Oleh: Afif Sholahudin, SH, MH. (Advokat, Pengamat Sosial)
Indonesia kini dihantui oleh kondisi daya beli masyarakat yang menurun sehingga menimbulkan deflasi yang dapat memberikan dampak buruk. Kondisi negara yang tidak siap tentu mengharuskan masyarakat yang matang untuk menghadapinya, namun harapan itu sepertinya kian terkubur. Masyarakat tidak siap, pengusaha ikut terkena imbas, gonjang-ganjing politik yang kian pesimistis. Pemilu hanya sebatas seremonial, sistem berlanjut sedangkan nasib kian merenggut. Â Â Â
Kemiskinan Struktural
Menarik sebuah utas status yang menjelaskan, "dulu gw gk percaya kemiskinan struktural. Tp stelah liat temen sndiri usahanya bangkrut krn parkir+ormas, trus mo kerja lg kepentok umur, akhirnya ngojol tp itupun digencet sm aplikasinya." tulis akun @investorgabut
Sebagian warga masih meributkan urusan parkir, walaupun nominal tidak seberapa, tapi kita tahu kalau itu adalah usaha dari anak wilayah setempat dengan seizin pejabat setempat. Memang merogoh kocek sedikit, namun paksaan tersebut yang membuat orang makin risih. Hingga ada anekdot, "iya bener, 2 ribu nggak bikin lo miskin, tapi bisa bikin usaha bangkrut." Rupanya beberapa orang masih mempertimbangkan tempat tanpa tukang parkir adalah salah satu opsi terbaik untuk mengunjungi tempat yang biasa kita membawa kendaraan.
Sadarkah bahwa turunnya daya beli disebabkan turun pula pendapatan masyarakat. Bagaimana tidak turun, jika tempat mencari nafkah yang biasa dimanfaatkan kini dilepaskan dengan alasan penyesuaian jumlah karyawan. Rupanya harga yang sengaja diturunkan agar masyarakat beli berpengaruh terhadap pemasukan perusahaan yang ikut menurun. Semua berdampak pengaruh dari efek domino ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
Memaksa masyarakat membeli adalah hal konyol, karena sumber masalah ada pada pemasukan masyarakt yang rendah. Penghasilan tidak karuan, pekerjaan tidak ada kenalan. Sampai muncul sebuah lelucon, "Saking susahnya cari kerja zaman sekarang, sampe anak presiden pun dibantu cari kerjaan."
Itulah efek ketika standar ekonomi kita menggunakan rata-rata, menutupi sebuah kesenjangan dengan melirik kaum yang paling atas. Bukan soal serius bagi mereka yang sudah jatuh di bawah standar kemiskinan. Standar itu merupakan sebuah patokan sistem ekonomi yang digunakan mengikuti ideologi negara tersebut. Seandainya saja standar itu tidak dalam sebuah angka, melainkan sebuah standar pemenuhan kebutuhan primer, maka cerita akan berkata lain.
Kini rakyat semakin dihimpit, iuran pajak dirasakan masyarakat, iuran palak dirasakan para pengusaha. Bayang-bayang TAPERA yang menakutkan, belum kebutuhan pokok yang melejit, semua serba pajak bagai utang yang kian melilit. Kelas menengah terus dihimpit, padahal UMKM yang paling banyak memutar roda ekonomi Indonesia. Dianggap tulang punggung negara, namun dianggap tidak layak mendapatkan bantuan negara karena bukan orang susah.
Benarkah kemiskinan sinergi dengan pendidikan yang rendah? si paling "SDM rendah" adalah masyarakat yang sulit keluar dari sistem pendidikan yang rusak. Mau lihat bagaimana kualitas SDM kita? Lihat seberapa kuat literasi anak didik suatu bangsa. Indonesia menempati negara dengan rakyat yang paling tidak suka baca buku. Jangankan untuk berpikir, untuk membaca saja masih harus berjuang.