Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dakwah Digital Era Milenial: Antara Peluang dan Tantangan

12 Agustus 2021   10:28 Diperbarui: 12 Agustus 2021   10:36 5858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Generasi dapat dikatakan sekumpulan orang yang lahir dan tinggal dalam waktu yang sama, biasanya terjadi perbedaan antar generasi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, pengaruh sosial dan budaya, suasana ekonomi dan politik. Dikarenakan hal itu, maka manusia yang lahir dari tahun tertentu ke tahun tertentu dikatakan sebagai satu generasi. Ada yang mengatakan bahwa milenial tidak berhubungan dengan usia tertentu, milenial berkaitan dengan zaman di mana sebuah generasi lahir dan bertumbuh. Namun pada umumna mendefinisikan milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 1980-1995, atau mereka yang saat ini berada di usia 26 tahun hingga 40 tahun.

Milenial banyak diperbincangkan karena karakternya yang unik dan berbeda dari generasi sebelumnya. Generasi milenial lahir pada saat terjadi lompatan teknologi yang sangat cepat, masuknya revolusi industri 4.0, hingga penggunaan akses internet di berbagai berbagai tempat yang dinamakan Internet of Things (IoT). Di antara generasi sebelumnya adalah: (1) Silent Generation. Generasi yang lahir tahun 1925-1942, mungkin tersisa kurang dari 5% angkatan kerja; (2) Generasi Baby Boomers. Generasi yang lahir tahun 1943-1960, periode pergerakan revolusi sosial; (3) Generasi X. terlahir dalam kurun tahun 1961-1980, mereka lahir dalam kondisi ragam tantangan seperti meningkatnya perceraian, pemecatan perusahaan, ortu yang bekerja di luar rumah. Generasi ini dikenal independen, gaya bekerja yang transaksional, agak sinis dan mudah beradaptasi.

Generasi milenial adalah generasi setelahnya, sering dinamakan Generasi Y. Mereka lahir ketika dihadapkan pada 4 tren yang sedang terjadi, yakni: internet, kelimpahan, keanekaragaman, dan peningkatan status. Pertama, Internet menjadi lilngkungan hidup generasi milenial, di mana informasi tidak harus dicari melainkan datang sendiri ke smartphone kita. Mereka tidak suka administratif yang berbelit-belit dalam birokrasi. Terlihat unproceduran namun justru melahirkan banyak inovasi dan temuan baru untuk memenuhi keinginan manusia. Kedua, kelimpahan dan kemudahan. Milenial hidup di masa sesuatu yang dahulu dilakukan sulilt kini mudah. Belanja hanya tinggal sentuhan jari, tidak hanya mudah namun juga murah. Ketiga, keanekaragaman. Mereka hidup dalam berbagai lingkungan etnis, partai, agama, perbedaan selera hingga munculnya profesi-profesi baru. Dengan adanya media sosial tidak menjadikan seseorang sebagai warga negara, tapi Warga Dunia. Milenial tidak heran dengan perbedaan, status jabatan, dll. Keempat, peningkatan status. Dulu tidak semua keluarga bisa menikmati kendaraan, kini menjadi sebuah kewajaran jika keluarga baru sudah mengimpikan kendaraan roda 4. Semakin banyak orang tua yang beraktifitas di rumah sehingga generasi milenial lebih intens berkomunikasi dan mencari hiburan bersama generasi yang lebih tua. Dampaknya, dalam dunia kerja hubungan hierarkis atau sikap hormat kepada atasan berkurang, bahkan hilangnya tata krama kepada orang tua.

Milenial menjadi target generasi yang sangat "sexy" dilirik oleh para produsen, penyedia layanan khusus, hingga perusahaan pemberi lapangan kerja. Generasi milenial menjadi salah 1 dari 5 tren yang mempengaruhi masa depan dunia kerja atau pekerjaan. 4 tren lainnya adalah: globalisasi, teknologi, perilaku, dan mobilitas baru. Dalam sebuah penelitian didapatkan data bahwa pada tahun 2020, 50% tenaga kerja diperkirakan akan disumbang dari generasi milenial, dan pada tahun 2025 angka itu diprediksi meningkat menjadi 75% dari tenaga kerja. Potetnsi yang besar itu sampai pemerintah pernah memperhatikan peluang ini dengan menunjuk 9 orang menjadi staf khusus kepresidenan, terlepas dari pro dan kontra pengangkatan anak muda ini.

Berdasarkan data sensus BPS (tempo.co 23/1/2021) diketahui jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 didominasi oleh Generasi Z dan generasi milenial. Didapati jumlah Gen-Z mencapai 75,49 juta jiwa atau setara 27,94 persen dari total populasi berjumlah 270,2 juta jiwa. Sementara generasi milenial mencapai 69,90 juta jiwa atau 25,87 persen. Disebutkan pula generasi Post-Gen Z (atau lebih dikenal Generasi Alpha) yang lahir setelah tahun 2013 mencapai 10,88 persen.

Millennials Power

Zaman milenial adalah zaman kemajuan teknologi. Berkirim pesan kini sudah tidak lagi menggunakan surat bertandakan perangko, hanya dengan menyentuh layar semua dapat dikerjakan. Kalau teknologi merupakan sarana perangkat atau sistem, maka internet adalah jaringan yang menghubungkan perangkat dan sistem-sistem tersebut. Kemudahan ini tidak dirasakan dalam bentuk komunikasi, namun juga sarana mendapatkan informasi. Mungkin anak-anak milenial lebih memilih bertanya kepada Mbah Google daripada harus lama-lama membuka beberapa buku yang tersimpan di lemarinya, itupun kalau mereka punya buku. Karena kondisi buku itu sendiri sudah banyak ditransformasikan menjadi e-book.

Menurut data survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Teknopreneur tahun 2017, generasi milenial mendominasi jajaran pengguna internet di Indonesia. dari sisi alat yang digunakan, smartphone/tablet menjadi gadget yang paling digandrungi dengan persentase 44.16%, PC/laptop sebanyak 4,49%, dan keduanya sebanyak 39,28%. Generasi milenial menjadi generasi yang paling melek internet, dan paling mendominasi jumlah pengguna sosial media. Silahkan buka berbagai platform media banyak diisi oleh para influencer muda, content creator, traveler, beauty vlogger, food reviewer, bahkan komika (stand up comedy) kebanyakan dari generasi milenial. Termasuk followers dan subscribers tidak jauh-jauh dari generasi milenial atau setelahnya. Generasi ini saking gatelnya dengan gadget dan media sosial, sampai merasa tidak lengkap jika terlewat pasang status, update story, posting foto, dll.

Bersamaan dengan meningkatnya penggunaan internet dan media sosial, e-commerce dan online shop menyesuakan dengan memberikan kemudahan transaksi. Ditawarkan deksripsi lengkap beserta foto dan video, perbandingan harga, fitur nego, product review, hingga ongkir yang murah bahkan bisa gratis. Kalau diperhatikan, perilaku konsumsi milenial tidak hanya mendorong pertumbuhan dunia e-commerce, namun juga mendorong tumbuhnya bisnis periklanan digital. Semakin menurunnya konsumsi televisi sejak tahun 2012, banyak orang menghabiskan waktu dengan gadget dan berselancar di dunia internet. Tidak heran jika melalui internet seseorang dapat mengonsumsi informasi lebih banyak dibandingkan menonton televisi. Iklan yang kita promosikan di platform media sosial pun bisa muncul sesuai dengan selera kita sang pengguna, dan dapat diatur kemunculan iklan sesuai dengan beragam minat sang pengguna media sosial. Ini yang menjadi jalan kecanggihan teknologi dalam sebuah big data dengan metode algoritma.

Generasi milenial menjadi generasi yang cepat bosan sehingga tertarik pada hal-hal baru yang bagus dan unik. Jika ada sekelompok anak muda berencana kumpul di kafe, maka mereka akan memilih kafe yang yang pelayanannya berbeda, terdapat spot-spot foto yang disebut instagramable, mungkin suatu kafe mereka pilih bukan karena kualitas makanan yang ditawarkan, tapi karena fasilitas yang diberikan.

Arus informasi yang cepat sehingga melahirkan perubahan yang instan dapat ditemukan pula dalam tata bahasa. Seringnya kita mendengar kata bahasa yang unik dan mungkin terdengar aneh bagi generasi tua, namun kata-kata itu dapat dengan mudah ditemukan berkeliaran di media sosial. Seperti: Kuy (yuk); unfaedah (tidak bermanfaat); sans (santai aja); receh (murahan); bucin (budak cinta); baper (bawa perasaan); sabi (bisa), generasi micin (anak yang bertingkah konyol); goks (gokil); dsb.

Gen-Z Power

Generasi mereka lahir antara tahun 1995-2012, artinya usia termuda saat ini berada di umur 8 tahun dan yang paling tua berada di umur 25 tahun. Mereka memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan milenial. Majalah Time menyebutkan 47% miilenial sudah menjadi orang tua, tetapi generasi Z baru saja memulai karier. David Stillman dan Jonah Stillman pernah menjabarkan karakteristik Gen-Z jika dilihat dalam konteks dunia kerja, di antaranya:

  • Figital (fisik-digital). Gen-Z ini menjadi generasi pertama yang lahir ke dunia di mana segala aspek fisik (manusia dan tempat) mempunyai ekuivalen digital. Bagi mereka, dunia nyata dan dunia virtual saling tumpah tindih, artinya virtual seperti menjadi realitas mereka. Sebanyak 91% Gen-Z mengatakan bahwa kecanggihan teknologi suatu perusahaan akan berdampak terhadap keputusan mereka bekerja di perusahaan tersebut.
  • Hiper-kostumisasi. Gen-Z selalu berusaha keras mengidentifikasi dan melakukan kostumisasi atau penyesuaian identitas mereka sendiri agar dikenal dunia. Kemampuan mereka mengkostumisasi segala sesuatu menimbulkan ekspektasi bahwa perilaku dan keinginan mereka sudah sangat akrab untuk dipahami. Sejumlah 56% Gen-Z lebih memilih membuat uraian pekerjaan mereka sendiri daripada diberikan deskripsi yang sudah umum.
  • Realistis. Tumbuh setelah peristiwa 11 September, dengan terorisme menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari serta hidup melewati krisis berat sejak dini, telah membentuk pola pikir mereka menjadi pragmatis dalam merencanakan dan mempersiapkan masa depan. Perguruan tinggi dan universitas adalah institusi pertama yang mengalami kesulitan menghadapi mereka, selanjutnya menyusul dunia kerja.
  • FOMO (fear of missing out). Gen-Z sangat takut melewatkan sesuatu. Mereka selalu khawatir bergerak kurang cepat dan tidak menuju arah yang benar. Tapi, mereka selalu berada di barisan depan dalam tren dan kompetisi. Sebanyak 75% Gen-Z tertarik dengan situasi yang memungkinkan mereka memiliki peran ganda di satu kantor.
  • Weconomist. Dari Go-Jek kita mengenal ekonomi berbagi. Lebih dari seorang pegawai, Gen-Z mendayagunakan kekuatan "kami" dalam peran mereka sebagai filantropis. Gen-Z mengharapkan kemitraan dengan atasan untuk memperbaiki hal-hal tidak beres yang mereka lihat di dunia. Sebanyak 93% Gen-Z mengatakan bahwa kontribusi suatu perusahaan terhadap masyarakat/program sosial memengaruhi keputusan mereka untuk bekerja di perusahaan tersebut.
  • DIY (do it yourself). Lakukan sendiri, mereka merasa semua bisa berkembang walau hanya dilakukan oleh seorang diri. Mereka bertumbuh dengan YouTube yang dapat mengajari mereka apa saja. Gen-Z sangat mandiri dan akan berbenturan dengan banyak budaya kolektif yang sebelumnya diperjuangkan para milenial. Sebanyak 71% Gen-Z berkata mereka percaya dengan pernyataan, "Jika ingin melakukannya dengan benar, lakukanlah sendiri!"
  • Terpacu. Gen-Z siap dan giat menyingsingkan lengan baju. Mereka lebih kompetitif dan tertutup daripada generasi sebelumnya. Esjumlah 72% Gen-Z mengatakan mereka kompetitif terhadap orang yang melakukan pekerjaan yang sama.

Evolusi Organisasi Dakwah Kaum Muda

Orientasi seseorang dapat diidentifikasi berdasarkan era yang dijalaninya. Dulu pada era agraria, seseorang bekerja untuk mempertahankan hidup, sehingga kekuatan fisik yang menjadi modal utama. Jika bergeser ke era awal industri 1.0 dan 2.0 mereka bekerja untuk mencari kepuasan. Faktor utamanya adalah efisiensi tenaga kerja, sehingga harus bermodalkan pekerja yang kreatif dan terampil. Ketika masuk ke era informasi atau industri 3.0 ditemukannya komputer. Mereka pekerja yang memiliki pengetahuan dan keingintahuan yang sangat dibutuhkan karena bisa melahirkan kreatifitas dan inovasi. Saat ini kita berada di era revolusi industri 4.0 di mana orang bekerja bertujuan pada nilai pemenuhan kebutuhan akan kebermaknaan dan penghargaan. Yang dibutuhkan adalah orang sadar akan potensi yang dimilikinya (self-awareness), termasuk bakat.

Dalam gambaran situasi dunia yang berubah ini akhirnya banyak dikenalkan pembahasan terkait VUCA. Dengan mengetahui transformasi dunia yang dipengaruhi VUCA ini setidaknya kita mampu mengantisipasi dan menata organisasi agar tidak tertinggal. Dunia Dalam Masa Perubahan VUCA:

  • Volatility -> Perubahan yang sangat cepat. Saking cepatnya kita tidak menyadari bahwa dunia saat ini telah mengalami perubahan dari kondisi sebelumnya.
  • Uncertainty -> Ketidakpastian perubahan. Manusia saat ini banyak dihadapkan kebingungan karena perubahan yang tidak pasti, ditambah jangka waktu yang sangat cepat. Hari ini telah terjadi fenomena A besok akan berubah kepada fenomena B. Parahnya perubahan itu tidak terprediksi.
  • Complexity -> banyak keterkaitan yang membuat sulit terurai, seperti benang kusut.
  • Ambiuity -> lingkungan tidak bisa terjelaskan karena informasi yang didapat bisa dimaknai dengan berbagai cara. Kondisi ambigu yang menyebabkan sulit mengambil keputusan.

Kita berada pada era di mana butuh pengembangan SDM yang bisa menata tujuan hidup dan alasan keberadaannya. Namun pengembangan itu tidak serta merta diturunkan, karena terdapat karakteristik khas jika ingin menata masyarakat dalam era saat ini. Menata organisasi 4.0 yang sukses di masa kini dan masa mendatang menurut buku When Millennials Take Over adalah dengan memenuhi 4 kapasitas dasar. Yakni:

  • Digital. Para milenial bukan hanya fasih menggunakan alat-alat digital, tetapi juga menikmati betapa nyamannya mereka dalam menggunakannya dan memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, akan sangat mengherankan bagi milenial jika ada senior yang mengirimkan e-mail dan meminta jawaban cepat, padahal di tangan mereka ada media sosial seperti Whatsapp dan Telegram yang lebih memudahkan mereka dalam interaksi.
  • Terbuka. Salah satu prinsip utama dalam manajemen adalah pengendalian informasi. Dahulu berprinsip bahwa informasi harus bersifat tertutup guna menjaga kerahasiaan dan keamanan jika berada di tangan yang salah. Mungkin ada benarnya, informasi yang banyak dilepas berpotensi menimbulkan kekacauan, kesalahpahaman, kurang efisien, dsb. Namun logika tersebut sepertinya tidak relevan dengan realitas hari ini. Generasi milenial sudah terbiasa dengan keterbukaan informasi yang mudah diakses melalui gadgetnya. Sebaliknya, mereka pun dengan mudah menyebarluaskan informasi yang ada pada dirinya. Prinsip organisasi terbuka adalah informasi harus tersedia bagi siapapun agar semua orang bisa mempertimbangkan keputusan tepat dan efektif.
  • Lentur. Kondisi lingkungan yang cepat sekali berubah-ubah mengharuskan organisasi mampu menyesuaikan diri dan bergerak ke arah yang lebih lincah (agile). Artinya, definisi lentur diartikan dengan penyebaran kekuasaan (kewenangan), mengizinkan pertumbuhan di setiap lini organisasi, tidak lagi terpusat.
  • Cepat. Seolah masalah dapat dengan mudah diselesaikan dengan alat bantu digital yang kita pegang ditambah akses internet yang cepat. Para milenial akan sangat uptodate dengan perilisan iPhone baru. Meskipun tidak memilikinya, tapi setidaknya mereka tahu fitur dan keunggulan terbarunya. Bagi mereka, kecepatan adalah suatu yang normal. Maka jelas, para milenial pasti akan bingung dengan lingkungan organisasi yang tidak mampu beradaptasi dengan realita baru dan cepat dalam berinovasi.

Tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena VUCA yang semakin kacau ditambah kehancuran sistem demokrasi dunia yang semakin nampak kerusakan hingga ke akar-akarnya. Masyarakat sedikit demi sedikit sedang mengalami perubahan menuju pergantian sistemik sebagai pengganti sistem demokrasi yang sudah ambruk. Hanya saja butuh orang-orang yang berada di tengah masyarakat untuk mengenalkan bahwa Islam sebagai solusi pengganti sistem yang sudah hancur ini.

Keniscayaan perubahan itu rupanya didorong secara paksa oleh fenomenca Covid-19. Corona yang meluas tidak hanya berdampak pada kesehatan, namun juga berdampak pada pola kehidupan baru. Munculnya istilah New Normal adalah hasil dari fenomena baru manusia setelah penghentian total aktifitas sehingga memunculkan sebuah gaya hidup baru. Fenomena Covid-19 ini mampu menjadi katalisator perubahan, yang awalnya dari fase setiap 5 tahunan menjadi 2-3 bulanan (adaptasi).

Seperti kemunculan aplikasi zoom yang semakin marak, dikarenakan keharusan physical distancing. Sebenarnya aplikasi seperti zoom ini lama kelamaan akan marak digunakan walaupun sekitar 5 tahun kedepan. Banyak perubahan yang terjadi di masyarakat karena mereka dipaksa untuk struggling menjalani kehidupan. Seperti orang yang tidak bisa berenang dipaksa dicebutkan ke kolam, ia berusaha agar tidak tenggelam dan akhirnya bisa berenang.

Semua bermula dari penolakan (denial) terhadap realitas yang tidak diharapkan dan tidak direncanakan, namun diikuti dengan resistensi (resistence). Akhirnya dia dipaksa untuk mencoba, bereksperimen, bereksplorasi (exploration). Dalam waktu yang tidak lama terbentuklah komitment (commitment) untuk melakukan perubahan perilaku dan membentuk kebiasaan baru.

Apa saja yang berubah dengan adanya corona? Setidaknya ada 4 Perubahan Besar (Mega Shift) yang dijelaskan oleh salah satu survey. Perubahan itu diantaranya:

  • Stay home lifestyle. Segala sesuatu semakin banyak dikerjakan di rumah. Mulai dari bekerja, bermain, belajar, belanja, semuanya dilakukan di rumah. Bahkan ada juga yang semakin malas keluar rumah karena semuanya sudah bisa dilakukan dari rumah.
  • Empathic Society. Banyaknya korban nyawa akibat Covid-19 melahirkan masyarakat yang penuh empati alias sarat kesadaran sosial.
  • Go Virtual. Meskipun dipaksa untuk menghindari kontak fisik namun kebutuhan komunikasi tidak berkurang. Oleh kare itu masyarakat beralih kepada media digital/virtual.
  • Bottom of The Pyramid. Maksudnya mengacu kepada piramid Maslow. Dulu kebiasaan konsumsi masyarakat yang cenderung ke arah produk konsumtif untuk eksistensi atau gengsi, berubah ke arah kebutuhan-kebutuhan mendasar, seperti makan, kesehatan, keamanan, dll.

Perubahan besar ini mempengaruhi kondisi umat Islam saat ini. Dapat dijumpai paradoks yang dibentrokkan dari dua sisi, yakni lemah dan kuat. Umat Islam berada dalam kondisi lemah di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, militer, hukum, dll. Namun di sisi lain penulis melihat ada peningkatan aspek religiusitas atau spiritualitas yang sengaja ditampakkan oleh berbagai kalangan. Mulai dari artis yang hijrah, komunitas dakwah anak muda, hingga model dakwah yang diterima secara 'milenial'.

source: yuswohady
source: yuswohady

Banyak dari para aktifis dakwah yang baru mengenal dakwah online, terpaksa untuk melakukan kajian secara virtual. Dipaksa untuk mengenal beragam aplikasi video call, menemukan cara paling nyaman dalam menyediakan kuota untuk kajian, hingga merambat ke berbagai aktifitas lain. Semua dipaksa untuk mengikuti zaman yang tren penggunaan alatnya sudah berganti.

Dakwah Era Digital

Rata-rata setiap hari setiap orang menghabiskan waktunya untuk berinternet via device selama 8 jam 36 menit (globalwebindex, Q2 & Q3 2018). Sebanyak 82,05% orang Indonesia mengakses internet adalah untuk berinteraksi dengan teman-temannya melalui sosial media. Selanjutnya dengan alasan untuk akses berita sebesar 73,5% (katadata.co.id, 2015). Berdasarkan urutan, platform sosial media yang paling diminati adalah: YouTube, WhatsApp, Facebook, Instagram. Sedangkan berdasarkan audience, paling banyak dilakukan oleh kalangan milenial dan Gen-Z sebagaimana data di diagram berikut.

Source: Hootsuite
Source: Hootsuite

Berbicara informasi, era saat ini kita bisa berada pada dua posisi, bisa sebagai konsumen informasi atau produsen informasi, atau dua-duanya. Zaman dulu kita mungkin hanya bisa menjadi konsumen informasi. Dulu untuk menjadi produsen informasi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunya modal membuat kanal media. Saat ini, perorangan pun bisa menjadi rujukan berita masyarakat, bahkan tanpa modal. Kondisi ini tidak lain karena peran kemajuan teknologi. Hebatnya informasi yang diproduksi oleh pribadi bisa menjadi informasi yang viral, bahkan dapat mempengaruhi opini nasional.

Sebuah penelitian mencatat bahwa di zaman sekarang seseorang dapat mengonsumsi informasi lebih dari 2000-an informasi. Artinya persaingan informasi semakin ketat, pengembangan branding semakin sulit. Akhirnya kita melihat bahwa ketika kita ingin memunculkan sesuatu, sekedar dilirik saja sudah syukur. Banyak orang yang sudah berkali-kali menerima informasi baru namun tertarik dengan informasi baru lainnya, sekalipun muncul hanya berupa selingan. Butuh attention di awal agar orang-orang melirik kita. Jika sudah, maka bagaimana caranya agar orang yang sudah melirik itu semakin mendekat. Cara ini yang harus difikirkan demi menarik interest dari informasi yang sudah kita berikan.

Jika sudah tertarik, maka orang tersebut akan melakukan action dalam ruang jumpa yang tidak mesti bertatap muka. Bisa seseorang ingin tertarik dengan kelas kita hanya dengan deal transfer lalu bergabung di dalam grup. Namun saat ini sebelum melakukan action tersebut, kemudahan teknologi membuat seseorang melihat informasi latar belakang dengan pencarian yang bisa dia akses.

Misalkan, seseorang yang hendak membeli handphone tidak perlu datang lebih awal untuk memilih handphone mana yang akan dia beli. Cukup dengan pencarian di google seseorang sudah mendapatkan informasi terkait handphone yang dia minat. Ketika datang ke toko hanya tingga menanyakan stok, atau mungkin tidak perlu datang ke toko cukup pesan melalui online.

Teknologi adalah sarana, dan yang namanya sarana hanya digunakan untuk membantu terlaksananya tujuan suatu aktifitas. Dakwah hanya dapat dilakukan dengan thoriqoh yang jelas, namun dapat dilakukan dengan uslub yang beragam. Uslub dalam dilakukan selama tidak keluar dari thoriqoh dakwah. Teknologi berperan dalam memudahkan uslub itu tersampaikan, maka ilmu memahami kemajuan teknologi dan perubahan zaman menjadi kebutuhan agar uslub dakwah dapat dijalankan.

Dakwah dan Perubahan

Dakwah secara umum dapat dipahami sebagai upaya melakukan perubahan dari kondisi yang tidak islami menuju kondisi yang islami. Secara khusus yakni seruan kepada orang untuk menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah yang munkar disertai aktifitas real terkait perubahan. Oleh karena itu unsur-unsur perubahan dapat dirincikan sebagai berikut:

  • Gambaran kondisi ideal. Kondisi ideal bagi seorang muslim adalah kondisi lingkungan diterapkannya syariat Islam. lingkungan itu diwujudkan oleh masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama.
  • Memahami kondisi saat ini. Kunci utama melakukan perubahan adalah sadar atas kondisi ketimpangan yang harus dirubah. Terlebih lagi jika kondisi yang terjadi merupakan kerusakan sistemik dan sudah mengakar, kesadaran atas kerusakan yang kelak menjadi dorongan lahirnya perubahan.
  • Memahami cara mengubah kondisi saat ini menjadi kondisi ideal. Para pengemban dakwah harus memiliki metode penerapan atas solusi yang ditawarkan, sehingga menjadi gambaran bagaimana langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk melakukan perubahan.

Secara umum jika membahas tentang dakwah digital, maka tidak lepas dari tiga aspek, ketiganya harus diperhatikan. Ketiga aspek tersebut adalah: Kondisi dunia, Kondisi Umat Islam, dan Hukum Dakwah.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Kondisi dunia haruslah kita bicarakan, karena dakwah kita adalah dakwah di dalam kehidupan dunia, di seluruh negara. Dakwah adalah aktifitas nyata, bukan aktivitas imajinasi yang tidak berpijak pada aktifitas dunia. Oleh karena itu, kita perlu melihat bagaimana kondisi dunia. Selain itu, kita dituntut untuk memahami kondisi umat Islam, karena mereka adalah kita, kita adalah satu dengan mereka umat Islam. Bagaimana cara memandang kondisi umat Islam saat ini, apakah dalam keadaan terpuruk ataukah tidak? Cara pandang seseorang akan menentukan bagaimana sikap orang tersebut menyelesaikan persoalan umat. Lalu, sebagaimana konsekuensi seorang muslim harus melandasi aktifitasnya sesuai hukum syara', maka hukum dakwah adalah informasi wajib yang harus dipahami bagi umat Islam.

Peluang Dakwah

Era perubahan yang instan menuntut aktifitas dakwah yang lebih adaptif dibandingkan sebelumnya. Oleh karena itu, kita harus bisa menyaring peluang dan tantangan sebagai referensi membangun dakwah. Adapun peluang dari era digital ini adalah:

  • Dakwah digital. Semua orang mudah untuk melakukan dakwah, tempat bisa disesuaikan, waktu bisa diatur. Platform digital membuat peserta semakin mudah untuk mengikuti agenda dakwah kita. Cukup hanya berada di depan gadgetnya, mereka sudah bergabung sebagai peserta tanpa harus mengeluarkan bensin setetespun.
  • Keterbukaan informasi menjadikan segala hal dapat diakses oleh semua generasi. Tersedia rekam jejak dakwah digital yang dapat dimanfaatkan di kemudian hari dan menjadi acuan perkembangan ilmu keagamaan yang sudah berkembang.
  • Kemudahan membuat jaringan. Zaman dulu jika ingin membuat gerakan atau organisasi haruslah mempunyai perencanaan yang matang baik secara kualitas maupun kuantitas. Kalaupun dibentuk oleh perorangan hasilnya tidak akan banyak. Sekarang teramat mudah jika ingin membuat komunitas, walau dipelopori oleh seseorang yang bukan tokoh. Tidak heran jika sekarang semakin banyak bermunculan komunitas-komunitas sederhana namun dampaknya bisa berkelanjutan. Seperti komunitas pejuang shubuh, pemuda hijrah, Yuk Ngaji, pecinta kopi, pecinta drakor, dll. Zaman dulu tidak mudah membuat sebuah gerakan, wajar jika yang dikenal hanya nama-nama pergerakan mahasiswa tertentu, jama'ah muslim tertentu, dll.
  • Peningkatan status sosial. Dakwah sejatinya tidak melulu menyampaikan dalil dan nasehat-nasehat agama. Sebab setiap aktifitas yang dijalankan untuk keberlangsungan dakwah insyaAllah dicatat sebagai amal dakwah. Namun kalau flashback ke belakang, mereka yang berhak menyampaikan nasehat agama haruslah ustadz yang dikenal, sesepuh yang punya banyak jama'ah, atau tokoh masyarakat. Sekarang berbeda, remaja pun bisa menjadi pembicara acara kajian bagi remaja lainnya.

Mengapa demikian? Karena mudahnya saat ini membranding diri. Tinggal dituliskan status publik di "bio" akunnya, orang dengan instan mencerna bahwa dia adalah motivator muda, ustadz, inspirator, dll. Jika terkenal hanya dilihat dari follower, saat ini mudah untuk mendapatkan follower banyak dalam hitungan jam. Artinya, peningkatan status sosial seseorang dengan mudah dikondisikan jika dibutuhkan.

Tantangan Dakwah

Berdasarkan peluang dakwah yang diceritakan, maka tantangan yang dapat dijumpai saat berdakwah di era digital adalah:

  • Sarana penunjang internet, mulai dari kuota hingga gadget. Sebuah keharusan di zaman sekarang memiliki gadget dan kuota. Ada banyak aktifitas yang terhubungan dengan jaringan internet, keharusan ini timbul akibat fenomena disrupsi sehingga mematikan usaha-usaha yang tidak mau beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Ditambah Covid-19 yang dampaknya mengubah kebiasaan masyarakat mengelola aktifitas sehari-hari dalam bentuk physical distancing. Transformasi kebiasaan itu pada awalnya tidak diterima oleh masyarakat, namun proses yang tidak instant sehingga segalanya harus dilakukan dengan bantuan digital.

Sekalipun teknologi adalah sarana mempermudah, namun hakikatnya memiliki keterbatasan. Sebagaimana kuota bergantung kepada jaringan, atau device bergantung kepada baterai dan listrik.

Masih saja ditemukan sebab hambatan partisipasi dakwah adalah karena kendala teknis yang dimaksud. Mulai dari ketidakmampuan membeli kuota, kekurangan jaringan, gadget yang lemah secara fitur, dll. Kondisi sosial setiap pengemban dakwah berbeda-beda, maka tantangan teknis yang dihadapi haruslah menjadi salah satu prioritas penyelesaian masalah demi keberlangsungan dakwah kedepan.

  • Kreatifitas. Generasi muda saat ini dikenal sebagai generasi yang cepat bosan. Tidak heran memang yang menjadi daya tarik anak muda adalah hiburan. Namun yang menjadi dilema adalah tingkat persaingan yang semakin ketat dalam menyajikan pemikat dakwah bagi mereka. Kalau zaman dulu, dakwah berbasis digital hanyalah bentuk transformasi kajian umum, talkshow, seminar, dll yang disajikan dalam bentuk video, namun pembawaannya tidak berubah dari acara yang biasanya. Jika dulu dakwah yang ingin disajikan dalam bentuk tulisan, maka hasilnya berupa buku, majalah, koran, dsb. Sekarang penyampaian dakwah telah berubah dalam bentuk yang lebih kreatif. Seminar yang biasa digelar kini berubah menjadi webinar, talkshow yang biasa diadakan kini berubah menjadi podcast, dsb. Di tengah arus perubahan yang cepat, kreatifitas adalah skill penting untuk menunjang konten dakwah yang menarik bagi generasi muda.

Namun kreatifitas itu kadang terhambat pada ketertarikan generasi saat ini. Banyak orang yang meninggalkan sajian televisi karena dianggap monoton, mainstream, dan tidak kekinian. Anak muda saat ini lebih banyak melirik konten seperti vlog, video tutorial, unboxing, review, video komedi, gaming, hingga konten prank. Minat seperti ini tidak harus dijadikan sebagai referensi kreatifitas konten dakwah, namun setidaknya bisa menjadi referensi data target dakwah kaum muda yang hidup di zaman now.

  • Banjir informasi. Kalau belajar dari film "Social Dilemma" menggambarkan bahwa media sosial mampu mengarahkan kesukaan seseorang untuk dibentuk. Apa yang seseorang lihat, apa yang akan dia suka dan yang harus dia benci. Salah satu fenomena besar yang terjadi dikarenakan social media adalah hasil pilpres Amerika Serikat. Maka tidak heran jika internet mampu mengarahkan kemarahan hanya dengan ditampilkannya sekilas kekerasan atau kesukaannya seseorang hanya dengan berita pencitraan.

Banjir informasi ini pun akan mempengaruhi budaya hadlarah yang lahir tidak dari Islam. Segala bentuk hadlarah yang bukan berasal dari Islam maka harus dijauhkan. Sayangnya generasi milenial dan Gen-Z tidak banyak yang memahami perbedaan mendasar tentang hadlarah dan madaniyah. Misalnya, ada backsound lagu yang bagi anak muda terdengar keren, padahal lirik aslinya berbahasa brazil dan makna nya bermuatan hadlarah kufur.

  • Berkurang kepakaran. Sebagaimana generasi instan yang mudah akan akses pengetahuan, termasuk mempelajari Islam hanya dalam hitungan menit. Kalau dulu ingin belajar tentang suatu ilmu harus mempunyai seri bukunya, atau menunggu pembahasan dari ustadznya. Kini hanya tinggal ketik di kolom pencarian, baik teks maupun video dengan mudah disajikan. Tidak perlu ke luar negeri, antar mahasiswa dan dosen bisa bertemu dalam virtual. Budaya menuntut ilmu seperti ini secara tidak langsung menurunkan kualitas seorang pembelajar yang seharusnya belajar membutuhkan waktu yang cukup. Akhirnya banyak fenomena generasi muda yang pagi mengaji sore sudah bisa berfatwa. Guru pun terkadang tidak jelas, karena seolah hanya berguru kepada google dan youtube. Semua seolah paling tahu dan paling benar, padahal dia hanya berlindung di balik pendapat salah satu ustadz. Kalaupun ada bantahan, cara membantahnya pun bukan dengan argumen tapi dengan kirim link pendapat ustadznya. Zaman kini adab seorang murid kepada ustadz/gurunya semakin luntur, padahal Islam menekankan adab sebelum mempelajari ilmu. Perlu usaha memahamkan di mana posisi muqallid dan mujtahid bagi para netizen.

Penutup

Apapun generasinya, setiap manusia punya masa depan yang sama, yakni masa depan akhirat. Alat hanyalah sarana untuk melakukan suatu aktifitas di dunia. Kemajuan teknologi bukanlah faktor penentu perubahan hukum dalam syariat Islam, sebab Islam sejak awal diturunkannya berlaku sampai hari kiamat. Tidak ada istilah syariat Islam ketinggalan zaman, seharusnya sarana yang dapat kita gunakan haruslah diarahkan kepada jalan yang diridhai Allah swt., bukan malah menjadi jalan lahirnya kerusakan manusia secara lahir dan batin.

Wallahu'alam bi Showab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun