Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Konsultan - Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Money

Berkebun Emas, Spekulasi Investasi Emas di Lembaga Syariah

29 Desember 2017   20:59 Diperbarui: 29 Desember 2017   21:04 5148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber http://3.bp.blogspot.com/_h8SrwIMIqvA/S9yWVH04BDI/AAAAAAAAAAs/bvsYtmsdAXw/s1600/bars_gold_45_med.jpeg

Siapa yang tidak tertarik dengan investasi emas? Benda yang harganya semakin tinggi, sifatnya likuid sehingga aman untuk simpanan, dan juga mudah dijadikan alat investasi. Cara yang paling sederhana dengan membeli emas batangan, simpan beberapa lama hingga beberapa tahun dan cairkan saat harga tinggi. Atau bisa juga melakukan trading emas sama-sama termasuk investasi jangka panjang. Tapi siapa sangka investasi emas tersebut bisa dilakukan di lembaga keuangan syariah yang menyediakan fasilitas gadai.

Gadai (rahn) di Perbankan Syariah maupun di Pegadaian Syariah adalah salah satu bentuk pembiayaan berbentuk utang piutang (qardh), dimana pihak kreditur (rahin) harus menyerahkan barang jaminan kepada debitur (murtahin). Produk gadai yang ditawarkan biasanya dikombinasikan dengan biaya pemeliharaan yakni akad sewa menyewa (ijarah) dimana pihak debitur (murtahin) mendapatkan keuntungan dari biaya pemeliharaan tersebut.

Praktik pegadaian pada lembaga syariah masih menjadi polemik ahli hukum, sebab ada beberapa unsur yang dipandang bertentangan dengan prinsip syariah. Seperti biaya pemeliharaan yang dianggap riba karena menarik manfaat dari pinjaman (qardh) yang diharamkan. Masalah lain seputar akad yang digabungkan (al-'uqud al-murakkabah) antara tabarru dan tijari yang tidak disepakati oleh para mujtahid. Namun satu realita yang harus kita terima bahwa praktik pegadaian syariah sudah berkembang di Indonesia. Disini saya tidak bahas sisi hukum pegadaian, sebab brebeda cara pandang melahirkan hukum yang berbeda. Apalagi sudah ada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.

Praktik berkebun emas sejak beberapa tahun lalu sudah banyak diminati oleh pelaku investasi emas. Sejak awal mereka tertarik dengan produk pegadaian emas bukan karena pembiayaan yang dibutuhkan namun bertransaksi dengan maksud melakukan investasi. Mengapa bisa demikian? Karena emas yang kita gadaikan akan tersimpan dan dapat diambil kembali di kemudian hari setelah melunasi pinjaman yang diberikan, maka otomatis emas yang tesimpan beberapa tahun kemudian akan berbeda harganya jika dibandingkan emas saat digadaikan. Cara yang mereka gunakan dengan membeli emas yang lebih kecil dari yang mampu dibeli, kemudian digadaikan. Dana segar hasil transaksi gadai tersebut lalu dibelikan emas lain, kemudian digadaikan. Demikian seterusnya hingga batas kemampuan dana yang mereka miliki. Semakin banyak emas yang digadaikan maka akan semakin tinggi kemungkinan mendapatkan keuntungan dari selisih harga emas yang akan datang.

Ditengah harga emas yang terus melonjak setiap tahunnya, perkiraan keuntungan yang mereka peroleh akan besar. Biasanya tidak seluruh modal yang dimiliki digunakan untuk berkebun emas, namun disisakan untuk cicilan pinjaman dan biaya pengurusan barang gadai yang dibayarkan kepada murtahin untuk merawat emas yang dititipkan. Bila dihitung total cicilan pinjaman dan biaya kepengurusan akan terbayar sebanding dengan total harga emas yang digadaikan kemudian.

Dari praktik ini didapatkan beberapa pihak yang diuntungkan. Diantaranya pihak nasabah (rahin) yang menerima untung dari investasi emasnya, pihak bank atau pegadaian (murtahin) yang menerima biaya perawatan dan meningkatkan omset penjualan produk gadai perusahaan, dan terakhir pihak penjual emas yang terkadang menjalin kerjasama dengan pihak bank karena meminjam 'mulut' tukang emas untuk menginvestasikan emasnya ke dalam produk gadai. 

Meskipun pada akhirnya banyak bank yang menawarkan produk emasnya secara langsung kepada calon nasabahnya, bahkan mereka yang mensponsori seminar investasi seperti ini. Pihak bank akan lebih senang jika nasabah gada emasnya melakukan 'tanam' emas berkali-kali, hingga keluar Fatwa No. 77/DSN-MUI/V/2010 tentang Jual Beli Emas Secara Tidak Tunai. Dalam fatwanya disebutkan, "Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn)". Jadi, batas kemampuan keuangan investor yang membatasi investasinya akan semakin dipermudah dengan mencari kredit emas yang bisa 'ditanam' lagi di produk gadai syariah.

Praktik berkebun emas seperti ini bisa dikategorikan kepada praktik spekulasi dalam mencari keuntungan di akad produk syariah. Sifat emas yang fluktuatif membuat bisnis investasi emas justru merusak akad gadai syariah. Ini yang dikhawatirkan oleh Bank Indonesia untuk melarang praktik tersebut (https://bisnis.vivanews.com/berita/bisnis/281818-bi-tegas-larang-berkebun-emas). Praktik seperti ini adalah bentuk hilah (rekayasa) atau mencari celah agar bisa meraup keuntungan yang tidak halal, padahal hal itu tidak lain berupa siasat mendapatkan riba.

Hal ini bisa dianalogikan seperti kawin kontrak, mereka mengadakan akad serta saksi (buatan) dalam melancarkan perkawinannya. Hal itu tidak lain siasat membungkus keharaman dengan tata cara yang terlihat islami, padahal niat yang mereka bentuk bukan untuk membentuk keluarga namun ingin merasakan perzinahan. Atau praktik bai 'Inah, yakni membungkus akad kredit riba dengan sistem jual beli. Praktih hilah banyak jarang ditemui oleh kita di lapangan, sebab dari luar dibungkus rapi dengan label syariah agar terlihat boleh.

Satu hal yang akan menjadi polemik yakni kerugian dari investasi jenis ini yang bisa mengantarkan kepada perkara sengketa. Jika kasus terjadi dan menimbulkan sengketa maka akan terjadi ketidakjelasan kasus sebab status hukum dari praktik 'berkebun emas' seperti ini belum bisa dipastikan kebolehannya. Meskipun kemungkinan rugi dalam investasi emas adalah kecil, namun mengantisipasi kejadian itu penting agar tidak terjadi kekosongan hukum.

Oleh: Muhamad Afif Sholahudin | Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun