkan kondisi ini terus tertahan.

Masih mending jika pekerjaan yang diusahakan adalah pekerjaan yang halal. Tak sedikit guru, atau bahkan muridnya juga, menjadi pelaku pinjol yang berbahaya. Tak ada kayu rotan pun jadi, tak ada uang pinjol pun jadi. Jika sudah stres berat, semua dilakukan demi mendapatkan uang yang instan. Judi online menjadi tempat pelampiasan mencari peluang uang. Bahkan ada kasus ayah jual anak bayinya seharga 15 juta untuk modal judol. Ingat, ada sekitar 500 triliyun uang dalam negeri terkumpul pada judol di luar negeri lho, betapa hancurnya kita yang diam melihat kondisi ini. Benarkah ini yang dimaksud bodoh struktural?

Saya pernah mendengar keluhan dari seorang petani yang miris melihat kondisi mereka yang tidak bisa apa-apa. Mereka pernah menjual hasil panen berupa sayur kol dengan total penjualan hanya menghasilkan 700rb saja, sayur itu dibeli oleh tengkulak yang ketika di pasar harga per buahnya yang asalnya 700 perak menjadi 7ribu. Betapa jauhnya harga yang dimainkan tengkulak, sedangkan petani harus menanggung kerugian karena pengurusan kebunnya saja harus menghabiskan biaya 3 juta. Tidak heran seringkali terjadi fenomena petani membuang-buang hasil panen karena harga tidak waras. Apa yang terjadi adalah upaya tengkulak untuk mempertahankan kebodohan petani, jika para petani itu pintar maka tengkulak akan berkurang peluang untungnya. Inilah rusaknya, bodoh dijadikan sebagai batu loncatan dalam berbisnis.

Maksiat Struktural

Jika kita sudah hampir putus asa memikirkan problem ekonomi dan pendidikan adalah problem sistemik, mengapa kita hanya berhenti pada masalah yang bersifat praktis namun lupa dengan masalah aspek teologis. Bukankah semua saling berkaitan, saling berdampak, tapi jarang kita mendengar istilah maksiat struktural, yakni maksiat yang memang terjadi secara sistematis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun